Kekerasan terus terjadi dan berulang di Afghanistan layaknya rantai yang tak putus. Warga pun mulai mempertanyakan proses damai yang tengah digelar. Seolah harapan makin menipis.
Rakyat Afghanistan yang marah dengan masih maraknya aksi kekerasan mempertanyakan titik negosiasi dengan Taliban. Mereka sanksi kesepakatan untuk mengakhiri perang sekaligus perginya pasukan Amerika Serikat dari negeri itu cepat diraih.
Harapan akan terciptanya damai di Afghanistan kembali diuji. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi di sebuah negara yang dilanda konflik selama beberapa dekade itu. Tewasnya 63 orang dan 182 orang luka-luka menjadi peristiwa kekerasan berdarah teraktual di Afghanistan.
Seorang pengebom bunuh diri meledakkan dirinya pada Sabtu (17/8/2019) malam di sebuah ruang pernikahan yang penuh sesak. Laporan Pemerintah Afghanistan menyebutkan, banyak wanita dan anak-anak di antaranya yang tewas dan luka-luka itu.
”Damai bagi siapa? Dengan mereka yang mengebom pernikahan, sekolah, universitas, kantor, dan rumah kita?” kata Rada Akba, salah satu warga melalui media sosial Twitter, Minggu (18/8). ”Menjual tanah ini dan orang-orangnya kepada para pembunuh itu sungguh sakit dan tidak manusiawi. Sejarah tidak akan melupakan ini.”
Situasi kritis
Sebelum serangan Sabtu malam itu, pada 7 Agustus lalu, terjadi serangan bom mobil yang membunuh 14 orang di Kabul. Diduga serangan itu dilakukan Taliban. Serangan itu hanya berselang seminggu dari serangan bom 31 Juli lalu di Afghanistan barat yang menewaskan 32 orang.
Pada November tahun lalu, seorang pengebom bunuh diri membunuh setidaknya 50 orang pada pertemuan para cendekiawan Islam di
Kabul. Rentetan serangan itu menggarisbawahi ketidakmampuan pasukan keamanan Afghanistan dan skala masalah yang mereka hadapi.
Sementara polisi dan tentara mengklaim bahwa mereka mencegah sebagian besar pengeboman tidak pernah terjadi, faktanya tetap bahwa pemberontak melakukan serangan mengerikan dengan keteraturan yang mengerikan.
Di sisi lain, masalah ini menjadi inti isu perdamaian Afghanistan. Serangan bom bunuh diri pada Sabtu malam itu terjadi ketika Taliban dan AS sedang menegosiasikan kesepakatan penarikan pasukan AS di Afghanistan.
Kesepakatan itu bergantung pada jaminan Taliban bahwa mereka akan menghentikan kelompok-kelompok jihad, seperti Al Qaeda dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), menggunakan Afghanistan sebagai tempat yang aman. Serangan hari Sabtu menunjukkan janji semacam itu akan sulit dipertahankan.
Saling tuduh
Terhadap peristiwa peledakan bom bunuh diri terbaru, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyatakan, Taliban tidak bisa serta-merta keluar dari tuduhan sebagai pelaku. Ghani menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa barbar. ”Kelompok Taliban tidak bisa lepas begitu saja dari tuduhan mengingat mereka menyediakan berbagai sarana bagi teroris-teroris,” kata Ghani dalam pernyataannya melalui Twitter.
Kubu Taliban membantah bertanggung jawab atas ledakan di lingkungan minoritas Syiah itu. Bahkan, mereka pun mengecamnya. Namun, seorang wartawan, Sana Safi, meragukan penyangkalan Taliban. ”Siapa lagi yang mampu melakukan kebrutalan seperti itu?” tanyanya. ”Jadi ’perjanjian damai’ dengan Taliban tidak akan mengakhiri pertumpahan darah bagi masyarakat Afghanistan secara umum?”
Sebagai catatan, selain Taliban, NIIS disebut juga beroperasi di Afghanistan. Kelompok itu ditengarai telah melakukan serangan berdarah di beberapa kota di Afghanistan dan menargetkan kelompok minoritas. (AFP/Reuters/BEN/JOS/*)