Bagi Anastasia Melati (47), penari klasik Jawa asal Wonogiri yang menetap di Yogyakarta, radio ibarat pengiring tari atau joget keriangan, sekalipun dalam situasi berkebalikan.
”Di Yogyakarta sampai Solo, saya sering dengar lagu-lagu di radio berbahasa Jawa yang mengisahkan kesedihan, tetapi dinyanyikan jadi kelucuan. Kesedihan dipahami bersama, tetapi di radio itu lalu dijogeti dengan keriangan bersama,” ujar Melati, Jumat (16/8/2019), di Taipei, Taiwan.
Pengalaman itu didapat Melati ketika sering menyimak radio di mobil selama perjalanan dari Yogyakarta ke Wonogiri dan sebaliknya. Genre lagu-lagunya campur sari atau dangdut ”koplo” berbahasa lokal. Lirik lagunya banyak bercerita tentang kepedihan dikhianati pasangan, atau justru kewalahan karena berpasangan lebih dari satu orang. Sengsara yang diciptakan sendiri, dibuat lucu sendiri juga.
Radio bagi komunitas lokal bisa jadi saluran ekspresi yang tidak biasa, juga dapat dimanfaatkan untuk merawat kebudayaan lokal. Melati menceritakan, selama menjadi penari di Pura Pakualaman, Yogyakarta, ada penyajian gubahan musik gamelan khas keraton itu yang disiarkan radio.
Saat ini, Melati tengah merampungkan program studi doktoralnya di Taipei Nation University of The Art. Di Taipei, Melati mengajar menari warga Taiwan ataupun para pekerja asal Indonesia. (NAW)