Industri perdagangan secara elektronik atau e-dagang masih menghadapi isu soal kepercayaan. Akreditasi perusahaan penyedia layanan e-dagang jadi tawaran solusi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha baru yang terjun ke industri e-dagang terus bermunculan. Mereka percaya peran ekonomi digital makin penting sebagai penggerak perekonomian nasional. Pada saat yang sama, sebagian konsumen belum percaya pada mutu layanan e-dagang.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung, saat membuka Pasar idEA, Kamis (15/8/2019), di Jakarta, mencontohkan perilaku bayar pesanan setelah barang hasil transaksi daring tiba atau cash on delivery (COD). Beberapa pelaku usaha daring sampai menyediakan pilihan COD di menu pembayaran. COD hingga sekarang tetap diminati.
”Sejumlah perusahaan konglomerat berinvestasi di sektor ekonomi digital meskipun latar belakang sektor industri mereka bukan teknologi. Situasi ini tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di Indonesia. Mereka percaya bahwa ekonomi digital akan jadi penggerak perekonomian, tetapi di kalangan masyarakat masih banyak warga belum percaya mutu layanan e-dagang,” tutur Ignatius.
Menurut dia, isu kepercayaan itu berkembang karena faktor kebiasaan warga. Warga Indonesia terbiasa membeli barang dagang harus bertemu langsung dengan penjual.
Di samping itu, masih banyak keluhan konsumen terhadap buruknya layanan e-dagang. Sejumlah persoalan ataupun sengketa kasus transaksi daring dilaporkan ke lembaga perlindungan konsumen, tetapi tidak seluruhnya terselesaikan.
Pasar idEA merupakan festival belanja daring ke luring yang diikuti sekitar 250 peserta. Mereka berlatar belakang perusahaan penyedia platform e-dagang, UMKM mitra pedagang, peritel besar, logistik, jasa pengiriman, dan kementerian. idEA menyiapkan area khusus bernama LokalGood yang berfungsi sebagai ruang pameran dan transaksi produk UMKM lokal terkurasi.
Pasar idEA juga menjadi ajang edukasi kepada masyarakat bahwa masih banyak penyedia layanan yang berusaha menjaga mutu dan perlindungan konsumen. Warga yang berkunjung bisa bertemu serta mengenal langsung pelaku usaha e-dagang.
Pasar idEA berlangsung 15-18 Agustus 2019 di Balai Sidang Jakarta. idEA menargetkan 120.000 pengunjung selama empat hari festival.
Pasar idEA juga menjadi ajang edukasi kepada masyarakat bahwa masih banyak penyedia layanan yang berusaha menjaga mutu dan perlindungan konsumen.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyarankan perlunya akreditasi perusahaan penyedia layanan e-dagang. Akreditasi menjadi tanda agar konsumen semakin percaya pada layanan e-dagang sekaligus perlindungan.
”Akreditasi dapat menggunakan patokan variabel, seperti kelancaran proses bertransaksi, pengiriman, dan penanganan keluhan konsumen. Bagaimana suatu perusahaan penyedia layanan e-dagang konsisten menjaga mutu variabel-variabel itu,” ujarnya.
Rudiantara menegaskan, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator dibandingkan regulator. Untuk urusan akreditasi, misalnya, pemerintah menyerahkan mekanismenya kepada asosiasi. Pemerintah berfungsi sebagai pendukung.
Menurut Ignatius, idEA sebenarnya telah mengupayakan mekanisme akreditasi sejak tahun 2014. Dia mengakui, bukan hal mudah karena penyusunan tolok ukur penilaian memerlukan kesepakatan anggota. Sementara mayoritas anggota asosiasi juga menjabat petinggi perusahaan.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan UKM Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin mengatakan, perlindungan konsumen termasuk satu dari empat strategi utama pemerintah memajukan e-dagang. Perlindungan konsumen mencakup prinsip proteksi data pribadi, transparansi transaksi, keandalan layanan pengaduan, dan penyelesaian sengketa.
Dia menjelaskan, pemerintah memberikan kepastian hukum atas implementasi prinsip perlindungan konsumen melalui tiga rumusan peraturan. Ketiganya adalah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, serta Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
”Kami memandang e-dagang mampu memberikan manfaat bagi warga. Oleh karena itu, kami selalu mendorong akses pasar terhadap e-dagang terus meluas sampai luar Jawa. Perlindungan konsumen menjadi isu utama yang mewarnai perluasan jangkauan pasar itu,” tutur Rudy.
Sejumlah penyedia layanan e-dagang di Asia sedang dibayang-bayangi isu kebocoran data konsumen. Isu ini menambah keraguan mutu layanan. Sebagai contoh, pada 29 Juli 2019, toko daring khusus kosmetik dan perawatan wajah perempuan Sephora telah mengirimkan surel kepada seluruh pelanggan di Asia Tenggara. Surel itu berisi pemberitahuan bahwa Sephora menemukan adanya pelanggaran kebocoran data pribadi sejak dua minggu terakhir.
Kebocoran data sejumlah pelanggan Sephora terjadi di Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, Hong Kong, Australia, dan Singapura.
Pada saat bersamaan, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Laboratorium Data Persada menyampaikan gambaran hasil studi bertajuk ”Menuju Ekonomi Digital yang Inklusif: Perspektif Gender, Regional, dan Sektoral”. Studi ini mendapat dukungan Google.
Studi itu menganalisis dampak ekonomi digital dengan melihat nilai investasi, pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran rumah tangga. Metode penelitiannya adalah survei acak bertingkat nasional yang dilakukan di 34 provinsi. Jumlah responden seimbang antara laki-laki dan perempuan, baik di perkotaan maupun pedesaan. Dampak langsung terhadap mereka ini kemudian diproses dengan menggunakan tabel input/output untuk menghitung efek tidak langsung terhadap sektor industri lain serta lapangan kerja.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan, hasil studi menunjukkan sektor ekonomi digital berkontribusi sekitar Rp 814 triliun atau 5,5 persen terhadap produk domestik bruto pada 2018. Sektor ini membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru atau 4,5 persen terhadap total tenaga kerja.
Kehadiran sektor ekonomi digital memengaruhi pertumbuhan sektor lain, antara lain keuangan, manufaktur, dan jasa. Pengaruh yang dimaksud berupa nilai tambah. Nilai tambah sektor ekonomi digital ke manufaktur, misalnya, diperkirakan lebih dari Rp 100 triliun.