Suatu malam di sebuah hotel di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Joko Widodo sedang mencalonkan diri sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia tahun 2014. Puluhan orang perwakilan masyarakat adat menunggu sekitar satu jam dalam acara khusus yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, sebelum Jokowi-demikian dia akrab dipanggil-hadir. Semua hadirin pun semringah, bersemangat.
Jokowi bertutur, dia memahami persoalan masyarakat adat karena dia sering masuk ke hutan di masa mahasiswanya di Fakultas Kehutanan UGM. Mereka yang hadir bertepuk tangan dan berbinar matanya dengan semangat menggelora. Janji pun dirajut. Enam komitmen terhadap masyarakat adat dipahatkan saat Jokowi-Jusuf Kalla terpilih menjadi pasangan presiden-wakil presiden ke-7 RI.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, di tahun 2017, terjadi konflik sumber daya alam (SDA) di 126 komunitas adat yang mengakibatkan 262 warga masyarakat adat dipenjara. Pada tahun yang sama, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut jumlah konflik agraria mencapai 659 (Gaung AMAN, Des 2018). Di tahun 2018, KPA mencatat 410 kejadian konflik di atas tanah lebih dari 870.000 hektar dan melibatkan 87.568 kepala keluarga (KK). (Kompas, 8/5/2019).
Dari semua komitmen yang dituliskan, masalah Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat adalah persoalan paling krusial karena menjadi inti pengakuan atas eksistensi masyarakat adat di negeri ini. Sejak 1830, masyarakat adat yang menghuni hutan telah tersingkir dari tanahnya karena pemberlakukan kebijakan cultuurstelsel yang lebih dikenal sebagai Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.
“Sampai sekarang kita tidak tahu, kita denger-denger, tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah mengapa undang-undang itu tidak ada, tidak lanjut dibicarakan. Mengapa DIM (daftar isian masalah)-nya tidak pernah sampai ke DPR…. Faktanya kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi.
“Inilah salah satu hal yang menjadi persoalan utama masyarakat adat saat ini. Sementara undang-undang ini amat penting, setidaknya bisa menjadi jembatan untuk kembali menata kehidupan masyarakat adat dan negara ini,” tegas Rukka. Pemerintah, lanjutnya harus diingatkan terus pada keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 yang meneguhkan kembali Pasal 18B ayat 2 yang menjadi landasan konstitusional pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat.
Dua jebakan
Meski telah muncul putusan MK itu, upaya memperjuangkan tanah masyarakat adat atau hutan adat bukan hal mudah karena ada dua kata sakti yang menurut Rukka jadi jebakan, yaitu clear and clean. Clear ada peraturan daerah pengakuannya, sedangkan clean tidak ada izin di atas wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat.
Bagi masyarakat adat yang nirakses, dua syarat itu berubah jadi “jebakan batman”-dikatakan sekedar syarat padahal memberatkan. Fakta berbicara, sejak pemerintahan Soeharto di era Orde Baru, wilayah hutan telah dibagi-bagi ke perusahaan besar dengan izin Hak Pengusahaan Hutan. Ketika itulah hutan dibabat habis. Ketika kayu usia ratusan tahun itu habis, izin diubah menjadi izin untuk Hutan Tanaman Industri atau perkebunan terutama kelapa sawit. Maka, proses mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat menjelma menjadi sebuah jalan terjal.
Dari berbagai forum tentang masyarakat adat terungkap, pengakuan tersebut akan lancar tanpa harus was-was ketika peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah diinisiasi oleh kepala daerah atau legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD.
Masyarakat adat harus membuktikan beberapa hal antara lain: memiliki ikatan pada asal-usul leluhur atau sejarah, kesamaan tempat tinggal, adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun, ada peninggalan berupa materi (benda). Mereka harus membuktikan bahwa mereka “ada”.
“Pemerintah seharusnya mendorong perda yang menjadi syarat agar wilayah adat atau hutan adat dikembalikan,” tandas Rukka. Di sisi lain, UU Masyarakat Hukum Adat yang diharapkan bisa menjadi payung hukum sebagai terjemahan dari Pasal 18 UUD 1945 tak kunjung hadir.
Pemerintah seharusnya mendorong perda yang menjadi syarat agar wilayah adat atau hutan adat dikembalikan.
Telah 20 tahun usia AMAN. Sejak lahir pada 19 Maret 1999 hingga usia 10 tahun, AMAN adalah anak kecil yang rewel, menjadi tukang protes. Itu mereka sebut masa konfrontasi. Ketika mendapat respon positif dari Pemerintahan SBY, setelah relasi negara dan masyarakat adat diakui negara, AMAN masuk masa engagement, berdialog membantu pemerintah. Banyak dilakukan pemetaan wilayah adat, dan AMAN terlibat dalam penyusunan kebijakan satu peta bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan pihak-pihak lain.
Komitmen pada masyarakat adat dalam NAWACITA membangkitkan harapan, namun rupanya janji-janji ini sebagian besar tidak jalan. Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional mengilas balik 20 tahun usia AMAN mengatakan, “Tantangan terbesar kami di AMAN saat ini adalah menjawab tantangan 10 tahun ke depan. Konfrontasi atau engagement, atau membangun pilihan baru?” Retorika yang dia lanjutkan, “Kita tunggu pengumuman Kabinet Jokowi-Ma’ruf.”
Yang pasti, AMAN, kata Abdon, bersama para pemuda AMAN akan terus bergerak menjaga dan merawat identitas budaya dan mengelola kekayaan alam di wilayah-wilayah adat. Tekad yang senafas dengan prestasi dua putri Dayak Aysa Aurealya Maharani dan Anggina Rafitri yang memenangkan Gold Medals pada ajang World Invention Creativity (WICO) di Seoul. Itulah kekayaan riil masyarakat adat. Semoga Presiden Jokowi ingat akan janjinya terhadap warga AMAN di Jalan Wahid Hasyim.