Jumade (43) dan Tuo (40), warga Dusun Balle, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, semringah. Berdiri di ujung jembatan gantung di atas Sungai Tangka, keduanya tak henti tersenyum sembari bersyukur.
”Lama sekali warga di sini menantikan ada jembatan. Sekian lama, kalau mau ke sawah, saya hanya punya dua pilihan. Lewat sungai jika air surut atau memutar lebih dari 100 kilometer lewat Kabupaten Bone jika air meluap,” kata Jumade.
Rumah Jumade di Desa Tompobulu, Sinjai, tetapi kebun di Desa Bana, Kecamatan Bontocani, Bone. Kedua desa itu dipisahkan Sungai Tangka yang membentang lebih dari 50 meter. Desa Tompobulu jauh dari ibu kota Sinjai. Begitu pula Desa Bana jauh dari ibu kota Bone.
Meski dipisahkan oleh sungai, warga kedua desa sejak lama punya hubungan kekerabatan. Kawin-mawin ada di antara mereka. Jembatan gantung sepanjang 87 meter dengan lebar 1,2 meter itu dibangun atas bantuan pembaca harian Kompas melalui Dana Kemanusiaan Kompas.
Proyek itu hasil kolaborasi dengan Korem 141/TP melalui TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Ke-105 Kodim 1424/Sinjai, juga Vertical Rescue Indonesia yang membantu rancangan konstruksi. Jembatan ini ke-78 dari ekspedisi 1.000 jembatan gantung program Vertical Rescue Indonesia.
Kamis (8/8/2019), jembatan diresmikan Brigjen OP Sianturi selaku Ketua Tim Pengawasan dan Evaluasi TMMD 105, didampingi Bupati Sinjai A Seto Asapa dan Dandim 1424/Sinjai Letkol (Inf) Oo Sahrojat. Warga bersukacita dan membuat syukuran.
Tak hanya soal kebun, untuk urusan sekolah, berdagang, berbelanja kebutuhan harian, banyak warga Desa Bana memilih ke Tompobulu ketimbang ibu kota kecamatan, apalagi ibu kota Kabupaten Bone. Hubungan kedua desa di bulan-bulan tertentu, mulai Maret-Juni, saat air naik, jadi sulit. Saat ini Sungai Tangka tak bersahabat. Ketinggian air 4 meter berarus cukup deras.
Jika sudah begitu, anak-anak dari Tompobulu harus memutar 100 kilometer untuk sampai ke sekolah di Desa Bana. Begitu juga sebaliknya. ”Petani, pedagang, orang sakit dan ingin berobat juga sama. Saat air naik, tak mungkin lewat sungai. Banyak yang celaka,” kata Tuo.
Rustan (40), warga Desa Bana, acap kali dibuat repot saat air meluap. Ia kerap menjual hasil sawah ke Tompobulu. Di Bone, 1 kilogram beras dijual Rp 5.000. Di Sinjai bisa Rp 7.000 per kg. Begitu juga kakao di Sinjai Rp 28.000 per kg, tapi hanya Rp 25.000 per kg di Bone. ”Tetapi, kalau harus memutar ke Sinjai lewat Bone, mahal ongkosnya dan waktunya juga lama,” katanya.
Inisiatif awal
Keinginan membangun jembatan disampaikan warga saat Kodim 1424/Sinjai masuk ke Desa Tompobulu melalui program TMMD ke-105. Harapan disampaikan pada Dandim Sinjai saat pembangunan dan pelebaran jalan desa. Awalnya, program TMMD fokus pada pelebaran jalan desa dan membuat jalan rintisan sepanjang 3,8 km. Keluhan warga soal jembatan membuat program bertambah.
”Setelah mendengar persoalan mereka dan melihat situasi, saya meminta mereka membuat proposal. Saya hanya bilang akan membawa proposal dan berusaha mencarikan jalan,” kata Oo Sahrojat. Lanjut ke atasan, proposal sampai kepada Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas. Anggaran pembangunan jembatan gantung Rp 92,5 juta diterima.
Pembangunan jembatan pun dimulai. Satgas TMMD didampingi Vertical Rescue Indonesia merancang konstruksi. Dalam delapan hari, jembatan tuntas. Inisiatif, kolaborasi, dan sinergi menghubungkan warga Desa Tompobulu dan Desa Bana. Senyum pun mengembang karena hari depan lebih baik.(RENY SRI AYU ARMAN/M FINAL DAENG)