Disesalkan, Ujaran Kebencian terhadap Mahasiswa Papua di Jawa Timur
›
Disesalkan, Ujaran Kebencian...
Iklan
Disesalkan, Ujaran Kebencian terhadap Mahasiswa Papua di Jawa Timur
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyesalkan kerusuhan di Manokwari, Papua Barat, dan pengerahan besar massa di Jayapura, Papua. Peristiwa itu diakui pengaruh adanya ujaran kebencian, bahkan rasisme, terhadap mahasiswa Papua dan Papua Barat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyesalkan kerusuhan di Manokwari, Papua Barat, dan pengerahan besar massa di Jayapura, Papua. Peristiwa itu diakui pengaruh adanya ujaran kebencian, bahkan rasisme, dan penangkapan terhadap mahasiswa Papua dan Papua Barat di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.
”Ada aksi anarkistis (Manokwari) dan pengumpulan massa (Jayapura). Ini di-trigger karena kejadian di Jawa Timur, khususnya Surabaya dan Malang,” ujar Tito saat kunjungan ke Rumah Sakit Bhayangkara Samsoeri Mertojoso Polda Jatim, Senin (19/8/2019), di Surabaya.
Menurut Tito, peristiwa di kedua kota di Bumi Cenderawasih itu terkait dengan penangkapan terhadap mahasiswa Papua dan Papua Barat. Warga Papua terusik oleh bahasa-bahasa atau ujaran kebencian yang terlontar dari oknum-oknum terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.
”Ada juga pihak-pihak yang mengembangkan informasi-informasi seperti itu untuk kepentingan sendiri,” ujar Tito. Yang dimaksud adalah penyebaran foto seorang mahasiswa Papua meninggal akibat kekerasan saat penangkapan di Surabaya.
Tito berharap, masyarakat di Jawa dan Papua tidak terpancing dengan hoaks atau informasi bohong. Ia juga berpesan agar masyarakat di Jawa benar-benar memperlakukan warga Papua yang sedang menempuh pendidikan dengan sebaik-sebaiknya.
Minta maaf
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang turut mendampingi Kepala Polri mengatakan telah berkomunikasi dengan Gubernur Papua Lukas Enembe terkait dengan peristiwa di Surabaya dan Malang.
”Saya menelepon Gubernur Papua dan mohon maaf karena sama sekali bukan mewakili suara masyarakat Jatim,” kata Khofifah. Yang dimaksud ialah ujaran kebencian rasisme kepada mahasiswa Papua saat penangkapan terhadap mereka di asrama di Jalan Kalasan, Surabaya.
Khofifah mengatakan, komunikasi dengan mahasiswa Papua di Jatim selama ini amat baik. Mahasiswa Papua terlibat aktif dalam kampanye pemilu damai dan peringatan hari-hari besar nasional.
Komunikasi dengan mahasiswa Papua di Jatim selama ini amat baik.
”Dalam dinamika kehidupan berbangsa bernegara, perlu membangun komitmen menjaga NKRI, Pancasila, Merah Putih. Atas nama komitmen itu, kita menempatkan satu dengan lainnya setara, harus saling menghormati, saling menghargai,” ujar Khofifah yang sebelumnya menjabat Menteri Sosial.
Ia mengatakan mendapat permintaan dari Lukas Enembe agar seluruh mahasiswa Papua yang berada di Jatim dilindungi. ”Agar mereka merasa aman dan dapat menempuh studi dengan baik,” lanjutnya.
Koordinator Kontras Surabaya Fatkhul Khoir mengatakan, telah terjadi penangkapan terhadap 43 orang Papua di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Sabtu (17/8/2019). Penangkapan itu didahului adanya laporan kepolisian mengenai dugaan tindak pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Kesalahan prosedural
Namun, terjadi insiden yang mewarnai penangkapan itu. Sebelum insiden terjadi, dalam catatan Kontras, asrama didatangi sejumlah oknum tentara dan organisasi massa. Tanpa sebab, mereka kemudian menggedor-gedor asrama, masuk, dan mengintimidasi mahasiswa Papua. Di sinilah, menurut Fatkhul, terjadi ujaran kebencian rasisme terhadap mahasiswa Papua. ”Kemudian terjadi kericuhan,” lanjutnya.
Asrama didatangi sejumlah oknum tentara dan organisasi massa. Tanpa sebab, mereka kemudian menggedor-gedor asrama, masuk, dan mengintimidasi mahasiswa Papua. Di sinilah terjadi ujaran kebencian rasisme terhadap mahasiswa Papua.
Kericuhan mendorong datangnya aparat keamanan yang lebih besar. Ada penembakan gas air mata ke asrama. Kemudian, mahasiswa Papua ditangkap, dipaksa jalan jongkok menuju kendaraan, dan dibawa ke kantor Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya.
”Kami meyakini telah terjadi kesalahan prosedur dalam penangkapan yang juga menimbulkan kekerasan terhadap mahasiswa Papua,” ucap Fatkhul.
Dugaan kesalahan prosedur itu antara lain seharusnya petugas menindaklanjuti laporan kepolisian dengan panggilan 1, 2, 3 dan jika diperlukan secara paksa.
Penangkapan tanpa adanya panggilan pemeriksaan sebelumnya mengindikasikan petugas menyalahi ketentuan soal penanganan perkara. ”Belum jelas status mereka (mahasiswa) langsung ditangkap sehingga kami meyakini ada kesalahan prosedural,” ujar Fatkhul.
Dari 43 orang yang dibawa ke polrestabes itu, lanjut Fatkhul, satu orang terindikasi gangguan jiwa. Orang tersebut ditemukan oleh komunitas mahasiswa Papua, lalu dibawa dan dirawat di asrama, dan sedang dalam proses untuk pemulangan. Sementara satu orang lagi adalah remaja berstatus siswa SLTA.
”Selebihnya adalah mahasiswa dan saat ini sudah dikembalikan ke asrama. Mereka belum bisa beraktivitas ke luar karena masih cemas,” katanya.
Fatkhul menyebutkan, selama pemeriksaan, tidak ada intimidasi dan kekerasan dari petugas kepada mahasiswa. ”Soal kerusakan terhadap bendera yang dipasang sebelumnya di depan asrama, mahasiswa tidak mengetahuinya, apalagi pelakunya,” ujarnya.
Kontras mendesak Polri mengusut dugaan tindak pidana ujaran kebencian bernada rasisme saat penangkapan terhadap mahasiswa Papua itu. ”Harus dicari pelakunya, ditangkap, dan kasusnya diusut tuntas sebab hal itu yang kemudian merembet dan berdampak buruk,” kata Fathkul.