Regulasi Standar Penangkapan Kakap dan Kerapu Belum Ada
JAKARTA, KOMPAS – Penangkapan ikan kerapu dan kakap belum memiliki standar regulasi terkait ukuran ikan, lokasi penangkapan, serta alat tangkap. Standar tersebut dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutan jenis ikan yang memiliki pasar ekspor maupun domestik ini.
Ukuran aman ikan kerapu dan kakap untuk ditangkap dari alam hingga kini masih di-drive oleh pasar, terutama tujuan ekspor. Di sisi lain, perdagangan jenis ikan-ikan karang tersebut di pasar domestik yang mencapai 60 persen masih relatif bebas dari sisi ukuran maupun lokasi tangkap.
Muhammad Ilman Direktur Program Kelautan Indonesia Yayasan Konservasi Alam Nusantara afiliasi The Nature Conservancy, Rabu (14/8/2019) di Jakarta, mendorong pemerintah memiliki rencana pengelolaan perikanan (RPP) kakap dan kerapu.
“KKP bisa percaya diri akan data kerapu dan kakap di semua hampir wilayah penangkapan, terutama WPP 713 (perairan antara Kalimantan-Sulawesi-Nusa Tenggara),” kata dia di sela-sela pertemuan 12 perusahaan perikanan Indonesia dan internasional dalam Fisheries Improvement Project (FIP) terkait kakap dan kerapu.
Data ini didapatkan TNC yang bekerja di WPP itu dengan ratusan nelayan untuk mendeteksi jenis ikan beserta ukuran yang ditangkap sejak tahun 2014. Data itu diperlukan mengingat karakteristik tempat pendaratan ikan (TPI) yang memiliki data serupa, menampung ikan dari berbagai perairan. Untuk menghitung stok ikan dan pengelolaan wilayah penangkapan, data seperti ini tak bisa dipakai.
Indonesia baru memiliki RPP berbasis spesies pada rajungan, ikan terbang, ikan lemuru, ikan tuna, ikan cakalang, dan ikan tongkol. Ikan kerapu dan kakap memerlukan juga pengaturan mengingat kelestarian jenis-jenis ikan ini terancam oleh praktik penangkapan ikan anakan untuk memenuhi permintaan pasar ikan utuh maupun filet.
Bila jenis-jenis ikan penanda kesehatan perikanan ini terus diambil pada usia anakan, keberlanjutannya bisa terancam. Peter Mous, Direktur Perikanan TNC menggambarkan survei armada di sekeliling Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Barat, tak dijumpai perikanan kakap dan kerapu. Dengan kondisi ini diperkirakan stok populasi setempat sudah berada jauh di bawah standar.
Bila jenis-jenis ikan penanda kesehatan perikanan ini terus diambil pada usia anakan, keberlanjutannya bisa terancam.
Menurut dia, butuh populasi minimal 40 persen untuk menjaga keberlangsungan ikan tersebut. Angka itu untuk memastikan ikan memiliki kesempatan memperbanyak diri atau memperbaiki populasinya.
Perikanan berkelanjutan
Praktik baik perikanan bisa dilakukan antara lain dengan menciptakan sistem pada perusahaan pengekspor atau penampung untuk hanya menerima ikan kerapu dan kakap ukuran dewasa. Tantangannya, ikan ini memiliki lebih dari 20 jenis yang biasa ditangkap nelayan dan masing-masing berukuran spesifik yang menunjukkan ikan telah dewasa atau produktif.
“Industri perikanan bisa mewajibkan pengepul atau nelayan kecil untuk mengirim ikan kerapu dan kakap berukuran besar beserta lokasi penangkapan,” katanya.
Cerry, Manajer Utama PT Graha Insan Sejahtera, perusahaan perikanan berbasis di Jakarta yang mengikuti FIP, mengatakan pasar di Amerika dan Jepang menuntut jaminan produk ikan kerapu dan kakap yang berkelanjutan. Ia pun mengaku dalam jaminan kualitas perusahaan hanya menerima suplai ikan dari pengepul yang memiliki catatan ukuran dan lokasi penangkapan.
“Kita punya kapal sendiri kemungkinan akan diterapkan di kapal-kapal kita,” kata dia. Untuk melakukan hal ini, butuh investasi tenaga kerja terlatih maupun peralatan.
Program FIP untuk perikanan kakap dan kerapu ini mencatat bisnis 1 juta dollar AS di Indonesia dengan keterlibatan 100.000 tenaga kerja. Ilman mengestimasi bergabungnya 12 perusahaan dalam FIP telah mencakup 20 persen total produk ekspor tahunan yang mencapai 85.000 ton. Keterlibatan dalam FIP ini untuk tahapan mencapai sertifikasi perikanan tangkap internasional Marine Stewardship Council (MSC).
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengatakan perikanan berkelanjutan merupakan kewajiban, bukan lagi pilihan. Perikanan kerapu dan kakap dinilainya cukup kompleks karena menyangkut jumlah spesies yang sangat banyak (sekitar 100 spesies kakap, kerapu, dan ikan lencam/emperor) serta pelaku penangkapan merupakan nelayan kecil.
Karena itu, ia berharap FIP yang dikembangkan TNC bersama pelaku perikanan ini bisa dipetik pelajaran juga untuk implementasinya dari sisi regulasi maupun replikasi di tempat lain. “Sekarang ini momentum bagus karena banyak ikan dan (kapal) asing sudah diusir. Bagaimana manfaatkan secara strategis dan tantangannya pada sustainable,” katanya.
Program Consultant Indonesia pada MSC Asia Ltd, Hirmen Syofyanto mengatakan saat ini baru terdapat satu perusahaan di Sorong, Papua Barat yang mendapatkan sertifikat MSC yaitu jenis penangkapan tuna. Untuk penangkapan kakap dan kerapu, ia mengaku belum ada di dunia.
Perikanan tangkap kerapu dan kakap umumnya dilakukan perikanan skala kecil yaitu kurang dari 10 gross ton. Pelakunya pun nelayan kecil yang memiliki kapasitas rendah terhadap pendataan dan pencatatan. Selain itu, variasi spesies ikan kakap dan kerapu sangat banyak.
"Untuk sertifikasi harus jelas jenis (spesies) apa, ditangkap pakai apa, dimana, perahunya apa. Ini keunikan dan terobosan baru untuk kerapu dan kakap. Belum ada di dunia untuk hal ini. Belum ada standar," ujarnya.
author: ICHWAN SUSANTO
byline: ICHWAN SUSANTO
https://youtu.be/UH5ku17uQeE
https://youtu.be/-QGNnqcpe4c
https://youtu.be/t7FSh7PMzVU