Kapten Brian Mengarungi Lautan Rima
Dua tahun sudah rapper Brian Imanuel atau kini lebih dikenal dengan nama Rich Brian merantau di Los Angeles, Amerika Serikat. Dia baru saja mengeluarkan album keduanya, The Sailor, yang juga mengulas peran kota asalnya, Jakarta. Setelah berhasil kerja bareng para panutannya, dia mau memantik anak-anak lain untuk berani—agak nekat—seperti dia.
”Pesanku kepada anak-anak di luar sana, yang selalu aku gembar-gemborkan sejak awal adalah jangan takut menjadi dirimu sendiri, jangan takut mencoba hal-hal baru. Namanya juga barang baru, kalau gagal, tidak apa-apa. Kalau berhasil, kamu jadi yang pertama melakukannya,” begitu pesan Brian yang diterjemahkan dari ocehannya dalam bahasa Inggris.
Dia menyampaikan itu di ujung acara pembukaan pameran 18 foto, dua belas di antaranya terkait dengan lagu-lagu di album baru, Rabu (7/8/2019), di Gudang Gambar, Jakarta Selatan. Pameran berjudul Rich Brian: The Sailor Experience itu dikerjakan bareng penyedia musik streaming Spotify, dan 88rising, perusahaan manajemen yang menaungi Brian, juga banyak rapper keturunan Asia lain.
Brian baru mau berumur 20 tahun pada 3 September nanti. Namun, nasihat yang ia sampaikan itu terdengar seperti terlontar dari mulut orang dewasa atau orang yang sudah sarat pengalaman. Tapi memang begitulah dia. Sahutan dan tepuk tangan orang-orang yang lebih tua di dalam ruangan malam itu seolah mengakui bahwa Brian telah mencoba melakukan hal besar dan berhasil.
The Sailor adalah album penuh keduanya, hanya terpaut satu setengah tahun dengan album debut Amen pada awal 2018. Pada album kedua ini, Brian mendapat lampu sorot gila-gilaan. Wajahnya terpampang di baliho super besar di titik strategis di Times Square, New York.
Jangan lupakan juga perjumpaannya dengan Presiden RI Joko Widodo pada awal Juli lalu, sepekan sebelum albumnya keluar. Di dalam Istana Bogor, Brian duduk sebelahan dengan presiden, yang waktu itu cuma manggut-manggut mendengar lagu rap ”Kids”. Lewat cuitan di Twitter, Presiden bilang, ”Ia anak muda asal Indonesia yang membanggakan”.
Kurang jelas betul kenapa Brian memperdengarkan lagu ”Kids” itu kepada Jokowi, yang lebih akrab dengan lagu rock dan metal ketimbang hip-hop. Yang pasti, di dalam lagu itu, Brian menceritakan sekelumit asal-usulnya kepada dunia, juga bagaimana etosnya membuat karya musik.
”Been in the studio/I forgot how to sleep/Not tryna make an album they forget \'bout in a week,” begitu cerocosnya di bait pertama lagu itu. Kalau diterjemahkan, kira-kira artinya menjadi, ”(Aku) berkutat di dalam studio, sampai lupa tidur, (karena) aku emoh membuat album yang bakal dilupakan orang dalam seminggu.”
Lagu ”Kids” itu salah lagu favorit yang pernah dia bikin. ”(Lagunya) tanpa hooks, hanya kata-kata diiringi musik yang indah,” tulis Brian di akun Twitter-nya.
Di lagu itu pula, Brian menyapa orangtuanya. Dia menyebut ibunya telah melahirkan empat jagoan. Ayahnya, Heru Soewarno, bahkan ikutan nongol di klip video lagunya yang mengambil gambar di Jakarta. ”Tiba-tiba Brian mengajak. Ya sudah, siap saja,” kata Heru di acara pameran.
Corak musik yang ada di album The Sailor itu, harus diakui, bagus. Musiknya tak melulu berisi dentuman bas, atau pola synsthesizer monoton. Untaian bebunyian instrumen akustik, kadang bergaya jazz, kadang klasik, justru dominan di beberapa lagu, menyatu dengan gaya ngerap dia: suara berat, dan tidak tergesa-gesa. Hasilnya adalah lagu-lagu yang enak didengar kala bersantai, tapi tak berasa kuno.
Kalau Anda menyukai musik hip-hop agresif, mungkin bisa langsung nyetel dengan tembang di urutan pertama, ”The Sailor”, seperti judul albumnya. Tapi di paruh akhir lagu itu, ada bunyi petikan gitar akustik, yang mengiringi lirik reflektif, ”What is a life if a moment can end in a blink of an eye” atau ”apa artinya hidup jika sebuah momen bisa lenyap dalam sekedipan mata”.
Lewat album ini, Brian tak cuma menceritakan pengembaraannya, yang ia ibaratkan dirinya sebagai kapten kapal. Dia juga hendak menunjukkan proses pendewasaannya. Mungkin terlalu klise. Namun, menyimak banyaknya perubahan yang ia alami, pilihan itu bisa dimaklumi.
Pintu internet
Brian lahir ketika Indonesia baru saja beranjak dari rezim Orde Baru. Dia mendengar cerita huru-hara 1998 dari ayahnya. Namun, dia menjalani perubahan itu. Era keterbukaan baru saja dimulai. Di perkotaan, seperti Jakarta, internet jadi kebutuhan pokok yang baru, sama pentingnya dengan sandang, pangan, dan papan.
Bungsu dari empat bersaudara ini bersekolah di rumah, alias homeschooling. Brian tak paham alasannya. Kawannya, Ricky, seperti yang dimuat di laman Time.com menduga, Brian kecil adalah anak penyendiri yang sering rewel. Sonia Eryka, kakak Brian, membenarkan.
Masih dari sumber yang sama, Brian disebutkan pernah keranjingan main rubik. Brian menyalakan komputer ayahnya untuk mencari tahu bagaimana menguasai permainan itu lebih cepat. Itulah perkenalannya dengan Youtube, yang sekarang dianggap sebagai ”sumber pengetahuan” itu. Dia menyerap banyak hal dari menonton video di situ.
”Menjalani homeschooling membuatku punya waktu banyak mengeksplorasi hobi, menentukan apa yang kelak dikerjakan untuk hidup. Aku dulu bercita-cita membuat film hanya karena banyak melihat video di Youtube,” kata Brian kepada Vulture.com, unggahan 2 Februari 2018.
Pertemanannya di media sosial—saban hari bergaul di Twitter dan bertelevideo dengan sobatnya, Noah, yang tinggal di Boston lewat Skype—membuat dia jago berbahasa Inggris. Noah mengenalkan Brian pada budaya Amerika, bahasa slang, dan juga hip-hop.
”Tahun 2012, aku mendengar Drake dan 2 Chainz, lalu menyimak albumnya Childish Gambino. Aku terkagum-kagum dengan akor menyeramkannya. Belajar nge-rap menyempurnakan pengucapanku, karena harus cepat,” ujarnya.
Rap benar-benar menyita perhatiannya. Waktu berumur 14 tahun, dia membuat resolusi tahun baru membuat musik dan pergi ke Amerika. Tekad itu dia canangkan setelah terkagum-kagum dengan karya dan sosok Tyler the Creator.
Brian lantas menjelma jadi Rich Chigga, nama panggung yang dia pilih saat mulai menulis lagu. Tak lama lahirlah lagu ”Dat $tick” yang musiknya bergaya trap, tren saat itu. Brian menyutradarai klipnya dan mengunggahnya di Youtube pada Februari 2016. Lagu dan klipnya menyedot banyak perhatian rapper kawakan.
Talenta Asia
Salah seorang yang terpukau adalah Sean Miyashiro, seorang manajer keturunan Jepang yang bermukim di New York. Sean menjalankan bisnis manajemen artis bernama CXSHXNLY, kini bernama 88rising. Dia menghubungi Brian, yang diam-diam sudah mengetahui kiprah Sean di ranah rap, lewat jalur pribadi di Twitter.
”Sean yang memanajeri Dumbfoundead, Keith Ape, menceritakan padaku visinya. Ini sebelum bernama 88rising. Mereka keren betul dan aku harus bergabung. Aku memutuskan bekerja dengannya setahun sebelum kami benar-benar bertemu. Komunikasinya lewat telepon di zona waktu berlawanan,” kata Brian.
Sean membuatkan video berisi tanggapan klip ”Dat $tick” dari rapper kawakan kenalannya, seperti Ghostface Killah (dari kolektif rap legendaris Wu-Tang Clan), Desiinger, dan 21 Savage. ”Pengakuan” dari para senior ini mengukuhkan kebolehan Brian. Klip ”Dat $tick” melejit. Hingga hari ini, klip itu telah ditonton sebanyak 126 juta kali.
Perusahaan Sean itu disebut Billboard bervisi mengenalkan talenta dari Asia ke pasar Amerika. Seluruh artis yang tergabung di sana merupakan keturunan Asia, seperti Keith Ape (Korea Selatan), Higher Brothers (China), Niki (Indonesia), dan Joji (Jepang). Joji ini tampil di We The Fest 2019, Juli lalu di Jakarta, dan penontonnya banyak sekali.
”Kami menganggap para artis adalah rekan. Kami membicarakan ide-ide mereka setiap hari dan memikirkan aspek visualnya. Kami merancang bagaimana melantangkannya dalam cara yang unik,” kata Sean kepada Billboard. Cara kerja itu disebut jauh lebih irit dibandingkan dengan pola manajemen artis K-Pop.
Melalui kanal Youtube, ide-ide artis Asia itu mendapat panggungnya. Kanal 88rising punya pengikut 3,4 juta akun. Sejak Maret 2016, semua video mereka telah ditonton sebanyak 1,1 miliar kali. Klip video teranyar Brian, misalnya, yang berjudul ”100 Degrees” telah ditonton sebanyak 4 juta kali, padahal baru sepekan diunggah.
Kiprah dan kerja sama dengan 88rising adalah sandaran bagi Brian dalam menyongsong ”mimpi Amerika” sejak 2017. Rich Chigga telah berganti menjadi Rich Brian, semata-mata lantaran dia risih dengan ”chigga” yang selintas terdengar rasis.
Pada hari yang sama ketika bangsa Indonesia sedang memperingati HUT Ke-74 RI, Brian sedang berpentas di Los Angeles State Historic Park di ajang Head in The Clouds Music & Arts Festival. Itu adalah festival tahunan yang memanggungkan semua artis di bawah naungan 88rising.
Setelah itu, Brian dan kawan-kawannya akan terbang ke selatan untuk menjalani tur di beberapa kota di Australia dan Selandia Baru. Tiket untuk sejumlah pertunjukan di tur ini telah ludes jauh-jauh hari. Cahaya Asia tengah bersinar terang di mana-mana.
”Katakan kepada anak-anak Asia ini bahwa mereka bisa melakukan apa saja…semua orang bisa berhasil, tak peduli dari mana asalnya,” begitu kira-kira terjemahan sepenggal lirik di lagu ”Kids”. Brian mewujudkannya.