Sejumlah lahan pertanian, utamanya yang mengandalkan air hujan, terancam gagal panen. Petani berharap sistem irigasi bisa diperluas guna menekan risiko kerugian.
TANGERANG, KOMPAS - Kemarau juga berimbas ke petani di Tangerang. Sebagian petani berharap jaringan irigasi semakin meluas untuk mengatasi kesulitan air di musim kemarau.
"Panen kali ini pasti sekitar 40 persen gagal. Kalaupun padi ada, tetapi bulirnya kosong atau kopong. Sawahnya kering," kata Irin (60), petani Sukadiri, Kecamatan Mauk, Kamis (15/8/2019).
Irin adalah petani penggarap. Ia menggarap sawah seluas 7.000 hektar sejak tahun 1970-an. "Dalam kondisi normal ada hujannya, sekali panen bisa mendapatkan 2 ton padi. Biasanya, hasilnya dibagi dua dengan buruh pekerja. Kemarau ini, hanya bisa panen baik sekitar 60 persen. Sisanya 40 persen lain gagal panen. Saya sudah pasrah," ucapnya.
Ia mengandalkan hujan untuk sawahnya lantaran letak sawah yang jauh dari aliran irigasi. Apalagi, sawahnya itu tidak jauh dari pantai, sehingga air tanahnya payau hingga asin.
Irin berharap Pemkab Tangerang membangun waduk dan saluran irigasi tidak jauh dari tempat itu. "Kalau ada irigasi, tidak perlu menunggu hujan. Sekarang belum ada saluran irigasi dekat sini."
Kalau ada irigasi, tidak perlu menunggu hujan. Sekarang belum ada saluran irigasi dekat sini
Awal bulan ini, Tim Posko Kekeringan Kabupaten Tangerang mencatat 2,6 persen lahan padi sawah atau seluas 668 hektar terdampak kekeringan. Total pertanaman padi sawah di kabupaten ini 24.783 hektar.
Dampak kekeringan mulai terasa di 15 kecamatan di Kabupaten Tangerang, yakni Cisoka, Solear, Tigaraksa, Jambe, Cikupa, Panongan, Sindang Jaya, Balaraja, Jayanti, Sukamulya, Kronjo, Mauk, Kemiri, Teluknaga, dan Kosambi.
Kemarau juga membuat debit Sungai Cisadane turun. Dalam kondisi normal, ketinggian air sungai mencapai 4 meter. Sejak tiga minggu terakhir, aliran air menyempit, dan tinggi air sungai tinggal 1,5 meter.
Embung
Pemkab Bekasi, Jawa Barat, membangun embung untuk mengantisipasi kekeringan di Kecamatan Cibarusah, Bojongmangu, Pebayuran, dan Cabangbungin. Pembangunan embung ditargetkan rampung akhir tahun 2019. Dua embung mulai dikerjakan yaitu di Cibarusah dan Bojongmangu. Setiap embung membutuhkan anggaran antara Rp 450 juta sampai Rp 600 juta.
Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Bekasi Nur Chaidir mengatakan, embung mengurangi risiko gagal panen yang terjadi setiap tahun saat musim kemarau. ”Di wilayah kami, karena keterbatasan sungai, jadi yang bisa dibangun hanya embung.”
Tahun ini, ada sekitar 500 hektar (ha) sawah milik petani di Cibarusah gagal panen karena kekeringan.
Sekretaris Kelompok Tani dan Nelayan Kecamatan Cibarusah Kusnaedi, awal Juli, mengatakan, persawahan di Cibarusah gagal panen karena wilayah itu mengandalkan air hujan. ”Cibarusah tidak memiliki sistem teknis irigasi. Jadi, berhasil atau gagal panen, tergantung kondisi alam.”
Cibarusah tidak memiliki sistem teknis irigasi. Jadi, berhasil atau gagal panen, tergantung kondisi alam
Gagal panen yang dialami warga juga diakui Sekretaris Desa Sirnajati Saharudin. Dia mengatakan, panen warga pada musim kemarau tidak sesuai target yang diharapkan karena padi milik petani dipanen sebelum masa panennya tiba atau sebelum bulir padi menguning.
Di Jakarta, menurunnya debit Sungai Krukut berimbas pada berkurangnya suplai air baku di instalasi pengolahan air (IPA) Cilandak milik Palyja.
Lidya Astrininworo, Kepala Divisi Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Palyja, mengatakan, debit air dari Krukut berkurang dari 400 liter per detik, menjadi 200 liter per detik. "Namun, penurunan debit air ini tidak berpengaruh ke pasokan air Palyja keseluruhan karena kami mendapatkan tambahan suplai dari Aetra dan Tangerang," kata Lidya.
Kini, total pasokan air Palyja masih tetap yakni 9.600 liter per detik. (ART)