JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai bangsa maju, bersatu, dan menyejahterakan rakyat yang dicita-citakan para pendiri bangsa tetap melekat sampai saat ini di benak masyarakat. Namun, anak-anak muda pada masa kini ingin cita-cita itu lebih dibumikan melalui upaya yang nyata dan terukur hingga bisa segera menemukan bentuknya.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-8 Agustus 2019 menunjukkan, kata ”maju” paling banyak disebut oleh responden saat mereka ditanya tentang apa yang terlintas saat mendengar kata Indonesia (17,9 persen). Hasil jajak pendapat yang melibatkan 525 responden berusia minimal 17 tahun di 17 kota besar di Indonesia ini menunjukkan adanya sikap optimistis masyarakat atas masa depan Indonesia.
Delapan anak muda, laki-laki dan perempuan, dari berbagai latar belakang yang dihubungi Kompas, Kamis (15/8/2019), juga meyakini Indonesia akan menjadi negara maju. Kemajuan ini bisa diraih dari sisi sains dan teknologi, prestasi di dunia. Selain itu, warganya juga bisa menerima keberagaman, ada akses kesehatan, pendidikan yang setara, negara melindungi pekerja, serta ada pemerataan kemakmuran dan sumber daya alam bisa dikelola maksimal demi warga.
Sebagian dari orang muda itu bahkan tak cuma optimistis, tetapi juga melakukan sesuatu sesuai bidang masing-masing untuk mewujudkan kemajuan Indonesia. Lalu Muhammad Zohri (19), pelari Indonesia tercepat di Asia Tenggara dengan waktu 10,03 detik, misalnya, berupaya keras untuk berbuat yang terbaik dengan berlatih tekun hingga bisa menyumbangkan medali di ajang Olimpiade. Zohri berkomitmen disiplin dalam berlatih dan mengendalikan diri, baik dari segi makan maupun tidur. Pengorbanan pribadi dilakukan demi memberi sumbangsih untuk mengharumkan nama bangsa.
Optimisme dijaga
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengatakan, kata ”maju” mengandung dua sisi makna. Pertama, kata itu merefleksikan sikap positif warga bangsa dalam melihat kemajuan bangsa ini. Indonesia hari ini dipandang kondisinya lebih maju dari Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Warga mencatat ada perkembangan menggembirakan dari negara bangsa Indonesia.
”Kedua, dengan kata ’maju’ itu tergambar optimisme terhadap masa depan. Sikap optimistis itu merupakan modal dasar yang berharga dalam membangun dan mencapai Indonesia yang lebih baik lagi di masa depan,” kata Jimly.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menjelaskan, ”maju” dalam pikiran banyak warga Indonesia ialah modern atau maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, serta ekonomi. Indonesia diuntungkan karena tidak memiliki beban kejayaan masa lalu sehingga bisa lebih bebas menuju masa depan yang modern dan maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mewujudkan keadilan
Tyovan Ari Widagdo (29), penggagas aplikasi Bahaso, mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan pendidikan dan ekonomi masyarakat. Dia membayangkan, saat perayaan 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045, negara ini sudah bisa menjadi negara maju dan semua elemen masyarakat bisa mendapat akses pendidikan dan kesehatan berkualitas.
”Kita tak mau melihat ada masyarakat yang kelaparan dan tidak mendapat akses kesehatan yang baik. Artinya, kita harus selesai di hal-hal yang dasar terlebih dahulu,” ujar Tyovan.
Ketika hal-hal dasar sudah tuntas, Indonesia akan mampu mengurus hal yang lebih besar, seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan bagaimana peran Indonesia ke depan dalam lingkup global. Namun, hal itu hanya bisa dicapai apabila para elite politik bisa bekerja sama demi kepentingan bangsa, bukan kepentingan kelompok.
Imaji akan hadirnya pemerataan juga muncul dari penulis Faisal Oddang (25). Dia memimpikan bangsa Indonesia menjadi masyarakat dengan tingkat literasi tinggi. Namun, saat ini, imaji itu berhadapan dengan keterbatasan pada akses buku bacaan di daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Harga buku di luar Pulau Jawa cenderung lebih mahal. Pendistribusian buku terbitan baru memakan waktu lebih lama dan membutuhkan biaya tertentu yang membebani penikmat literasi.
Di dunia perfilman, pemain film Putri Ayudya (31) membayangkan Indonesia bisa mewujudkan regulasi yang melindungi pekerja seni serta mendorong keadilan kesejahteraan. Dia berharap adanya regulasi pembagian keuntungan yang adil antara produser dan seniman peran yang terlibat. Tanpa regulasi itu, pekerja seni peran ibarat pekerja lepas, yang bergantung pada pemberi proyek (film).
Rumah bersama
Bagi Sakdiyah Ma’ruf (37), perempuan pelawak tunggal yang masuk dalam daftar 100 wanita inspiratif versi BBC, Indonesia di masa depan adalah rumah bersama. Menurut Diyah, Indonesia bisa menjadi rumah bagi siapa pun tanpa melihat latar belakang suku bangsa, agama, dan identitas primordial lainnya.
Untuk itu, bangsa Indonesia harus bisa kembali membuat momentum bersama seperti saat muncul Sumpah Pemuda tahun 1928, saat semua elemen bangsa ini punya identitas bersama untuk diperjuangkan.
Menurut Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak (35), nilai dasar kebangsaan dan ideologi ekonomi bangsa tengah diuji. Untuk itu bangsa Indonesia harus terus beradaptasi dengan dinamika yang semakin tinggi. Artinya, kata Emil, setiap langkah yang ditempuh tentu tidak lepas dari perbedaan pandangan.
”Dan di sinilah memang kita diuji untuk tetap bisa bersatu dan tidak mudah terpecah, apalagi di tengah semakin bebasnya informasi dan opini menyebar luas, bahkan terkadang turut dipersulit hoaks,” ujarnya.
Teknologi dan sains
Di bidang teknologi dan sains, Hutomo Suryo Wasisto (32), CEO Indonesian German Center for Nano and Quantum Technologies (IG-Nano), Technische Universität Braunschweig, Braunschweig, Jerman, mengatakan, Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan besar di ilmu pengetahuan. Ilmuwan luar negeri akan belajar di Indonesia. Selain itu, dengan menguasai teknologi, Indonesia akan makin banyak mempunyai wirausaha kelas dunia. Mereka nantinya akan membukakan lapangan pekerjaan dan juga menjadi salah satu pilar ekonomi di Indonesia.
Selain itu, kerja sama antara diaspora di luar negeri dengan pemerintah dan masyarakat di Indonesia, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi, akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun, upaya itu harus dilakukan berkelanjutan.
Anawati (39), Kepala Program Studi Fisika Universitas Indonesia yang juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2019 di bidang sains, menilai Indonesia memiliki dua kelebihan penting untuk jadi negara kuat, yakni SDM dan sumber daya alam yang melimpah. Dia mencontohkan Norwegia yang saat ini dikenal sebagai salah satu negara terkaya di Eropa, beberapa dekade lalu merupakan negara miskin. Pada akhir tahun 1960-an, saat ladang minyak ditemukan di negara itu, pemerintah mengarahkan kebijakan riset untuk menopang industri minyak.
”Indonesia ada potensi bangkit karena kebijakan pemerintah mengarah ke jalan yang benar. Pembangunan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki,” katanya.
Untuk itu, dia berharap pemerintah bisa mengembangkan infrastruktur penelitian. Selain itu, pemerintah juga perlu mendasarkan semua kebijakan berbasis pada riset. Sebab, di era revolusi industri 4.0, penggunaan data besar menjadi sebuah keniscayaan. Dengan berbasis riset, kebijakan bisa lebih fokus dan tepat sasaran.