Mengurai Ketimpangan Ibu Kota
Ketimpangan ekonomi masih menjadi problem kota-kota besar di Indonesia, termasuk di Jakarta. Pemimpin Ibu Kota dari masa ke masa mempunyai berbagai program untuk mengurangi kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi pertumbuhan, geliat ekonomi di DKI Jakarta mengalami tren positif. Tahun 2018, ekonomi Jakarta tumbuh hingga 6,17 persen, lebih tinggi dari 5,18 persen capaian nasional. Jika ditarik mundur lima tahun ke belakang, angka pertumbuhan ekonomi Jakarta berkisar 5,9-6,22 persen.
Pendapatan per kapita warga pun terus naik tiap tahun. Tahun 2015, berkisar Rp 195,46 juta per orang setahun. Tahun 2018, sudah mencapai Rp 248,3 juta, tertinggi di Indonesia.
Namun, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bukan menjadi gambaran pemerataan kesejahteraan. Rapot angka rasio gini DKI masih tinggi. Data BPS September 2018 menunjukkan angka rasio gini di DKI Jakarta mencapai 0,39. Angka ini sedikit lebih tinggi dari nasional 0,384. Angka rasio gini mendekati 1 berarti kesenjangan pendapatan penduduk tinggi. Pada 2018, DKI masuk 10 besar provinsi berasio gini tertinggi.
Salah satu yang memicu ketimpangan adalah tingkat pengangguran. Data BPS Februari 2019 mencatat, ada lebih dari 279 ribu orang menganggur dari 5,4 juta angkatan kerja di Jakarta. Hingga Agustus lalu, catatan statistik memaparkan tingkat pengangguran terbuka di kota masih berada di angka 6,45 persen.
Selain pengangguran, problem kesejahteraan di Jakarta adalah kemiskinan. Persentase penduduk miskin DKI Jakarta pada Maret 2019 adalah 3,47 persen atau sebesar 365 ribu orang.
Ragam cara dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurai ketimpangan sosial. Diawali dengan pemenuhan kebutuhan permukiman untuk rakyat dan sarana prasarana pendukungnya, hingga meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan warga ibukota.
Permukiman
Pasca kemerdekaan, jumlah penduduk Jakarta terus mengalami kenaikan. Sebagai perbandingan, tahun 1948, populasinya masih 823.000 jiwa. Tahun 1952, naik dua kali lipat jadi 1,78 juta jiwa.
Lonjakan penduduk tersebut karena migrasi penduduk dari kota-kota di luar Jakarta. Warga berbondong-bondong ke Jakarta dengan alasan mencari pekerjaan dan meningkatkan perekonomian. Sebagai kota yang sedang mekar saat itu, Jakarta lebih berkilau dibandingkan kota-kota lain.
Semua pembangunan fisik dipusatkan di Jakarta sebagai ibukota negara. Otomatis ini memancing kedatangan warga dari wilayah sekitarnya ataupun dari kota yang lebih jauh.
Jakarta pada masa itu hanya menyiapkan sarana-prasarana terbatas cukup untuk warganya saja. Ketika ada gelombang kedatangan migran, memicu persaingan memperebutkan pekerjaan dan fasilitas antara warga Jakarta dan kaum migran.
Lonjakan penduduk turut mendorong munculnya ketimpangan ekonomi, terutama soal ketersediaan rumah. Pemerintah tidak bisa cepat menyediakan rumah karena keterbatasan anggaran. Di sisi lain, daya beli masyarakat pun masih rendah.
Warga kelas atas bisa membeli rumah dari pasar swasta atau membangun sendiri. Sementara warga kelas bawah harus tinggal di rumah non permanen beratap rumbia di bantaran sungai. Bahkan satu rumah berukuran 70 meter persegi pun bisa dihuni oleh puluhan orang.
Penyediaan permukiman yang terjangkau bagi seluruh warga ibukota menjadi program utama para gubernur yang memimpin Jakarta masa pasca kemerdekaan hingga tahun 1980-an, meski hingga sekarang upaya pembangunan rumah untuk rakyat tetap dilakukan.
Diawali dengan langkah Sjamsuridjal yang hanya menjabat walikota (Kotapradja Djakarta Raya) setahun saja. Bekas walikota Bandung tersebut membuat rumah bagi kaum buruh di Grogol pada 1953.
Dilanjutkan dengan Walikota Soemarno (1964-1966) yang membangun rumah minimum di kawasan Raden Saleh, Karanganyar, Tanah Sereal, Tanjung PRiok, Bandengan Selatan, Cempaka Putih, dan Pulo Mas. Juga pembangunan flat murah di Tebet.
Era Gubernur Tjokropanolo, pembangunan rumah dilanjutkan. Kali ini bentuknya bangunan vertikal rumah susun (Rusun) yang dibangun sebanyak 7.000 unit di Tebet, Tanah Abang Timur, Tanah Abang Bongkaran, Mangga Dua, Jati Petamburan. Saat itu konsep Rusun bisa dimiliki oleh warga Jakarta dengan harga jual relative murah sekitar Rp 4,5 – 6 juta dan bisa dicicil selama 20 tahun.
Pemimpin Jakarta selanjutnya melanjutkan pembangunan Rusun dengan sistem sewa. Rusunawa ini mulai dibangun di kawasan kumuh seperti Angke, Klender, Pondok Kelapa, Tambora, Karanganyar.
Kemudian di daerah Muara Angke, Penjaringan, Tanah Tinggi, Karet Tengsin, Jatinegara, dan Kemayoran. Tujuannya supaya masyarakat punya tempat tinggal yang lebih layak.
Pembangunan rusunawa bagi masyarakat kelas bawah ini terus dilakukan hingga era Gubernur Anies Baswedan. Kebijakan penyediaan permukiman di era Baswedan Anies menyasar warga kelas menengah berpenghasilan Rp 4 juta – Rp 7 juta per bulan.
Program tersebut adalah Rumah Susun Milik (Rusunami) Samawa yang bisa diperoleh dengan uang muka 0 Rupiah. Menurut RPJMD DKI Jakarta 2018-2022, Rumah Samawa ini akan dibangun 14.000 unit oleh BUMD dan 218.214 unit melalui mekanisme kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Perbaikan Kampung
Selain penyediaan hunian, program perbaikan kampung juga menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan warga ibukota. Walikota Sudiro mengawali upaya ini yang dikenal dengan proyek peremajaan kota di Krekot Bunder. Langkah ini bermula dari persoalan kebakaran besar yang terjadi di Kampung Krekot Bunder tahun 1952. Kebakaran tersebut memusnakan 600 rumah dan menyebabkan 10.000 orang lebih kehilangan tempat tinggal.
Dua puluh tahun kemudian, langkah ini diteruskan oleh Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, Sadikin lebih memilih untuk memperbaiki kampung kumuh dibandingkan membangun rumah karena pemda DKI saat itu tidak memiliki cukup dana untuk membangun rumah rakyat.
Program yang dinamai MH Thamrin ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan layanan yang tersedia bagi kampung. Program yang didanai Bank Dunia kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Tjokropanolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987), hingga Terakhir Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992).
Hasilnya memang nyata. Terjadi perubahan wajah kampung. Kampung yang semula kumuh menjadi lebih tertata dan bersih. Bonusnya, tentu saja mendapat akses prasarana dasar seperti air bersih dan sanitasi yang baik.
Era saat ini, perbaikan lingkungan juga menjadi perhatian Gubernur Anies Baswedan. RPJMD DKI Jakarta 2018-2022 menyebutkan perbaikan lingkungan di kawasan permukiman kumuh dengan strategi: Perbaikan Kampung Terpadu yang diawali dengan Program Community Action Plan (CAP), Collaborative Implementation Program (CIP), dan Monitoring dan Evaluasi. Prototype program ini dilakukan di Kampung Akuarium, Jakarta Utara.
Pemenuhan Prasarana Dasar
Masalah kekurangan permukiman paska kemerdekaan juga dibarengi dengan kurangnya prasarana dasar permukiman. Sebut saja urusan air bersih, sampah, sanitasi, listrik, dan telepon. Belum lagi urusan kebakaran yang sering terjadi dengan penyebab kompor tungku kayu bakar.
Digambarkan dalam Buku “Jakarta Sejarah 400 Tahun (Blackburn, 2011), pada tahun 1954, untuk melayani seluruh Jakarta hanya tersedia 4 truk sampah dan 60 petugas. Ditambah lagi, truk tersebut berusia lebih dari 30 tahun dan tidak bisa beroperasi bersamaan.
Mayoritas rumah di kampung tidak memiliki jamban sendiri. Jakarta yang saat itu berpenduduk 2 juta jiwa hanya mengandalkan 84 jamban umum yang semuanya tidak memiliki saluran air. Beruntung, masih ada bagian kota baru, kota satelit Kebayoran Baru yang memiliki prasarana lengkap.
Begitu juga halnya dengan jaringan listrik. Tidak semua rumah terhubung dengan saluran listrik. Pada 1951, Jakarta mengalami pedalaman listrik rata-rata sekali dalam tiga hari. Juga dengan air bersih yang kala itu Jakarta sudah bergantung dengan mata air Ciburial, Bogor. Sejak 1922, air dari Bogor sudah disalurkan ke Jakarta sebagai sumber air baku penduduk.
Walikota Sjamsuridjal setelah kemerdekaan yang memulai membenahi kondisi prasarana dasar perkotaan. Dia menganggap, air minum merupakan satu masalah penting yang dihadapi Jakarta. Solusinya, pemerintah membangun instalasi penjernihan air di Karet untuk menambah kapasitas produksi air sebanyak 5.000 liter per detik.
Selain itu juga meningkat debit air dari Bogor. Bagi penduduk yang belum terjangkau air bersih, Sjamsuridjal menyediakan 230 hidran umum. Langkah walikota yang hanya menjabat singkat tersebut adalah membangun pembangkit listrik di Ancol, untuk selanjutnya dibagi merata ke seluruh warga.
Penyediaan kecukupan air bersih terus dilanjutkan oleh Sudiro yang membangun pengolahan air di Pejompongan yang selanjutnya kapasitas pengolahan air tersebut diperluas oleh Ali Sadikin. Ali Sadikin kemudian membangun Instalasi pengolahan air berkapasitas kecil (Miniplant) di Cilandak, Jakarta Selatan.
Selanjutnya, pembangunan dilanjutkan oleh TJokropanolo dengan membangun IPA di Muara Angke.Berturut-turut berlanjut dengan dibangunnya pengolahan air di PUlo Gadung II serta Buaran I dan II untuk memperluas jangkauan hingga Jakarta Timur. Terakhir di masa pemerintahan Sutiyoso, dibangun IPA di Waduk Papanggo, Tanjung Priok.
Setelah 1998, pengolahan air minum diserahkan kepada swasta. PT Palyja yang mengelola air di wilayah Barat Jakarta dan PT Aetria yang bertugas di sisi timur. Setelah itu, pemda Jakarta yang diwakili PAM Jaya hanya bertugas melakukan monitoring kinerja dua perusahaan swasta tersebut .
Pendidikan
Sampai sekarang pemerintahan Jakarta masih terus berupaya memenuhi kebutuhan layak bagi warganya. Bukan hanya prasarana permukiman, namun juga kualitas sumber daya manusia seperti pendidikan dan kesehatan.
Di bidang layanan kesehatan, hingga Mei 2018 sebanyak 10.146.263 orang (98,19 persen) warga Jakarta telah menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional.
Salah satu inisiasi awal program sosial di bidang kesehatan di DKI Jakarta dilaksanakan pada kepemimpinan Fauzi Bowo. Pemerintah DKI Jakarta mencetuskan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin). Program ini berhasil memberikan layanan kesehatan kepada 2,7 juta penduduk yang kurang mampu. Di seluruh Jakarta, setidaknya 85 rumah sakit, 339 puskesmas di 44 kecamatan menerima pasien yang menggunakan JPK Gakin.
Inisiasi program sosial di bidang kesehatan di DKI Jakarta ini dilanjutkan oleh Joko Widodo. Saat itu, Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan BPJS sehingga pemenuhan kebutuhan kesehatan masyaratak Jakarta tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga pemerintah provinsi.
Di bawah kepemimpinan Joko Widodo, pemerintah provinsi mengeluarkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang merupakan jaminan pemeliharaan kesehatan dalam bentuk pengobatan. Melalui program ini, semua warga ber-KTP DKI Jakarta dapat memanfaatkan fasilitas KJS.
Sedangkan di sektor pendidikan pada 2012, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meluncurkan program untuk membantu pendidikan siswa miskin. Program ini bertujuan memberi akses warga DKI Jakarta kepada kalangan tidak mampu untuk mengenyam pendidikan minimal sampai dengan tamat SMA/SMK dengan biaya penuh dari APBD DKI Jakarta.
Semangat utama dari program KJP adalah mencegah anak putus sekolah. Gambaran data tahun ajaran 2013/2014 hingga 2016/2017 menunjukkan angka putus sekolah tingkat SD di DKI turun rata-rata 50 persen per tahun. Sementara tingkat SMP turun hampir 39 persen dan pada jenjang SMA turun rata-rata 30 persen.
Berbagai program mengikis ketimpangan sosial terus dilakukan hingga saat ini. Sejumlah program ”Jakarta Maju Bersama” di era Gubernur Anies Baswedan, seperti program kewirausahaan OK OCE, hunian DP Rumah 0 Rupiah, serta Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU), merupakan program-program baru yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Dengan demikian, perbaikan kualitas hidup warga Ibu Kota dapat terus meningkat, sekaligus membuka harapan dapat merdeka dari segala ketimpangan ekonomi dan sosial yang selama ini masih menjadi problem kota Jakarta. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)