Sosialisasi dan Edukasi Jadi Tantangan Penerapan QR Code
›
Sosialisasi dan Edukasi Jadi...
Iklan
Sosialisasi dan Edukasi Jadi Tantangan Penerapan QR Code
Bank Indonesia resmi meluncurkan Standar Kode Cepat atau QR Code Indonesia Standard (QRIS) sebagai sistem pembayaran nontunai nasional pada Sabtu (17/8/2019), di Jakarta. Sosialisasi menjadi kendala utama penerapan QRIS, khususnya kepada pedagang kecil dan daerah pinggiran.
Oleh
KELVIN HIANUSA, MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia resmi meluncurkan Standar Kode Cepat atau QR Code Indonesia Standard (QRIS) sebagai sistem pembayaran nontunai nasional pada Sabtu (17/8/2019), di Jakarta. Sosialisasi menjadi kendala utama penerapan QRIS, khususnya kepada pedagang kecil dan daerah pinggiran.
Dengan peluncuran itu, semua pembayaran dengan kode cepat harus mulai menggunakan QRIS. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) diberikan tenggat transisi penyesuaian alat pembayaran paling lambat 1 Januari 2020.
Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan, sulit untuk menargetkan jumlah pedagang yang menggunakan QRIS dalam setahun ke depan. Saat ini, fokus utama adalah mengedukasi masyarakat terkait penggunaan QRIS.
”Pertama-tama tentunya kami harus edukasi dulu. Yang penting bagaimana orang mengetahui dan mulai menggunakan. Makanya susah untuk ditarget angkanya berapa,” kata Jahja, yang juga hadir dalam peluncuran QRIS.
Edukasi, menurut Jahja, akan cukup sulit karena yang menjadi sasaran QRIS merupakan pedagang kecil. Sebab, maksimal transaksi dalam sekali penggunaan hanya Rp 2 juta.
Tantangan itu semakin besar mengingat syarat penggunaan QRIS harus memiliki rekening bank. Ini menjadi masalah tersendiri karena Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan inklusi keuangan di Indonesia saat ini belum mencapai 70 persen.
”Wajib punya rekening. Kalau tidak, nanti mau ditransfer ke mana. Ini menjadi tantangan. Tujuan awalnya bukan diarahkan ke merchant besar, apalagi perkotaan. Karena transaksi maksimumnya Rp 2 juta. Itu paling bisa untuk jajan saja,” sebut Jahja.
Di sisi lain, pedagang berpotensi menolak QRIS sebagai alat pembayaran. Sebab, potongan setiap transaksi atau merchant discount rate (MDR) cukup tinggi. Dalam transaksi reguler, pedagang harus menanggung 0,7 persen dari jumlah transaksi.
Adapun BI mengatur MDR berbeda-beda di setiap bidang. Khusus transaksi yang berkaitan dengan pendidikan sebesar 0,6 persen dan transaksi di stasiun pengisian bahan bakar umum (UMIM) sebesar 0,4 persen. Sementara itu tidak ada biaya potongan khusus bantuan sosial.
Deputi Gubernur BI Sugeng menjelaskan, tujuan dari QRIS memang inklusif, yaitu ditujukan untuk semua kalangan. Oleh karena itu, pihaknya akan memaksimalkan masa transisi hingga awal 2020 untuk sosialisasi.
”Ini, kan, perlu waktu karena kami saja masih belajar menggunakannya, apalagi ke pasar-pasar. Targetnya bisa secepat mungkin diterapkan. Kami akan kerahkan perangkat di daerah,” kata Sugeng.
Kehadiran QRIS, tambah Sugeng, bisa memacu pertumbuhan transaksi nontunai. Indonesia akan semakin cepat menuju cashless society. ”Hal yang positif, misalnya saja, pajaknya dari penjualan bisa langsung masuk ke pemerintah daerah. QRIS bisa mempercepat proses itu,” ujarnya.
Kehadiran QRIS bisa memacu pertumbuhan transaksi nontunai. Indonesia akan semakin cepat menuju cashless society.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, penerapan QRIS akan memberikan banyak keuntungan bagi pengguna dan pedagang. Menurut dia, persentase MDR lewat QRIS sudah cukup rendah. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan pembayaran melalui kartu debit dan kartu kredit.
”Tidak hanya memudahkan karena bisa dari smartphone, tetapi juga menguntungkan karena terjadi efisiensi. Tidak hanya perbankan sebagai penyelenggara yang untung, tetapi juga penjual mi goreng, pedagang bakso, karena prosesnya sangat cepat,” kata Perry.
Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri Rico Usthavia Frans mengucapkan, penyesuaian membutuhkan waktu. ”Karena ada jutaan alat EDC yang harus diubah dengan QR ini. Fintech yang gunakan EDC juga banyak yang akan bergabung dalam ekosistem ini. Ke depannya, kita memang perlu memastikan ini bisa diterima secara nasional,” katanya.