”Berlian” di Genggaman Nadiem
Capaian sebagai usaha rintisan pertama dari Indonesia yang berstatus ”decacorn” tak pernah terlintas sebelumnya di benak pendiri dan CEO Go-Jek Group Nadiem Makarim. Namun, sejak awal, Nadiem melihat potensi besar dalam diri pengemudi ojek yang disebutnya sebagai ”diamond in the rough”.
Suasana di Pasaraya Blok M, Rabu (7/8/2019), ramai oleh anak muda yang menjadi penyokong gerak Go-Jek. Menyewa ruang enam lantai di Pasaraya Blok M sejak 2016, Nadiem berencana menambah sewa lantai lagi karena tingginya kebutuhan penambahan ruang. Perekrutan karyawan terus dilakukan.
Bisnis Go-Jek pun semakin meningkat. Go-Jek telah menyandang status dekakorn (decacorn) dengan valuasi lebih dari 10 miliar dollar AS atau setara Rp 141 triliun. ”Enggak ngira layanan kita bakal segede ini. Awalnya hanya obyektif menyelesaikan permasalahan pindah dari A ke B yang tercepat. Karena masalah itu begitu besar dan kita bisa memecahkannya, maka terbukalah kesempatan vertikal lain,” kata Nadiem.
Go-Jek lantas berevolusi dari sekadar layanan ride-hailing menjadi platform teknologi dengan tiga aplikasi super (super-app) untuk konsumen, mitra pengemudi dan mitra merchant. Jumlah transaksi yang diproses dalam platform Go-Jek melesat hingga 1.100 persen dalam tiga tahun. Dimulai dengan 20 mitra pengemudi, kini Go-Jek telah bermitra dengan lebih dari 2 juta mitra pengemudi, 400.000 mitra merchant, dan 60.000 penyedia jasa di Asia Tenggara.
Ditemui di ruang kerjanya yang dihiasi gantungan samsak tinju, Nadiem tak henti berkarya. Ruang kantor tersebut sekaligus jadi studio rekaman untuk Gofigure. Ini merupakan tayangan Podcast yang bisa ditonton gratis di Spotify, iTunes, dan Youtube. Sebagai pemandu acara dalam bahasa Inggris, Nadiem membagikan pengalamannya melahirkan dan membesarkan Go-Jek.
Topik yang ditawarkan pun sangat beragam seperti manajemen produk hingga bagaimana menjalankan sebuah perusahaan dekakorn. Lewat tayangan Podcast yang sudah 11 episode ini, Nadiem ingin membagikan ilmu dan pandangan untuk solusi bagi perusahaan rintisan lainnya.
”Agar orang mengerti dari Indonesia ada lho perusahaan kelas dunia yang membicarakan hal secara otentik dan apa adanya. Seperti apa, sih, running decacorn, apa fear kita?”
Tidak menyerah
Meskipun menghabiskan banyak waktu untuk bersekolah di luar negeri sejak lulus sekolah dasar, Nadiem memang selalu menemukan rumah ketika pulang ke Jakarta. Dua kali dalam setahun kembali ke Jakarta, pertumbuhan Ibu Kota menjadi bagian tak terpisahkan dari jalan hidupnya. Ketika di rumah itulah, paparan Jakarta dengan permasalahan transportasinya mulai menghampiri benaknya.
Tak ingin stagnan di tengah kemacetan, ojek lantas menjadi transportasi andalan paling praktis. ”Jadinya sudah mulai ambil ojek sejak usia 14 tahun, dari muda banget ambil ojek. Saya orangnya enggak sabaran, enggak mau buang-buang waktu,” ujar Nadiem yang hingga kini masih menggunakan 2-3 kali layanan ojek motor Goride dalam sehari.
Berjarak sejenak dari rumah memberinya perspektif baru dalam melihat persoalan Jakarta. Ia lantas melihat ojek sebagai suatu sektor yang potensial. Ojek punya potensi profesionalisme, kejujuran, dan potensi belajar yang luar biasa. Asalkan, ada insentif yang baik dan didukung kemajuan teknologi.
”Experience saya di luar negeri memberi saya insight bahwa ternyata ini adalah suatu diamond in the rough. Ini adalah suatu sektor yang besar dan produktif dan potensinya luar biasa. Itulah value-nya punya perspektif luar. Kita jadi menyadari ada diamond yang ketutup,” tambahnya.
Berlian yang masih tertutup itu pula yang membuatnya tak menyerah walau tanpa dukungan funding pada empat tahun pertama. ”Enggak dipercaya, enggak pantas, kok lulusan Harvard bikin bisnis ojek. Saya orangnya keras kepala. Motivasi saya agak aneh. Saya paling senang kalau orang bilang enggak mungkin terjadi. Itu kata favorit: enggak mungkin!” kata Nadiem.
Ketika orang lain berkata tidak mungkin, jalan keluar justru terbuka lebar. Karenanya, Go-Jek Group kini mengambil tema: ”Pasti ada jalan”. Tagline ini tak hanya merepresentasikan nilai perusahaan, tapi juga lengket di kultur dan motivasi Go-Jek. ”Semua orang bilang enggak mungkin, pengin membuktikan mereka salah, itu yang jadi motivasi saya sehingga enggak menyerah,” ujar Nadiem.
Nadiem menganggap ”Pasti ada jalan” adalah konsep yang dimiliki oleh para cendekiawan. Konsep ini juga sangat Indonesia, bahwa akan selalu ada solusi inovatif hingga rendah biaya. Itulah yang menjadi identitas Go-Jek. Solusi yang belum tentu sempurna, tetapi baik dan efektif.
Pada Juli lalu, Go-Jek juga tampil degan logo baru berupa lingkaran tidak sempurna dengan titik (dot) di bagian tengah. Logo yang dijuluki Solv ini pun multi-interpretasi. Ada yang melihatnya seperti ban dari logo lama, ada pula yang menganggap seperti tombol power, hingga ikon pencarian. ”Itu esensi brand kita. We are many thing to many people dan itu oke,” ujar Nadiem.
Pola hidup
Dari sisi aplikasi konsumen, Go-Jek yang awalnya hanya menyediakan tiga layanan, kini berevolusi menjadi 22 layanan on-demand untuk berbagai kebutuhan, seperti pesan-antar makanan, pembayaran digital, hingga logistik. Nadiem merasa puas ketika melihat semakin banyaknya jumlah orang yang penghasilannya bergantung pada platform Go-Jek.
Misi utama Nadiem bukanlah sekadar menciptakan bisnis yang menguntungkan. Keberpihakannya tetap tertuju pada wong cilik karena di situlah potensi paling besar yang menyediakan jasa dalam skala besar. Aplikasi Go-Jek memberdayakan ekosistem micro entrepreneur, seperti pengemudi, yang biasanya tidak punya akses dengan bantuan teknologi.
”Hal yang membuat kita bahagia bukan uang, tapi bahwa kita merasa punya purpose. Karya yang kita ciptakan ada manfaat buat orang dan ada hubungan positif antara orang-orang yang kita ajak kerja sama,” kata Nadiem.
Kepuasan lain juga diraihnya ketika menyaksikan adanya perubahan gaya hidup masyarakat. ”Bagaimana Go-Jek mengubah lifestyle orang sehingga mereka menjadi jauh lebih efisien, lebih praktis, lebih convenient sehingga orang bisa fokus untuk jadi dirinya. Pada hal yang buat mereka lebih penting. ”
Bagi Nadiem, gunanya hidup adalah untuk menjalin bermacam hubungan berkualitas dengan orang-orang terdekat. ”Keluarga always comes first. Saya selalu ada waktu buat keluarga. Harus disiplin. Ngapain susah kerja keras kalau sampai melupakan hal terpenting, yaitu keluarga dan teman terbaik kita,” ujarnya.
Meskipun akrab dengan dunia digital, Nadiem memilih melarang penggunaan aplikasi seperti Youtube bagi dua anaknya yang masih kecil. Karenanya, waktu berkualitas bersama anak-anak pun lebih sering diisi dengan kegiatan membaca buku. Berbagai macam jenis buku, ia bacakan bagi anak-anaknya.
Waktu berkualitas bersama keluarga itu pun antara lain tercipta dengan kemudahan yang diberikan oleh layanan Go-Jek. Ia, misalnya, hanya perlu memesan makanan favorit keluarga lewat GoFood ketika bersantai di rumah sembari bermain lego, bernyanyi, atau nonton film Moana yang jadi kesukaan anak-anaknya. ”Sudah enggak bisa hidup tanpa Go-Jek. Mau gimana lagi,” kata Nadiem.
Nadiem Makarim
Pekerjaan sebelumnya:
- Konsultan Manajemen di McKinsey & Company di Jakarta
- Kontributor dalam pendirian Young Leaders for Indonesia
- Co-founder dan Managing Director di Zalora Indonesia
- Konsultan untuk sejumlah usaha rintisan.
Pendidikan:
- Bachelor of Arts (BA) dari Brown University
- Master of Business Administration (MBA) dari Harvard Business School
Penghargaan:
- Bloomberg Top 50 untuk tokoh-tokoh yang dinilai berhasil membuat dampak berskala global
- Penghargaan 24th Nikkei Asia Prize untuk kategori Economy and Business Innovation di Tokyo, Jepang