Meski menipis dibanding Januari-Juli 2018, defisit masih menjadi tantangan Indonesia di tujuh bulan pertama tahun 2019. Neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Juli 2019 mengalami defisit 1,9 miliar dollar AS. Surplus nonmigas sebesar 3,028 miliar AS di periode itu tidak mampu menutup defisit migas yang sebesar 4,924 miliar dollar AS.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski menipis dibanding Januari-Juli 2018, defisit masih menjadi tantangan Indonesia di tujuh bulan pertama tahun 2019. Neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Juli 2019 mengalami defisit 1,9 miliar dollar AS. Surplus nonmigas sebesar 3,028 miliar AS di periode itu tidak mampu menutup defisit migas yang sebesar 4,924 miliar dollar AS.
”Defisit yang kita alami ini agak menipis apabila dibandingkan defisit Januari-Juli 2018 yang 3,2 miliar dollar AS,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Nilai total ekspor Indonesia Januari-Juli 2019 sebesar 95,79 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas menyumbang 91,94 persen dari total ekspor tersebut. Total ekspor ini melambat 8,02 persen dibandingkan Januari-Juli 2018 yang 104,14 miliar dollar AS.
”Hal ini tentu perlu menjadi perhatian karena struktur ekspor Indonesia masih tergantung komoditas. Peran bahan bakar mineral 15,10 persen, adapun lemak dan minyak hewan/nabati 10,74 persen,” ujar Suhariyanto.
Pada Januari-Juli 2019, nilai ekspor bahan bakar mineral turun 8,33 persen dan nilai ekspor lemak serta minyak hewan/nabati turun 18,74 persen dibandingkan periode sama tahun 2018.
Apabila dirinci per sektor, kontribusi industri terhadap ekspor Januari-Juli 2019 sebesar 74,82 persen; tambang 15,16 persen; migas 8,06 persen; dan pertanian 1,96 persen.
Sementara itu, total impor Indonesia Januari-Juli 2019 sebesar 97,68 miliar dollar AS. Apabila dirinci menurut penggunaan barang, impor golongan bahan baku/penolong tercatat 74,58 persen; barang modal 16,32 persen; dan barang konsumsi 9,10 persen.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov menuturkan, batubara dan minyak sawit mentah merupakan dua komoditas andalan ekspor dengan persentase porsi sekitar 15 persen dan 10 persen. Penurunan harga berkaitan dengan permintaan eksternal kedua komoditas tersebut yang rendah.
Pemerintah mencoba merespons pelambatan permintaan eksternal ini dengan menjadikan serapan di domestik sebagai penyangga. Batubara banyak diserap di PLTU, sedangkan minyak sawit mentah untuk bahan bakar nabati, seperti B20 yang ditargetkan menjadi B50 pada tahun depan.
Masalahnya, dalam jangka panjang, serapan dari dalam negeri seperti ini tidak bisa terus-menerus karena secara alamiah produksi juga akan terus meningkat. ”Maka, harus ada diversifikasi pemanfaatan, antara lain melalui percepatan hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah dan menggenjot ekspor,” kata Abra.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, perang dagang AS-China yang berlanjut ke perang nilai tukar akan kian memperberat ekspor.
Menurut Adhi, tidak ada masalah antara Indonesia dan AS sebab hubungan dagang keduanya bersifat komplementer. Indonesia selama ini banyak mengimpor gandum, kedelai, kapas, dan bahan baku lainnya dari AS.
Sebaliknya, AS juga butuh udang, ikan, karet, dan lainnya dari Indonesia. ”Meskipun posisi kita surplus (terhadap AS), kita tidak mengganggu AS,” kata Adhi.
Adapun dengan China tantangannya adalah dampak ikutan perang dagang AS-China. Hal yang dikhawatirkan dan harus diwaspadai adalah melubernya pasokan barang dari China yang tidak bisa masuk ke pasar AS. ”Mau tidak mau, kita harus memperkuat daya saing produk. Itu pertahanan kita,” kata Adhi. (CAS)