Pensiun dari Kompas Gramedia tahun 2002 setelah menduduki berbagai jabatan penting di perusahaan, yang paling mengesankan bagi kami para wartawan adalah ketika Pak Swan—begitu kami memanggilnya—memimpin kami sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Surat kabar harus punya jiwa. Tanpa jiwa, surat kabar tak lebih dari daftar belanja. Personifikasi Pak Jakob Oetama sebagai Pemimpin Redaksi dan Pak Swan itulah yang pada masanya menjadi jiwa, menjadi roh Kompas.
Kedua pemimpin kami itu meneladankan kegairahan bekerja, bekerja dengan tuntas disertai greget. Capai seusai bekerja penuh kegairahan akan mendatangkan kebahagiaan, begitu ucap mereka. Tak ada tempat bagi yang bekerja setengah-setengah.
Pak Swan adalah kalong. Dia berjaga sampai lewat tengah malam di kantor. Pagi hari sudah berada di kantor lagi. Sangat tepat jenazah Pak Swan diberangkatkan menuju pemakaman pada Selasa (13/8) lalu dari kantor di Jalan Palmerah Selatan. Kantor itulah rumah Pak Swan.
Dari keteladanan pemimpin, kami paham belaka bahwa lembaga tempat kami bekerja adalah lembaga intelektual. Bukan pabrik. Pada wawancara, misalnya, ditekankan bahwa proses wawancara bukanlah yang diwawancara bicara kami merekam. Itu namanya ember. Wawancara adalah konfrontasi gagasan.
Perhatian Pak Swan terhadap urusan kebudayaan tidak main-main. ”Kamu mau menulis tentang Jawa tidak membaca History of Java karya Raffles sama saja omong kosong,” begitu gaya bicara Pak Swan. ”Baca juga itu karya Zoetmulder.”
Pernah saya abai, tidak meliput kegiatan WS Rendra baca puisi di TIM. Waktu itu tahun 1980-an, Rendra masih dicekal oleh pemerintah Orde Baru. Pak Swan marah dan tidak menerima alasan bahwa malam itu saya sakit, tidak enak badan. ”Wartawan itu sakit kalau terkapar tidak bisa apa-apa di rumah sakit,” kata Pak Swan.
Sungguh peristiwa yang sangat membekas. Pada koran umum yang oleh kebanyakan orang diasosiasikan sebagai koran politik, pemimpinnya sebegitu peduli pada urusan baca puisi. Baru saya sadar, seperti kemudian sering saya dengar dari kedua pemimpin itu, bahwa ”kebudayaan adalah roh koran”.
Pak Swan tidak memedulikan gelar akademis dan jalur-jalur formal pendidikan. Pokoknya wartawan harus mengasah diri dengan segala cara dan rajin membaca. Berkali-kali Pak Swan melalui sekretarisnya, Mbak Etty, memfotokopikan untuk kami buku-buku yang menurut dia harus kami baca.
Sebagai manusia tercerahkan, memori Pak Swan terbentuk dari bacaan. Soal ini terjelaskan dari buku yang ditulisnya setebal lebih dari 400 halaman berjudul Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Bercerita sebagai seorang kakek, Pak Swan mengawali cerita akan buku yang hidup dalam kenangannya, buku berbahasa Belanda yang banyak gambarnya, yang ia baca tatkala SD. Pada usia SD, sang kakek ini telah pandai bahasa Belanda.
Belakangan kakek menemukan kembali buku itu. Ia semacam ensiklopedia bergambar dan gambar-gambar yang dimaksud antara lain simbol kotapraja-kotapraja di zaman Hindia Belanda. Dari situ, sang kakek merentang ingatannya pada ratusan buku lain berikut konteks zamannya.
Di luar krida intelektualnya, diam-diam Pak Swan mengolah diri dalam semacam laku kebatinan orang Jawa. Saya sering diajak berbincang mengenai keris-keris pusakanya, serta berbagai kawruh kejawen. Pada menyatunya ucapan dan tindakan Pak Swan, saya kadang menghubung-hubungkan, ”ilmu klakone kanti laku” (ilmu terselenggara dengan tindakan). Pak Swan sering berucap, ia ingin meninggal dalam tidur agar tidak merepotkan orang.
Sabtu (10/8) sore, dia ke gereja bersama istri, RA Kusmardijah (84). Malam hari, dalam tidur dia meminta istri meletakkan tangan di dadanya. Dini hari, sang istri merasa suaminya tidak bergerak dan sama sekali tanpa suara. Ternyata, suami tercinta ini melanjutkan tidurnya dalam tidur yang kekal. The man to respect telah pergi.
Pak Swan, apa yang Pak Swan capai di dunia, kebanggaan, kegelisahan, dan mungkin pergulatan mengatasi kekecewaan, tak seberapa dibandingkan keteladanan yang Pak Swan berikan. Kami takjub pada cinta yang luar biasa tadi, serta jalan menuju ke Yang Ilahi, dengan cara yang tak kalah luar biasa.