JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pakar dan aktivis lingkungan menyayangkan Presiden sekaligus Kepala Negara Joko Widodo tak mengelaborasi pengelolaan dan perbaikan lingkungan dalam pidato kenegaraan. Visi menuju sumber daya manusia unggul mustahil tercapai apabila kondisi lingkungan buruk serta dampak bencana serta perubahan iklim terus menggerogoti modalitas negara.
Dalam pidatonya, Joko Widodo sebenarnya telah memahami kondisi kerusakan lingkungan di dunia serta lokasi Indonesia di Cincin Api yang menjadikan wilayah Indonesia rawan bencana. Disayangkan, Presiden tidak menyampaikan secara tegas langkah kebijakan revolusioner apa yang dilakukan untuk mengatasi kondisi krisis atau kegentingan yang diakibatkan oleh krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup.
Disayangkan, Presiden tidak menyampaikan secara tegas langkah kebijakan revolusioner apa yang dilakukan untuk mengatasi kondisi krisis atau kegentingan yang diakibatkan oleh krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup
“Menyayangkan isu lingkungan (pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim) minim disinggung dalam pidato. Padahal dua hal tersebut menjadi tantangan utama ekonomi dan kesejahteraan sosial bangsa Indonesia saat ini dan ke depan (dalam menghadapi sustainability revolution),” kata Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network), Jumat (16/8/2019), di Jakarta.
Ia mencatat pidato kenegaraan sangat menekankan pada revolusi digital yang akan dihadapi. Sayangnya, revolusi keberlanjutan seperti isu pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan daya dukung/daya tampung lingkungan tak mendapatkan arahan.
Mahawan mengatakan kedua revolusi tersebut tak dapat dipisahkan. Bahkan revolusi keberlanjutan menjadi ekosistem penunjang bagi tercapainya revolusi digital.
“Kalau pembangunan kita menuju pembangunan berkelanjutan atau pembangunan rendah karbon, rumusan Bappenas jelas menunjukkan akan jamin ekonomi kita lebih baik. Kalau tidak melakukannya, ekonomi akan terkoreksi,” kata dia.
Hal-hal tersebut, kata dia, tak cukup hanya disebutkan di permukaan seperti yang disampaikan dalam pidato kenegaraan. Mahawan mengatakan, seharusnya isi pidato kenegaraan tersebut bisa membawa penyadaran bersama bahwa pembangunan Indonesia adalah pembangunan yang berkelanjutan dan ramah iklim.
Seharusnya isi pidato kenegaraan tersebut bisa membawa penyadaran bersama bahwa pembangunan Indonesia adalah pembangunan yang berkelanjutan dan ramah iklim
Terkait pembangunan berkelanjutan, ia menunjukkan laporan Sustainable Development Solutions Network 2019, peringkat Indonesia turun dari 99 menjadi 102. Secara umum kondisi Indonesia berada di bawah rata-rata negara di Asia Timur.
Catatan Mahawan, Indonesia masih keteteran dalam mencapai 3 dari 17 tujuan (goal) SDGs. Ketiganya yaitu industri inovasi dan infrastruktur, mengurangi ketimpangan, dan kehidupan di daratan (perlindungan pengelolaan hutan, dan lain-lain).
Tujuan SDGs ke-10 Life On Land atau kehidupan di daratan tersebut dinilai sangat penting. Menurutnya, pelestarian hutan membawa pada pengurangan emisi serta menjamin ketersediaan dan tata kelola air. Ini sangat dibutuhkan sebagai mitigasi bencana banjir, longsor, dan kekeringan maupun kebutuhan penting bagi pencapaian kemandirian pangan.
Ancaman krisis
Dihubungi terpisah, Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Khalisah Khalid, mengatakan tawaran solusi Presiden akan energi yaitu mendorong pengembangan B20, B30, dan B100 justru memperbesar tingkat ancaman krisis. Ini dikhawatirkan meningkatkan penggunaan biofuel yang berkorelasi dengan peningkatan kebutuhan lahan.
Selain mengancam hutan-hutan yang tersisa, ekstensifikasi perkebunan tersebut kian menambah runyam konflik agraria berupa perampasan tanah/lahan warga. Ratusan konflik agraria yang dilaporkan organisasi masyarakat sipil ke Istana mencapai ratusan dan belum mencapai solusi.
Ia pun mengatakan pidato Presiden tak menyinggung upaya pembenahan tata kelola sumber daya alam dan upaya perlindungan lingkungan hidup. Penekanan pada pentingnya peningkatan kualitas SDM melalui jalur formal , meski penting, juga harus didukung pemulihan lingkungan hidup.
“Tanpa melakukan upaya pemulihan lingkungan hidup, maka kami mengkhawatirkan SDM ke depan justru tidak berkualitas. Karena sekali lagi, esensi kehidupan manusia ditentukan oleh lingkungan hidup yang baik dan sehat,”kata dia.
Contoh stunting (tengkes) yang disebutkan Presiden dalam pidatonya, tak dilihat secara utuh. Hal itu bisa terjadi karena kualitas pangan yang tak aman karena tak didukung kesehatan lingkungan.