Citra Kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata baru terancam pudar oleh persoalan sampah plastik dan kerusakan lingkungan. Mahariah (49) sadar benar hal itu. Ibu dua anak itu mengajak masyarakat untuk memerangi sampah dan melestarikan lingkungan pulau.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
Citra Kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata baru terancam pudar oleh persoalan sampah plastik dan kerusakan lingkungan. Mahariah (49) sadar benar hal itu. Ibu dua anak itu mengajak masyarakat untuk memerangi sampah dan melestarikan lingkungan pulau.
Belasan tong sampah yang terbuat dari botol plastik bekas terpajang di sudut-sudut jalan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (26/6/2019). Benda daur ulang itu menjadi saksi perjuangan masyarakat Kepulauan Seribu yang tengah berupaya memerangi sampah plastik.
Mereka sadar benar sampah adalah musuh utama pariwisata di Kepulauan Seribu. Betapa tidak, jika kita berlancar di sekitar pantai, setiap beberapa meter selalu botol plastik, bungkus deterjen, dan kantong plastik mengapung di laut. Secara garis besar ada tiga jenis sumber sampah di Kepulauan Seribu, yaitu sampah laut, sampah dari pulau, dan sampah kiriman dari daratan Jakarta.
Kepulauan Seribu tidak memiliki tempat pembuangan sampah. Sampah-sampah dari Kepulauan Seribu dikumpulkan, lalu diangkut menggunakan kapal ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Jawa Barat. Biaya untuk sekali angkut membuang sampah bisa mencapai puluhan juta rupiah karena harus menyewa kapal pengangkut. Pengangkutan sampah dilakukan sekali dalam sepekan.
Kami ingin potong jalur itu agar sampah setidaknya bisa dikelola di sini dulu. Sisanya baru dibuang ke Bantar Gebang.
”Makanya kami ingin potong jalur itu agar sampah setidaknya bisa dikelola di sini dulu. Sisanya baru dibuang ke Bantar Gebang,” ujar Mahariah, Ketua Sentra Penyuluhan dan Konservasi Pedesaan (SPKP) yang bergerak di bidang edukasi, rehabilitasi lingkungan, dan penciptakan mata pencarian alternatif berbasis lingkungan.
Sebagai Ketua SPKP, Mahariah membimbing warga Kepulauan Seribu agar tidak langsung membuang sampah begitu saja, tetapi mengolahnya menjadi barang-barang bernilai ekonomi. Upaya tersebut disebut juga reduksi sampah. Tong sampah dari botol plastik, kursi, dan hiasan lampu merupakan salah satu contohnya.
Gerakan perang terhadap sampah dimulai pada 2006 ketika Mahariah dipercaya warga menjadi ketua SPKP. Guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 17 Pulau Panggang awalnya tidak begitu menguasai pengetahuan tentang pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, ia rajin membaca buku-buku dan aktif mencari tahu peraturan-peraturan daerah atau regulasi tentang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Ia juga berinisiatif mengikuti diskusi-diskusi yang digelar beberapa kampus yang mengambil lokasi di Kepulauan Seribu. Cara-cara tersebut sedikit banyak membantu memperluas cakrawala pengetahuannya tentang pemberdayaan masyarakat.
Berbekal pengetahuan tersebut, ia mendampingi warga pulau untuk mengelola sampah sendiri. Semua ia lakukan setelah selesai mengajar di sekolah. Hasilnya, sebagian sampah di Pulau Pramuka berhasil diatasi. Selain itu, juga tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat pulau untuk menekan penggunaan sampah plastik.
Ia lantas menyasar anak-anak sekolah. Beberapa kali dia mengadakan kelas edukasi tentang pelestarian lingkungan sekali setiap pekan di sekolah dasar. Ia dibantu para siswa SMA yang menjadi mentor bagi siswa SD.
Cibiran
Meski demikian, maksud baik Mahariah tidak begitu saja diterima masyarakat. Sebagian dari mereka justru mencibir dan mengira gerakan yang dilakukan Mahariah sekadar untuk mencari proyek. Tantangan lainnya yakni ketika kegiatan perang sampah sudah berjalan. masyarakat menanyakan timbal balik dari apa yang mereka kerjakan.
Pertanyaan itu menyadarkan Mahariah bahwa setiap upaya penyelamatan lingkungan mesti disisipi pendekatan ekonomi. Karena itu, ketika ia memperluas gerakan perang terhadap sampah ke kegiatan penanaman mangrove, ia memberikan ”hadiah” kepada warga yang ikut. Ia, misalnya, meminta warga mencari bibit mangrove dan membeli bibit itu Rp 100 per bibit.
Cara itu ternyata berhasil. Banyak orang mau bergabung dalam gerakan tersebut. Awalnya yang terlibat hanya 10-15 orang, selanjutnya bertambah hingga ratusan orang. Hasilnya benar-benar menggembirakan. Kini ada 11 pulau di Kepulauan Seribu yang sudah ditanami mangrove sejak 2007. Luasnya diperkirakan berkisar 1.000 hektar ekuivalen mangrove.
”Untuk menjaga keberlanjutan menanam mangrove, mereka saya ajari cara menanam mangrove. Lama-lama mereka ada yang jadi pemandu dan dapat fee dari atraksi (menanam mangrove) untuk wisatawan,” ucapnya.
Mahariah tidak berhenti sampai di sini. Ia melangkah lebih jauh dengan mengajak warga membuat lubang biopori dan sumur resapan. Ia sadar benar, masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan merupakan yang paling rentan terdampak perubahan iklim dan anomali cuaca. Sebagai contoh, ombak yang seharusnya tenang di musim angin timur tetap tinggi karena perubahan iklim. Selain itu, masyarakat Pulau Pramuka juga sempat tujuh bulan tidak mendapatkan curah hujan.
Perkembangan pariwisata di Kepulauan Seribu juga memantik kekhawatiran Mahariah. Seiring kian banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung, usaha homestay bertambah banyak dan mulai tak terkendali. Kondisi itu mengancam ruang terbuka hijau dan daerah resapan air hujan di Pulau Pramuka. Untuk mengatasi hal itu, ia menggagas konsep homestay ”terapung” yang dibangun di atas perairan. Gagasan itu tinggal menunggu realisasinya.
Berkat berbagai upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan Mahariah, ibu dua anak ini memperoleh Kalpataru pada 2017 atas dedikasinya sebagai pengabdi lingkungan.
Ia mensyukuri penghargaan itu. Namun, ia sebenarnya mendambakan gerakan penyelematan lingkungan yang dilakukan di Kepulauan Seribu bisa menjalar hingga ke daratan Jakarta.
Mahariah
Lahir: Kepulauan Seribu, 30 Desember 1969
Suami: Ahmad (alm)
Anak: Intan Syahriani (25)
Pendidikan:
- SD 01 Pulau Panggang
- SMP 133 Pulau Pramuka
- SMA 69 Pulau Pramuka
- S1 Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Islam Salahudiin Al Ayubi Jakarta
Pekerjaan: Guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 17 Pulau Panggang
Penghargaan: Kalpataru dari Presiden RI pada 2017 atas dedikasinya sebagai pengabdi lingkungan
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.