Nelayan Maluku, Ahli Waris Bangsa Bahari
Pelaut ulung tidak lahir dari laut tenang. Pepatah itu mewakili gambaran ketangguhan nelayan Maluku. Segala keterbatasan tidak menciutkan nyali untuk menjelajah lautan luas yang acap kali berubah menjadi ganas. Mereka tak ragu melaut untuk menjaring potensi 3 juta ton ikan di perairan Maluku, terbanyak di bumi Nusantara.
Deretan perahu dayung bercadik tampak di pesisir pantai di Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Maluku. Perahu yang rata-rata hanya sepanjang 2,5 meter serta lebar tak lebih dari 0,4 meter itu jadi modal para nelayan untuk mengarungi perairan Maluku.
Daya jelajah yang aman untuk perahu bantuan dari dinas perikanan setempat itu sebetulnya tidak lebih dari 2 mil (3,7 kilometer) ke tengah laut. Kendati hanya mengandalkan kekuatan tangan untuk mendayung, nyatanya nelayan sering bertolak lebih jauh lagi.
Padahal, sekali mendayung, perahu bergerak tak lebih dari 1,5 meter. Itu artinya, untuk bertolak sejauh 2 mil ke laut dan kembali ke pantai, setidaknya nelayan harus mendayung 2.100 kali. Bila arus laut datang berlawanan, tentu butuh tenaga lebih banyak.
Tantangan terberat bagi nelayan yaitu saat musim timur yang terjadi antara Mei dan September, serta musim barat antara Januari dan Maret. Saat itu cuaca buruk, gelombang Laut Banda cukup tinggi hingga ke Teluk Ambon. Meski sebagian besar memilih menambatkan perahu di darat, ada saja nelayan yang nekat melaut.
”Tuntutan ekonomi membuat kami semakin bernyali. Apalagi kalau ada utang. Kerja lebih keras. Tak takut gelombang,” kata Jopie Adrianz (30), nelayan setempat. Bagi Jopie, laut adalah ibu yang memberi penghidupan. Sekali melaut, ia bisa beroleh penghasilan Rp 150.000, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sekitar 50 km arah timur Nusaniwe, tepatnya Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, nelayan lokal bernasib sedikit lebih baik. Di sana banyak perahu motor nelayan bertonase sekitar 0,5 gros ton dengan panjang 7 meter dan lebar 0,8 meter. Tentu daya jelajahnya lebih jauh lagi. Asril Tawainela (46), nelayan di sana, mencari ikan hingga lebih dari 10 mil laut atau sekitar 18 km. Penghasilan per hari bisa Rp 700.000.
Selain bertaruh nyawa di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Asril dan banyak nelayan lain juga masih harus berjuang untuk keluar dari bayangan rentenir yang memodali usaha mereka. Pinjaman untuk satu unit perahu motor bermesin seharga Rp 15 juta-Rp 20 juta dipatok bunga rentenir hingga 10 persen per bulan.
Nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, mempunyai tantangan tersendiri. Setidaknya hingga awal 2017 mereka masih berjibaku merebut ikan bersama nelayan dari Filipina. Padahal, saat itu banyak perairan Maluku yang sudah bebas dari nelayan asing. Migrasi tuna kelas dunia melewati Laut Seram memicu perebutan itu. Bermodalkan perahu motor, mereka barangkat pada dini hari dan kembali pada sore hari dengan hasil tangkapan hampir 0,5 ton ikan.
Yadi Bustam (44), salah satu nelayan, memenangi pertarungan di sana. Ia berani memancing di dekat rumpon yang dijaga nelayan asal Filipina.
Jopie, Asril, dan Yadi mewakili potret sebagian besar dari 150.000 nelayan di Maluku. Dari total 1,8 juta jiwa penduduk Maluku, sebagian besar tinggal di pesisir.
Wilayah Maluku terdiri atas 1.340 buah pulau, dikelilingi 658.331,52 km persegi air laut atau setara 20,25 persen perairan nasional di luar zona ekonomi eksklusif. Potensi ikan yang terpendam di dalamnya diklaim melampaui 3 juta ton per tahun atau hampir 30 persen dari potensi nasional.
Wajah baru
Selama bertahun-tahun hingga awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo, para nelayan itu seperti menjadi penonton. Laut di perairan Maluku, termasuk Laut Arafura, banyak dijarah dan jadi surga praktik penangkapan ilegal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, sebelum penertiban, dalam satu tahun terdapat 8.484 kapal yang melakukan pelanggaran di Arafura. Negara mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp 20 triliun, setara dengan 10 kali total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Maluku saat itu.
Ironisnya lagi, wilayah perairan itu menjadi tempat berlangsungnya praktik perbudakan nelayan oleh salah satu perusahaan nasional yang bekerja sama dengan perusahaan asing di Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru. Citra perikanan Maluku dan Indonesia pada umumnya tercoreng dan dianggap tidak manusiawi. Terjadi gerakan di sejumlah negara yang meminta penghentian impor ikan dari Indonesia.
Setelah penertiban yang dipimpin Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi, perairan relatif lebih bersih dan subur. Dampaknya, perairan mulai pulih dan potensi ikan meningkat. Kapal-kapal ikan dari Pulau Jawa pun berlomba- lomba ke Laut Arafura.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku mencatat, saat ini jumlah kapal yang berukuran di atas 100 GT sekitar 1.110 unit. Dalam setahun, jumlah ikan yang ditangkap dari perairan Maluku sekitar 600.060 ton atau senilai Rp 21 triliun. Sementara sumbangan untuk pembangunan perikanan di Maluku pada 2018 sekitar Rp 2 miliar.
Kepala Dinas Perikanan Provinsi Maluku Romelus Far Far menilai, sumbangan pembangunan perikanan itu terlampau kecil. Pada saat yang sama, pendapatan daerah dari pengujian mutu ikan sebelum diekspor juga hilang karena kewenangan pengujian itu dialihkan ke unit pelaksana di bawah kementerian. Pusat dianggap terlalu dominan mengatur perikanan di daerah.
Dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas, Pemprov Maluku bersama 11 kabupaten/kota tidak mungkin membantu semua nelayan. Keuangan daerah hanya bisa membantu sekitar 10 persen dari 150.000 rumah tangga nelayan.
Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Pattimura Ambon Alex Retraubun berpendapat, pemerintah pusat harus berlaku adil terhadap daerah yang memberdayakan nelayan lokal. Hal itu penting karena kemiskinan banyak menumpuk di sana.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, penduduk miskin di Maluku sebanyak 317.690 jiwa atau 17,69 persen. Dari jumlah itu, sebagian besar masyarakat pedesaan yang tinggal di pesisir menggantungkan hidup mereka di laut. Rata-rata, pendapatan per kapita pada 2018 hanya Rp 24,28 juta.
Sebagai ahli waris budaya bahari Nusantara, nelayan Maluku memiliki modal ketangguhan dan kegigihan sebagai penjelajah lautan. Saatnya negara memberi dukungan penuh agar potensi laut bisa membawa kesejahteraan bagi mereka.