Selain percepatan pembangunan fisik dan infrastruktur, pemulihan psikososial penyintas gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, harus menjadi perhatian.
Oleh
ismail zakaria
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Selain percepatan pembangunan fisik dan infrastruktur, pemulihan psikososial penyintas gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, harus menjadi perhatian. Peta jalan pemulihan itu juga perlu didesain dengan baik sehingga trauma para penyintas tidak berlarut dan dapat lebih cepat menjalankan keberfungsian sosial.
Hal itu menjadi salah satu poin dalam acara "Refleksi Satu Tahun Gempa Bumi NTB" di Mataram, Kamis (15/8/2019). Acara itu diselenggarakan bersama oleh aliansi masyarakat sipil pemulihan bencana gempa bumi NTB, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB, Gravitasi, Education Consultant Counseling Carreer (EC3), Masyarakat Adat Sasak (MAS), dan Yayasan Sheep Indonesia.
Ketua EC3 A Hari Witono mengatakan, psikososial (hubungan kesehatan mental atau emosional seseorang dengan kondisi sosial) pada penyintas gempa tidak bisa dianggap remeh dan perlu mendapat dukungan pemulihan dari semua pihak.
"Penguatan secara psikologis penting karena dampaknya banyak. Selain mereka bisa menjalankan kehidupan sehari-hari (menjalankan keberfungsian sosial), ke depan, mereka lebih tangguh dan bisa bertahan ketika menghadapi bencana serupa," kata Hari.
Menurut Hari, jika berbicara tentang penyintas gempa bumi Lombok 2018, pemulihan psikososial mereka hampir belum tersentuh. Akibatnya, hingga saat ini, sebagian besar penyintas masih trauma.
Berdasarkan hasil kegiatan Rehabilitasi Psikosisial Masyarakat yang dilakukan di enam dusun di Lombok Utara, mereka menemukan 33 penyintas traumatik, baik secara fisik, interpersonal, dan emosional.
Hari menjelaskan, dari 33 orang itu, sebanyak 10 orang mengalami gejala traumatik fisik seperti tidak ada gairah makan, badan gemetar, demam, sering buang air kecil, gelisah tidak bisa tidur, kondisi tubuh lemas, bahkan lumpuh.
Kalau tidak ada pendekatan, (traumatik) tidak akan hilang, seperti yang masih bisa ditemukan hingga sekarang.
Sedangkan gejala traumatik interpersonal dialami sebanyak 3 orang meliputi murung, tidak mau bergaul, menyendiri, dan sulit diajak bicara. Adapun untuk gejala traumatik pada kondisi emosional dialami 10 orang berupa perasaan takut, cemas, marah-marah tidak beralasan, mudah terkejut, dan mimpi buruk.
"Itu baru di beberapa dusun, belum yang lain. Jumlahnya bisa lebih banyak," kata Hari.
Menurut Hari, lama pemulihan memang tergantung pada kemampuan masing-masing individu, secara umum tiga bulan. Tetapi, itu dengan pendekatan-pendekatan tertentu. "Kalau tidak ada pendekatan, (traumatik) tidak akan hilang, seperti yang masih bisa ditemukan hingga sekarang," katanya.
Suwarno Atmojo (42), penyintas gempa di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, mengatakan, hingga saat ini dia masih trauma dan khawatir dengan adanya gempa susulan. "Kalau malam, saya masih belum berani tidur di dalam rumah," katanya.
Hari menambahkan, mengingat pentingnya pemulihan itu, pemerintah selaku pemegang kebijkan dan anggaran harus mendesain peta jalan pemulihan dengan baik. "(Pemulihan) fisik boleh jalan terus, tetapi kita juga harus masuk ke psikososial," ujarnya.
Menurut dia, peta jalan pemulihan psikososial penyintas gempa bisa didesain dengan menggunakan segala sesuatu yang dekat dengan masyarakat. Tidak hanya kader dari tempat penyintas itu tinggal, tetapi juga kearifan-kearifan lokal yang selama ini tumbuh bersama mereka.
"Kader desa secara teknis punya pendidikan, sehat lahir dan batin. Sedangkan untuk kearifan lokal, bisa berbagai bentuk, seperti permainan tradisional, hikayat, tarian, termasuk pengajian dan khotbah Jumat," kata Hari.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nusa Tenggara Barat Ahsanul Khalik mengatakan, selain rekonstruksi dan rehabilitasi bangunan fisik dan infrastruktur, pemulihan psikososial memang menjadi salah satu prioritas pemerintah. Selain dari Kementerian Sosial, program pemulihan itu juga dilakukan Dinas Sosial serta melibatkan lembaga swadaya masyarakat.
Sejumlah catatan
Gempa bermagnitudo 7,0 yang mengguncang Lombok dan wilayah terdekat seperti Pulau Sumbawa dan Bali tidak hanya merusak bangunan, tetapi juga merenggut korban jiwa. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Januari 2019, tercatat 564 orang meninggal (dua di antaranya di Bali, dua di Sumbawa Barat, dan lima di Sumbawa), 1.886 orang luka-luka, dan 472.419 orang mengungsi. Sementara, rumah rusak mencapai 216.489 unit.
Sebaliknya, jika tidak berjalan dengan baik, masyarakat akan menghadapi ancaman baru.
Hingga saat ini, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) masih terus berjalan. Menurut Staf Bidang Pengorganisasian dan Advokasi Yayasan Sheep Indonesia Husaini, proses RR menjadi fase yang sangat menentukan masa depan keberlanjutan pembangunan dan kehidupan para penyintas.
"Jika fase RR terlaksana dengan baik, maka kehidupan penyintas dan program pembangunan berikutnya berpeluang menjadi lebih baik," katanya.
Terlaksananya fase RR dengan baik, kata Husaini, sekaligus akan memperkuat masyarakat ketika menghadapi persoalan atau bencana yang sama di kemudian hari. "Sebaliknya, jika tidak berjalan dengan baik, masyarakat akan menghadapi ancaman baru," ucapnya.
Terkait proses RR pascagempa Lombok, menurut Husaini, terdapat sejumlah hal yang perlu mendapat perhatian. Selain pemulihan psikososial penyintas, masalah data kerusakan juga harus dicermati dengan baik. Hingga saat ini, data kerusakan masih dinamis, terutama terkait data kerusakan hunian.
Masalah lain, kata Husaini, terkait proses RR yang lambat serta penyerahan jatah hidup (jadup) untuk penyintas yang belum merata. Persoalan-persoalan itu tidak terlepas dari masalah data yang tidak akurat.
Direktur Walhi NTB Murdani mengatakan, untuk menyikapi berbagai persoalan tersebut, mereka mengusulkan agar pemerintah menyediakan pusat informasi dan pengaduan yang bisa diakses semua pihak, termasuk organisasi masyarakat dan para penyintas. "Pusat informasi yang baik dan akurat akan membantu pemerintah, penyintas, dan para pihak menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing secara presisi," katanya.
Selain itu, mitigasi bencana juga perlu menjadi prioritas, termasuk pengarusutamaannya dalam berbagai program pemerintah. "Mitigasi bencana harus dilakukan secara masif. Kami, misalnya, sudah mulai mendorong hal itu dengan menghadirkan perwakilan 32 desa di Lombok Utara untuk pelatihan pengurangan risiko bencana," kata Murdani.
Ahsanul sebelumnya mengatakan, proses RR gempa Lombok memang belum satu data. Hal itu membuat kontrol sulit dilakukan, baik proses pembangunan hunian, aplikator dan fasilitator, serta kelompok masyarakat di lapangan. Oleh karena itu, selain mendorong sistem Satu Data Kebencanaan, mereka juga akan membuka posko pengaduan bagi para penyintas gempa.