Perayaan Kemerdekaan Dan Keberagaman
Lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” berulang kali menggema di jalan-jalan protokol Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Liriknya senapas dengan semangat ribuan pelajar yang mengangkat keragaman budaya dalam Karnaval Kebangsaan menyambut HUT Ke-74 RI.
Panas terik tak menyurutkan antusiasme pelajar yang jadi peserta karnaval ataupun penonton yang berjubel di pinggir jalan sepanjang 2 kilometer, dari Jalan A Yani sampai Jalan Jaksa Agung Suprapto, Banyuwangi, Selasa (13/8/2019). Pelajar yang mengenakan aneka busana tradisional itu memberikan senyuman hangat kepada penonton, diiringi lambaian tangan atau bendera Merah Putih kecil.
Karnaval diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan diikuti sedikitnya 3.000 siswa tingkat SMP dan SMA. Setiap kontingen tampil dengan keragaman budaya dan tradisi suku-suku bangsa di Indonesia.
Siswa SMP Katolik St Yusup Banyuwangi, misalnya, tampil dengan budaya Minangkabau. Siswa SMP Negeri 1 Glagah tampil dengan budaya Papua. Di barisan Madrasah Aliyah Negeri 1 Banyuwangi, siswa tampil dengan busana Islam. Sementara siswa SMA Katolik Hikmah Mandala tampil dengan tema budaya Tionghoa.
Mereka tak hanya berparade, tetapi juga menampilkan aneka tarian, drama, dan lagu-lagu tradisional. Madrasah Tsanawiyah Negeri Banyuwangi menampilkan sejarah masuknya Islam di Banyuwangi. Sementara SMA Katolik Hikmah Mandala menampilkan barongsai di tengah parade kontingen.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, karnaval kebangsaan kali ini secara khusus diadakan untuk meningkatkan soliditas dan kolaborasi antarwarga Banyuwangi.
”Kegiatan kebudayaan yang digelar pada hari ini merupakan bagian dari upaya meredam terorisme dan radikalisme. Kegiatan ini membuat banyak orang bertemu, berjumpa, dan saling menyapa,” ujarnya.
Tampilan para pelajar yang menggambarkan aneka budaya nasional itu mencerminkan toleransi. Dengan demikian, toleransi tidak hanya didengungkan melalui pidato, tetapi juga dalam kegiatan nyata.
”Dengan mengenakan baju tradisional, menyanyikan lagu daerah, dan membangun miniatur rumah tradisional dari daerah lain, mau tidak mau siswa belajar tentang kebudayaan daerah lain. Saya yakin pelajar tidak sendirian, guru dan orangtua juga ikut membantu. Akhirnya guru dan orangtua juga ikut belajar,” ujar Anas.
Menurut Guru SMA Katolik Hikmah Mandala Anton Saverius, sejak awal, mereka berniat mengusung budaya Tionghoa. ”Di sekolah kami banyak anak- anak Tionghoa yang berpotensi dan layak untuk dikenalkan kepada publik. Kami juga ingin menunjukkan kepada warga bahwa di Banyuwangi masih ada adat Tionghoa yang masih eksis hingga kini,” ujarnya.
Anton mengatakan, dengan menampilkan kebudayaan Tionghoa, pihaknya ingin menyampaikan pesan keragaman. Harapannya, pemikiran warga terhadap keberadaan kaum minoritas semakin terbuka.
Tampil dengan busana Tionghoa tak membuat para siswa minder. Mereka justru bersemangat berjalan menyusuri rute karnaval, dari depan Kantor Bupati ke Stadion Diponegoro. ”Dari start sampai finis, warga antusias melihat penampilan kami. Terbukti barongsai kami laris manis, diajak foto warga. Bahkan, sebagian besar yang berfoto teman-teman Muslim. Saya bisa menyebut Muslim karena mereka menggunakan jilbab,” ujar Anton.
Kehidupan nyata
Toleransi yang tumbuh di Banyuwangi tak hanya tampil pada karnaval. Dalam kehidupan bermasyarakat, toleransi itu juga tumbuh dan berkembang.
Hal itu pun ditunjukkan para pemuka agamanya. Salah satunya Romo Fadjar Tedjo Soekarno, Pastor Kepala Gereja Katolik St Paulus, Jajag, Banyuwangi. Dia aktif berkegiatan lintas agama dan budaya. Ia pun terlibat aktif dalam sejumlah upacara adat masyarakat Osing di Desa Adat Kemiren.
Dalam upacara Barong Ider Bumi tiga tahun terakhir, Romo Fadjar berada di barisan depan bersama sejumlah tokoh adat dan pemuka agama lain, bertugas sebagai penyebar sembur uthik-uthik. Campuran beras kuning, uang logam, dan kembang setaman itu ditabur untuk diperebutkan anak-anak kecil di sepanjang jalan yang dilewati barong.
”Sejak lama gereja dan umat Katolik sedunia membangun toleransi, tepatnya sejak Konsili Vatikan 1965. Pusat ibadah memang altar, tetapi ibadat yang sejati tidak hanya di sekitar altar, tetapi justru di tengah- tengah masyarakat,” ujarnya.
Saat Idul Adha, beberapa hari lalu, Romo Fadjar dan umat Gereja Katolik St Paulus mengumpulkan kolekte untuk kemudian dibelikan seekor kambing. Kambing itu lantas diberikan kepada salah seorang warga Muslim untuk kemudian disumbangkan ke masjid terdekat sebagai bentuk kurban.
Contoh lain, toleransi yang tumbuh dan mengakar di Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari. ”Patoman banyak dihuni saudara-saudara Hindu. Di Patoman, umat Muslim terlibat aktif menjaga perkampungan umat Hindu saat Hari Raya Nyepi. Bahkan sejak sehari sebelum nyepi, saat arak-arakan ogoh-ogoh umat Muslim ikut menyemarakkan dan menjaga agar arak-arakan lancar,” kata Wakil Sekretaris PCNU Banyuwangi Barur Rohim.
Toleransi kerja sama umat lintas agama juga terjadi di Desa Sarongan, Pesanggaran. Beberapa kali warga terlibat dalam pembangunan dan renovasi rumah ibadah umat lain. Hidup bertoleransi sejatinya sudah mengakar dalam masyarakat suku Osing, suku asli Banyuwangi. Hal itu terpancar dari kebudayaan masyarakat Osing dan kulinernya.
”Lihat saja musik yang digunakan untuk mengiringi gandrung. Selain ada gamelan dan angklung khas Banyuwangi, ada pula biola yang jelas-jelas alat musik dari Eropa. Saat Belanda menjajah Indonesia, termasuk Banyuwangi, akulturasi budaya terjadi,” ujar budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono.
Aekanu juga mencontohkan sejumlah kuliner khas Banyuwangi yang menunjukkan adanya percampuran, misalnya rujak soto, pecel rawon, bakso rawon, dan rujak bakso. Nilai- nilai toleransi ada dalam sajian kuliner itu. Di situ rujak berbagi tempat dengan soto dalam satu mangkuk.
Maka, lengkaplah sudah. Toleransi yang menjadi bagian dari spirit kemerdekaan tak hanya diwartakan lewat pidato, tetapi juga dirayakan dalam karnaval, dalam budaya, juga dalam hidangan kuliner. Selamat merayakan kemerdekaan dan toleransi dalam keberagaman!