Uang
Yang terlihat
Kalau Anda menjawab secara jujur, apakah Anda bergantung kepada uang sebagai cara untuk melangsungkan hidup? Apakah tingkat ketergantungan itu 100 persen, 50 persen, atau hanya 10 persen? Apakah Anda merasa tenang kalau punya uang ketimbang Anda merasa tenang kalau kehidupan spiritual Anda begitu dahsyat?
Saya mengajukan pertanyaan itu karena belakangan saya baru menyadari bahwa selama ini saya hidup sangat mencintai uang. Saya bergantung kepada uang, sama mungkin seperti seorang yang terjerat narkoba dan bergantung kepada bahan-bahan yang mampu melayangkan dan memberi ketenangan meski sesaat itu.
Saya merasa kehidupan spiritual saya jauh di bawah kecintaan saya terhadap uang. Saya bahkan paniknya setengah mati kalau tak punya uang. Saya tak pernah panik kalau angka absensi saya ke rumah ibadah sudah menumpuk seperti gunung, atau saya tak merasa bersalah kalau saya tak membaca Alkitab.
Bahkan, merasa aman-aman saja kalau tak berdoa dan langsung tidur meski gempa yang begitu keras berlangsung beberapa waktu lalu telah membuat mulut saya komat-kamit di lantai lima sebuah gedung tinggi. Saya komat-kamit minta ampun sama Tuhan. Dan, saya tahu pasti, di saat itu, uang yang saya cintai itu tak dapat memberi pertolongan apa pun.
Di saat itu, saya tak merasa malu untuk minta ampun. Sama sekali tidak. Karena kalau sudah kepepet antara hidup dan mati, memasang muka badak adalah satu-satunya jalan keluar. Dengan muka badak itulah saya tak segan komat-kamit dengan harapan penuh, kalau saya mati malam itu, saya diampuni dan masuk surga. Padahal, kadar kecintaan saya kepada Tuhan jauh lebih rendah daripada kepada uang.
Jadi, kadar dalam mencintai Tuhan itu tinggi kalau saya kepepet di jurang kematian. Kalau kepepet di jurang kehidupan, yang tinggi itu kadar cinta saya terhadap uang. Saya bisa membeli barang yang saya inginkan, bukan hanya sekadar untuk membuang uang semata. Aktivitas yang saya sebutkan terakhir ini sudah tak lagi saya lakukan. Saya membeli berdasarkan apa yang saya butuhkan, bukan yang saya inginkan.
Yang tak terlihat
Dengan uang saya bisa lebih sehat, bisa membeli bahan makanan sehat yang sekarang makin mahal. Saya bisa melakukan pemeriksaan rutin ke dokter yang tak kalah mahalnya. Dengan uang, saya bisa mengembangkan usaha dan uang saya itu melalui berbagai jenis investasi. Dengan uang, saya bisa membayar utang, yang sekarang masih banyak yang harus saya lunasi. Jadi, uang itu membantu saya dengan luar biasa.
Kalau saya berdoa siang dan malam, Tuhan belum tentu memberikannya segera dengan nilai apa yang saya butuhkan. Saya tahu Tuhan maha pemurah, saya tahu Ia maha segalanya, tetapi satu hal yang tak saya ketahui kapan Ia akan mengeksekusi permohonan doa itu. Dan, sesuatu yang tak pasti itu semakin membuat saya deg-degan.
Meski begitu, banyak teman yang memberi ”ceramah” dengan lembut, tetapi menusuk tentang kecintaan saya terhadap uang, saya, toh, tetap merasa memegang uang itu memberi rasa aman. Maka, kalau saya sedang berada dalam turbulensi keuangan, saya tak bisa tidur nyenyak. Akan tetapi, saya tetap bisa tidur nyenyak tanpa berdoa.
Suatu siang di hari Minggu, sambil menunggu teman saya menjemput untuk makan siang, nurani saya meramaikan suasana hati di hari libur itu. ”Kamu ingat enggak contoh yang kamu berikan sebulan lalu waktu memberi sesi motivasi di Yogya, soal terbang dengan pilot yang tak pernah kamu lihat?”
Saya memberi motivasi bagaimana kita itu tak perlu takut akan masa depan. Sama seperti saat saya berada di dalam pesawat terbang saya tak pernah, bahkan tak merasa perlu, menanyakan atau mengecek apakah di kokpit pesawat itu ada pilotnya atau tidak. Saya hanya percaya pada suaranya ketika pesawat hendak lepas landas.
Saya juga tak tahu, setelah lepas landas saya dibawa kemana. Satu hal yang saya tahu dan yakini, dalam waktu satu jam saya mendarat di Kota Gudeg itu. Mengapa saya bisa tenang-tenang dan begitu yakin? Karena modal saya hanya percaya.
Saya percaya bahwa pilot itu akan mendaratkan saya dengan selamat dalam waktu satu jam meski saya tak tahu ia berputar ke kanan atau ke kiri, ke selatan atau ke arah barat daya. Jadi, kalau saya bisa percaya dengan pilot pesawat yang tak saya lihat dan sangat yakin bahwa ia akan mendarat dalam waktu satu jam di Kota Gudeg itu, mengapa saya tak bisa sepercaya dan seyakin itu dengan Tuhan yang sama-sama tak saya lihat, tetapi yang pagi itu memberikan nyawa untuk saya bangun dan lari ke lapangan terbang?
Bagaimana saya bisa memberi porsi ketergantungan yang besar kepada yang saya lihat ketimbang kepada Ia yang tak saya lihat itu? Mengapa saya mencintai uang melebihi Ia yang memberikan nyawa setiap pagi sehingga saya bisa bekerja dan punya penghasilan?
Siang itu, saya baru tahu kalau, selain saya cinta banget sama uang, saya ini cuma seorang motivator yang pinterngomong doang.