Beberapa wilayah di Kabupaten Bogor mengalami kekeringan, Rabu (14/8/2019). Musim kemarau yang sangat kering saat ini diperkirakan berlanjut hingga September. Masyarakat diharapkan beradaptasi dan meningkatkan kepedulian pada yang kekurangan air bersih.
Oleh
Ratih P Sudarsono
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Beberapa wilayah di Kabupaten Bogor mengalami kekeringan, Rabu (14/8/2019). Musim kemarau yang sangat kering saat ini diperkirakan berlanjut hingga September mendatang. Masyarakat diharapkan beradaptasi dan meningkatkan kepedulian pada yang kekurangan air bersih.
Kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor Yani Hassan, Selasa, mengatakan, musim kemarau kali ini lebih kering dibandingkan dengan musim kemarau tahun 2018 dan 2017. Laporan-laporan dari wilayah yang terjadi kekeringan dan meminta bantuan pengadaan air bersih masuk ke kantornya sejak sepekan ini.
Ia menyebutkan, kekeringan kali ini tidak merata. Dari 40 kecamatan di kabupaten, hanya beberapa kecamatan yang melapor bahwa di daerahnya ada kekeringan akibat kemarau.
”Namun, itu juga bukan kekeringan di seluruh kecamatan tersebut. Hanya ada di beberapa desanya. Itu juga bukan berarti seluruh desa itu mengalami kekeringan. Misalnya saja laporan dari Kecamatan Jonggol, itu tidak semua Jonggol kering. Hanya ada dua desa yang dilaporkan ada kekeringan,” tutur Yani Hassan.
Permintaan bantuan air bersih karena kekeringan juga datang dari desa. Namun, yang mengalami kekeringan bukan semua desa, tetapi ada di beberapa RT di beberapa RW atau kampung, misalnya permohonan dari Desa Cimulang di Kecamatan Rancabungur.
”Yang kekeringan di beberapa RT, tetapi di RT atau RW tetangganya sumur masih berair, tidak ada masalah dengan air bersih,” katanya.
Data dan peta pemantauan sumber air yang masih ada sampai musim hujan tiba diperlukan untuk data penanganan musim kemarau pada masa berikutnya.
Itu sebabnya, lanjut Yani Hassan, pihaknya sudah meminta aparat di kecamatan dan desa serta komunitas yang bermitra dengan BPBD untuk mendata dan memetakan sumur atau sumber air mana saja yang masih memiliki air bersih di lokasi atau daerah yang dilaporkan ada kekeringan dan minta bantuan air bersih.
Data dan peta pemantauan sumber air yang masih ada sampai musim hujan tiba diperlukan untuk data penanganan musim kemarau pada masa berikutnya.
Yani menyebutkan, kegiatan pendataan, pemetaan, dan pemantauan ini akan memakan waktu lama, tetapi sangat diperlukan. Dengan demikian, ketika musim kemarau terjadi lagi, dapat segera diketahui di mana sumber air terdekat dari daerah atau titik kering tersebut.
”Kalau sekarang, bantuan air bersih mengandalkan PDAM di Cibinong yang menjadi tidak efektif karena lokasinya jauh dari pusat atau titik kekeringan. Kalau, misalnya, diketahui di Kampung A kekeringan, tetapi di Kampung B tetangganya masih banyak sumber air, bantuan air bersih bisa langsung dari Kampung B, lebih cepat dan murah,” tuturnya.
”Kami juga akan menggalakkan kepedulian masyarakat terhadap air bersih. Sekarang ini, yang sumurnya atau mata airnya masih ada air meneng saja,” lanjutnya.
Lebih kering
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Bogor Hadi Saputra menegaskan, musim kemarau kali ini lebih kering dari tahun sebelumnya. Ini terjadi karena El Nino lemah, tetapi dipole mode lebih positif. Adapun puncak kemarau diprediksi terjadi pada September dan hujan mulai ada ketika masuk Oktober, tetapi dengan curah masih kecil.
”Jadi, masyarakat harus bijak dalam menggunakan air bersih. Potensi gagal panen juga cukup besar saat ini. Musim hujan baru tiba pada November. Potensi kekeringan yang sangat parah di Bogor bagian timur, seperti Jonggol dan sekitarnya. Sudah hampir tiga bulan tidak ada hujan di sana,” katanya.
Kewaspadaan juga perlu ditingkatkan atas ancaman kebakaran. ”Angin dari tenggara sangat kencang. Kondisi kering sekali terjadi kebakaran. Ini harus diwaspadai karena ada angin besar. Masyarakat harus beradaptasi dengan kemarau yang sangat kering ini. Bijaklah dalam menggunakan air bersih,” tuturnya.
Terkait musim kemarau, Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Dicky Pastika Gading menginstruksikan jajarannya agar kegiatan sosial dan kemasyarakatan diarahkan berupa pemberian bantuan air bersih kepada masyarakat yang mengalami kekeringan.
Kegiatan sosial dan kemasyarakatan diarahkan berupa pemberian bantuan air bersih kepada masyarakat yang mengalami kekeringan.
”Dalam rangka 17 Agustus ini, Kemerdekaan Indonesia, apa yang bisa kita lakukan, yang sesuai dengan kemampuan kita. Lalu, saya bilang, salah satu yang kita mampu adalah bantuan air. Kami cari juga siapa donatur yang juga berminat memberi bantuan air bersih bersama kami. Kami laksanakan itu,” katanya.
Menurut Dicky, kalau setiap polsek bisa memberikan satu tangki air bersih, akan lumayan karena ada 30 polsek di jajaran polres. Polres Bogor pada Rabu ini memberikan bantuan air bersih di wilayah Gunung Putri.
”Bantuan lainnya juga diupayakan ke kantong-kantong warga miskin. Musim kemarau kali ini lumayan kering. Kami dengan pejabat muspida lainnya juga sudah berkoordinasi untuk mengantisipasi,” ucapnya.
Pemda perlu bersiap
Pengamat iklim yang juga dosen di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisikan Jakarta, Dedi Sucahyono, mengatakan, dalam 40 hari terakhir ini, curah hujan benar-benar tidak ada di Jawa Barat. Kalaupun ada, curah hujan sangat kecil dan terjadi di Garut.
”Terjadi kekeringan ekstrem di beberapa daerah sejak Agustus ini. Informasi dan data yang saya dapat, baru Oktober akan ada hujan. Masyarakat harus waspada, masih dua bulan lagi baru ada hujan,” ujarnya.
Menurut Hadi, 40 hari tidak turun hujan ini secara meteorologis berarti kekeringan sudah parah. Sepengetahuannya, beberapa periode musim pada tahun-tahun sebelumnya tidak separah kemarau kali ini.
”Jika prediksinya menjadi kenyataan, kemarau ini akan berlanjut dan mencapai puncaknya pada September. Segeralah beradaptasi dengan kekurangan air. Pemda harus bersiap memberi bantuan air bersih yang sangat dibutuhkan masyarakat,” katanya.
Hadi menambahkan, kekeringan kali ini kemungkinan akan dibarengi kekeringan hidrologis. Sumber air berkurang karena perubahan lingkungan dan penggunaan/penyedotan air bersih yang sudah berlebihan. Karena itu, selain menjaga lingkungan, perlu juga diperhatikan pembangunan dan pengelolaan air di sumber-sumber air.
”Jika terjadi kekeringan, jangan menyalahkan hujan yang tidak turun atau faktor meteorologis. Coba teliti siklus hidrologinya, apakah lingkungan alam di kawasan tangkapan air masih baik dan bagaimana menggunakan atau penyedotan air di sumber airnya. Sekarang terlihat, sungai-sungai kering. Ini artinya di daerah tangkapan dan sumber air sudah rusak,” kata Hadi.