Upaya menggali nilai-nilai luhur bangsa terus dilakukan. Salah satunya melalui pendekatan arkeologis. Kompas edisi 16 Agustus 1980 mewartakan keberhasilan tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengekskavasi situs bekas Keraton Pajang di Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Analisis arkeologi menyimpulkan bahwa Kerajaan Pajang dari tradisi seni hiasnya masih melanjutkan seni hias Majapahit. Masa Permukiman Kerajaan Pajang yang dibangun Sultan Hadiwijoyo (1546-1580 M) berlangsung hingga pertengahan abad ke-17.
Kajian kepustakaan menegaskan peran keraton sebagai simpul budaya yang mengakomodasi keberagaman. Kerajaan Majapahit yang berdiri pada akhir abad ke-13 hingga awal abad ke-16 menguasai gugusan Nusantara yang beragam latar belakang sosial-budaya. Setelah Majapahit runtuh, muncul Kerajaan Mataram Islam yang jejaknya dapat kita lihat di keraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran.
Perpaduan (manunggaling) Islam-Jawa ini masih terasa hingga saat ini. Banyak ritual adat yang bercampur dengan prinsip spiritual Islam, seperti sekaten.
Pemaduan nilai Islam dengan Syiwa-Buddha ini diteruskan secara institusional oleh penguasa Islam di Jawa. Setelah Demak runtuh, raja di Kerajaan Pajang melanjutkannya. Demikian pula dengan raja Mataram Islam. Puncaknya adalah pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menyatukan kalender Jawa yang merujuk kepada penanggalan Hindu dengan kalender Hijriah yang merujuk kepada Islam (Kompas, 30/1/2006).
Strategi penyebaran Islam di Jawa, khususnya di Jateng, dilakukan dengan membentuk komunitas yang disebut daulat umat. Cara ini dilakukan Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga berbasis pada komunitas merdeka serta egaliter. Jejak perkampungan Islam yang nonhierarkis bisa dilihat di Tingkir (Salatiga) dan Pabelan (Magelang). (NAR)