Bertahun-tahun, Pantai Rembat di Desa Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terkikis air laut. Daratan hilang perlahan, berganti tumpukan sampah. Namun, kondisi berbalik ketika pemerintah desa mengubah daerah abrasi itu menjadi destinasi wisata.
Puluhan sepeda motor memadati jalan Desa Juntinyuat ketika sore menjemput, Selasa (30/7/2019). Jalan yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat itu juga diisi remaja yang berjalan kaki. Sepanjang 1 kilometer, pemandangan sawah menguning di kiri dan kanan jalan. Jalur aspal bergelombang itu mengarahkan pengunjung ke Pantai Rembat.
Tulisan Pantai Rembat berukuran raksasa berwarna merah menyambut mereka. Semilir angin dan gemuruh ombak tak mau kalah. Kaki para pengunjung lalu melangkah lebih dekat dengan pantai melalui jembatan kayu.
Dari jembatan sepanjang 150 meter dan lebar 1,5 meter itu, pengunjung diajak bertemu deretan mangrove setinggi 3 meter. Bibit kelapa juga tersebar di antara mangrove itu. Di kiri jembatan terdapat instalasi bambu dan daun kelapa berbentuk lingkaran berdiameter lebih dari 1 meter.
Di sanalah para pengunjung berswafoto demi dinding Facebook atau Instagram mereka. Wajah mereka lebih sering tersenyum. Apalagi, membaca tulisan di papan kayu yang bertuliskan ”Cinta dengan kesetiaan akan kokoh seperti batu karang, tak akan hancur dihantam ombak” atau ”Cinta itu bagai pasir di pantai. Semakin kau genggam semakin terlepas”.
Bagi yang ingin bermain di pasir pantai atau berenang, pengelola menyewakan ban angsa. Semakin sore, pengunjung kian banyak. Mereka mengejar senja. Ketika matahari seolah tenggelam di lautan, pengunjung kembali berfoto. Begitulah pesisir Juntinyuat pada sore hari.
Pemandangan itu baru tampak dua bulan terakhir sejak Pemerintah Desa (Pemdes) Juntinyuat membangun fasilitas wisata, seperti jembatan mangrove, saung tempat makan dan minum, serta toilet. Anggaran pembangunan Rp 144.498.000 berasal dari dana desa 2019.
Dengan dana desa, pemdes telah menyulap Pantai Rembat yang selama ini digilas abrasi menjadi destinasi wisata baru. ”Lebih dari 10 tahun lalu, daratan 50 meter dari bibir pantai sepanjang 2 kilometer habis karena abrasi. Sawah warga juga hilang,” kata Kuwu (Kepala Desa) Juntinyuat Warno.
Daratan berbentuk bergerigi jadi bukti ganasnya abrasi. Petani bahkan membatasi sawahnya dengan plastik agar tidak terbawa abrasi. Pada saat yang sama, Pantai Rembat jadi tempat pembuangan sampah. Pembungkus nasi, plastik, dan popok dibuang di sana.
Meminimalkan abrasi, kata Warno, setelah 2005, pemecah ombak dipasang, bantuan dari PT Pertamina RU VI Balongan. Warga juga mulai menanam mangrove 3 hektar lebih untuk meredam laju abrasi. Agar pantai kembali bersih, daerah itu harus dicintai.
”Caranya, harus buat tempat wisata,” ucapnya. Sebelum itu, pemdes mengaspal jalan menuju pantai dan membangun irigasi di sekitar sawah. ”Kalau buat tempat wisata dulu, nanti warga komplain. Kenapa jalan enggak diperbaiki?” kata Warno.
Setelah infrastruktur tuntas, wisata Pantai Rembat pun dibangun. Pekerjanya warga desa setempat. Tempat wisata jadi, pedagang yang berjualan diharuskan warga Juntinyuat. Destinasi itu menjadi wadah pemberdayaan ekonomi warga.
”Sekarang, ratusan motor datang setiap hari. Bahkan, kalau masa liburan, bisa sekitar 1.000 motor per hari. Kalau satu motor dua orang, bisa ribuan orang yang ke sini,” papar Warno. Biaya parkir dipatok Rp 5.000 per motor, sedangkan untuk naik ke jembatan trek mangrove dikenai tarif Rp 2.000 per orang.
Kembali modal
Menurut dia, selama 40 hari buka, penghasilan dari tiket sudah mencapai Rp 132 juta. Uang itu masuk ke dalam kas Gema Karya, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Juntinyuat. Jumlah itu sudah hampir menyamai alokasi dana desa untuk Pantai Rembat sebesar Rp 144 juta. ”Artinya, kami kembali modal,” ucapnya, diiringi senyum.
Warno bahkan ingin mengembangkan destinasi itu, seperti menambah panjang trek mangrove dan menambah spot foto instagramable. Soal akses kendaraan roda empat, ia akan mengarahkan pengunjung melalui jalur Pantai Glayem.
Menurut Sekretaris Desa Juntinyuat Rendi Yudistira, Pantai Rembat yang berjarak 20 km lebih dari pusat pemerintahan Indramayu itu ramai dikunjungi setelah disebarluaskan di media sosial. Di Facebook, misalnya, foto pantai berlatar senja telah dibagikan hingga 1.900 kali. Bahkan, BUMDes Gema Karya menjual baju dengan gambar Pantai Rembat.
Sudedi Rasmadi (27), salah satu pengunjung, kagum dengan perubahan pesisir Juntinyuat. ”Dulu, enggak ada yang spesial di Pantai Rembat. Daerah itu kena abrasi. Jadi, saya cuma lewat. Enggak pernah singgah,” kata warga Kedokan Bunder, 13 km dari Juntinyuat.
Bagi Sudedi, Pantai Rembat jadi destinasi baru liburan keluarga. Selama ini, pekerja swasta itu hanya berlibur ke Karangsong, Indramayu, atau ke mal di Kota Cirebon. ”Semoga terus dikembangkan,” ucapnya. Pantai Rembat seperti cermin bagi pemdes lain untuk bisa mengubah persoalan menjadi solusi. Juntinyuat sudah melakukan, memancing desa lain melakukan hal serupa.