Pemerintah Siapkan Strategi Jangka Pendek Dorong Ekspor
›
Pemerintah Siapkan Strategi...
Iklan
Pemerintah Siapkan Strategi Jangka Pendek Dorong Ekspor
Pemerintah menyiapkan strategi jangka pendek untuk mendorong kinerja ekspor yang lesu. Strategi jangka pendek itu difokuskan pada percepatan ratifikasi perjanjian internasional, peningkatan misi dagang, dan promosi produk dalam negeri.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan strategi jangka pendek untuk mendorong kinerja ekspor yang lesu. Strategi jangka pendek itu difokuskan pada percepatan ratifikasi perjanjian internasional, peningkatan misi dagang, dan promosi produk dalam negeri.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, Kamis (15/8/2019), neraca dagang Indonesia defisit 1,9 miliar dollar AS selama Januari-Juli 2019. Defisit neraca dagang pada Januari-Juli 2019 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan Januari-Juli 2018 yang sebesar 3,2 miliar dollar AS.
Nilai impor sepanjang Januari-Juli 2019 sebesar 97,68 miliar dollar AS, lebih rendah dari Januari-Juli 2018 yang mencapai 107,35 miliar dollar AS. Namun, kinerja ekspornya merosot dari 104,14 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2018 menjadi 95,79 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2019.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, fokus pemerintah saat ini meningkatkan ekspor jangka pendek. Salah satu caranya dengan membuka akses perdagangan melalui perjanjian internasional, misi dagang, dan promosi produk.
”Kami akan percepat perundingan-perundingan supaya akses pasarnya terbuka. Ini bisa mendorong ekspor dalam waktu pendek,” kata Indrasari seusai rapat koordinasi neraca dagang di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis.
Defisit neraca dagang dipengaruhi kenaikan impor barang-barang asal China. BPS mencatat, impor asal China sepanjang Januari-Juli 2019 sebesar 24,73 miliar dollar AS. Impor asal China pada Juli 2019 melonjak 57,68 persen dibandingkan Juli 2018, yaitu sebesar 1,5 miliar dollar AS.
Menurut Indrasari, lonjakan impor asal China perlu identifikasi lebih lanjut, termasuk kemungkinan akibat pelemahan mata uang yuan atau daya saing industri domestik. Pemerintah juga harus memetakan peningkatan impor menurut jenis barang dan jadwal pemesanan. Lonjakan impor tidak mungkin terjadi tiba-tiba.
”Semua kemungkinan harus dicek dulu. Tidak boleh gegabah barang China lebih murah karena semua dibeli dengan dollar AS bukan yuan,” kata Indrasari.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, kinerja neraca perdagangan Indonesia selama Januari-Juli 2019 dipengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara mitra dagang, dinamika perang dagang AS-China, dan perlemahan harga komoditas global.
Defisit perdagangan Indonesia-China semakin dalam dari 10,33 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2018 menjadi 11,05 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2019. Produk asal China yang banyak diimpor Indonesia, antara lain telepon seluler, laptop atau komputer pribadi, penyejuk air ruangan, dan bawang putih.
”Kita tidak bisa terus melihat faktor eksternal, tetapi dari internal juga butuh pembenahan,” kata Suhariyanto.
Harga komoditas
Di sisi lain, lanjut Suhariyanto, defisit neraca dagang Indonesia dipengaruhi pelemahan harga komoditas global, seperti batubara, minyak sawit, dan karet. Perlambatan ekspor patut diperhatikan serius. Struktur ekspor Indonesia tidak banyak berubah dan masih bergantung komoditas mentah.
Defisit neraca dagang Indonesia dipengaruhi pelemahan harga komoditas global, seperti batubara, minyak sawit, dan karet.
Mengutip data BPS, defisit migas mengecil dari 1,24 miliar dollar AS pada Januari-Juli 2018 menjadi 142,4 juta dollar AS pada Januari-Juli 2019. Ekspor migas naik dari 1,41 miliar dollar AS menjadi 1,6 miliar dollar AS, sementara impor migas turun dari 2,66 miliar dollar AS menjadi 1,74 miliar dollar AS.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan, neraca dagang migas diupayakan terus membaik hingga akhir tahun. Pemerintah tengah menyiapkan strategi pengurangan impor migas melalui kebijakan biodiesel 30 persen (B30) dan penyerapan minyak mentah oleh PT Pertamina.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan teknologi untuk penerapan B100 di masa depan dan penggunaan minyak sawit untuk green diesel. Teknologi green diesel mampu mengubah solar menjadi bahan bakar berkualitas tinggi, misalnya, untuk avtur.
”Semua strategi pemerintah untuk mengurangi impor migas butuh waktu. Tidak bisa instan,” kata Archandra.