Sebanyak 2.223 warga binaan dari 12 lembaga pemasyarakatan di Nusa Tenggara Timur menerima remisi Hari Kemerdekaan RI dari pemerintah.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 2.223 warga binaan dari 12 lembaga pemasyarakatan di Nusa Tenggara Timur menerima remisi HUT RI dari pemerintah. Para penerima remisi menjalani hukuman penjara 1 bulan hingga pidana mati. Tiga orang di antara penerima remisi merupakan terpidana kasus terorisme.
Dari 2.223 warga binaan tersebut, sebanyak 32 orang dinyatakan langsung bebas, sedangkan 2.191 orang masih menjalani pembinaan. Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Nae Soi ketika menyerahkan remisi secara simbolis kepada 2.223 warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Penfui, Kota Kupang, Sabtu (17/8/2019), mengatakan, remisi 17 Agustus adalah salah satu dari sekian remisi yang diberikan negara kepada warga binaan.
Warga binaan, lanjut Joseph, harus mensyukuri remisi tersebut sebagai bagian dari perhatian negara terhadap seluruh warganya. ”Remisi ini sebagai hadiah atas kemerdekaan, tetapi perlu diterjemahkan sebagai dorongan untuk berjuang menjadi lebih berwatak baik, jujur, dan bermoral,” katanya.
Penyerahan remisi dilakukan secara simbolis kepada salah satu warga binaan di Lapas Kelas IIA Penfui, Kota Kupang.
Ia mengatakan, lapas bukan tempat buangan, tetapi tempat pembinaan. Menurut Joseph, sejak kecil, semua orang menjalani pembinaan, baik oleh orangtua, guru, tokoh agama, pimpinan instansi pemerintah, maupun swasta. Adapun pembinaan yang dijalani di lapas adalah pembinaan oleh negara.
Hal ini harus diterima sebagai proses pembentukan karakter, watak, perilaku, dan semangat hidup yang jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. ”Apa yang terjadi saat Anda di tengah masyarakat adalah pengalaman berharga untuk melangkah ke depan yang lebih baik, lebih bermartabat, dan manusiawi. Di tempat ini, karakter Anda dibentuk agar lebih bermartabat, sopan, dan jujur serta setia kepada NKRI,” tutur Joseph.
Menurut dia, pembentukan karakter sangat penting. Terlebih, kini pemerintah berupaya mendorong pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang unggul.
Penyerahan remisi juga dimeriahkan sejumlah atraksi, antara lain tarian kemenangan atau penyambutan atas pahlawan yang menang dari medan pertempuran dan tarian khas Rote. Tamu diberi kesempatan bergilir berjoget di depan para tamu.
Kepala Lapas Kelas II Penfui, Kota Kupang, Badarudin mengatakan, Lapas Penfui merupakan lapas produksi. Saat ini, terdapat 480 warga binaan yang mendapat remisi dari total 601 orang. Khusus Lapas Penfui, ada enam orang yang langsung bebas.
”Di sini dilakukan pembinaan mental, spiritual, dan keterampilan berupa pelatihan pembuatan batako, pertanian, pertukangan, peternakan, perkebunan, dan sedang disiapkan tenun ikat. Setelah selesai, diharapkan ada yang bisa melanjutkan keterampilan itu dan menjadi mandiri di masyarakat,” kata Badarudin.
Lapas menyediakan dana pembinaan saat pelatihan di dalam lapas. Pembinaan keterampilan diberikan setelah warga binaan melewati sepertiga masa binaan di lapas dan dinilai layak mengikuti program itu. Selain keterampilan, warga binaan juga mendapat pendampingan spiritual dari pemuka agama masing-masing.
”Kami berharap, mereka keluar dari sini menjadi manusia yang terampil mengembangkan keterampilan dan usaha yang diberikan, mandiri, jujur, sopan, taat beragama, berkarakter, dan terhormat di masyarakat,” ucapnya.
Para terpidana yang mendapat remisi itu terlibat kasus asusila atau pemerkosaan dan pelecehan seksual serta perselingkuhan, korupsi, narkotika, dan perdagangan orang. Terpidana hukuman seumur hidup sebanyak tujuh orang dan hukuman mati satu orang.
”Dari 601 warga binaan ini, tiga orang melakukan tindak pidana teroris. Mereka masing-masing warga Lampung, Jawa, dan Bima. Mereka ditangkap di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Dua orang menjalani hukuman 4 tahun dan satu orang mendapat binaan 7 tahun,” ujar Badarudin.
Fred Natonis (27), warga binaan penerima remisi yang mendapatkan hukuman 6 bulan terkait kasus pemerkosaan, mengatakan sangat bangga mendapatkan remisi itu.
”Be (saya) mau jadi lebehbae (lebih baik) setelah be kaluar (saya keluar) dari sini. Be malu, orangtua malu, samua katong (semua orang) malu,” kata Natonis dalam bahasa Kupang.