Kain tenun Tidore disebut-sebut menghilang selama tiga generasi atau sekitar 100-an tahun. Arsip tentang kain itu minim dan hanya sedikit orang yang masih mengingatnya. Perlahan, kenangan tentang puta dino—kain tenun Tidore—dibangkitkan. Kembalinya kain itu dirayakan bersama di landasan peraga Jakarta Fashion and Food Festival, Kamis (15/8/2019) malam.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Kain tenun Tidore disebut-sebut menghilang selama tiga generasi atau sekitar 100-an tahun. Arsip tentang kain itu minim dan hanya sedikit orang yang masih mengingatnya. Perlahan, kenangan tentang puta dino—kain tenun Tidore—dibangkitkan. Kembalinya kain itu dirayakan bersama di landasan peraga Jakarta Fashion and Food Festival, Kamis (15/8/2019) malam.
Adalah desainer Didi Budiardjo yang ”bertugas” mengangkat kain Tidore, Maluku Utara, tersebut. Menghadirkan delapan koleksi busana di atas panggung bukan perkara mudah buat Didi. Ia menghabiskan sekitar tujuh bulan menciptakan karya yang ia beri judul ”To ado Re” dan berarti: saya sudah sampai, Tidore.
Busana karya Didi didominasi warna gelap, yakni hitam dan abu-abu. Sesekali ada aksen merah dan biru yang diselipkan di beberapa busana. Warna-warna itu disempurnakan dengan teknik beading (aplikasi manik-manik) yang menjadi ciri khas Didi. Walau palet warnanya kelabu, busana itu tetap bersinar di atas panggung.
Koleksi kali ini memiliki potongan asimetris dan lurus. Yang berpotongan asimetris terkesan muda dan dinamis. Di salah satu koleksi, Didi menggabungkan bawahan asimetris berbahan ringan dengan atasan serupa blazer. Atasan dan bawahan dihias dengan motif tenun yang berbeda.
Di koleksi lain, Didi membuat terusan dengan mengadaptasi bentuk rok pensil. Bagian depan rok dibuat lebih pendek dari bagian belakang dengan tambahan material serupa bulu hitam. Bagian pinggulnya dihias dengan lipatan kain dan menimbulkan ilusi mekar.
Didi juga memadukan dua kain yang berbeda di salah terusan rancangannya. Terusan itu merupakan perpaduan kain tenun beraksen merah di sisi kanan dan kain hitam di sisi kiri. Busana itu dibuat dengan model off shoulder di sisi kiri dan juntaian kain sebatas paha. Sementara itu, kain di sisi kanan dibuat lebih panjang sampai lutut.
Ada dua koleksi Didi yang mengingatkan penonton terhadap putri kerajaan. Ia membuat gaun panjang dengan potongan sederhana. Bagian lengannya dibuat dari puta dino dan bagian dadanya serupa bordiran. Kesannya klasik dan sederhana.
Pendekatan desain yang sedikit berbeda diaplikasikan pada gaun yang lain. Kali ini gaun terkesan lebih modern dengan bebatan kain di pundak, dada, hingga lengan. Bentuknya sederhana dan anggun. Didi menambahkan pula manik-manik berwarna gelap di bagian tangan, dada, hingga bonnet di kepala.
”Inspirasinya ialah seorang boki (putri Tidore) yang berjalan dalam mimpinya. Selain itu, Kesultanan Tidore dahulu juga menguasai Indonesia bagian timur dan juga gunung-gunung emas di Papua. Itu yang ingin saya tekankan,” kata Didi selepas peragaan busana di Jakarta, Kamis.
Sejarah yang putus
Menurut Didi, inspirasinya soal boki itu bagaikan hal yang maya. Ini tak lepas dari putusnya sejarah puta dino selama tiga generasi. Ia dan warga Tidore pun bahu-membahu menelusuri kembali jejak kain tenun tersebut.
Pencarian itu sempat menemui kendala ketika tidak ada ahli wastra yang tahu tentang kain tenun Tidore. Survei kemudian dilanjutkan dengan menemui sultan dan permaisuri Kedaton Tidore. Titik terang baru terlihat ketika mereka bertemu dengan seorang tetua adat berusia sekitar 80 tahun. ”Beliau cerita bahwa saat ia kecil, ibunya pernah menenun,” kata Didi.
Karya Didi yang mengangkat puta dino ini dinilai masih permulaan. Masih ada banyak sejarah dan kekayaan tenun Tidore ini yang belum mereka kulik. Didi mengatakan, motif puta dino pada koleksinya merupakan hasil redefinisi berbasis sejarah yang mereka temukan.
Anita Gatmir, seorang boki dan pegiat tenun Tidore, mengatakan, eksplorasi warna masih perlu mereka lakukan. Sebab, puta dino yang mereka ”temukan” masih sebatas di spektrum warna gelap. ”Literatur berisi puta dino yang kami temukan warnanya masih hitam-putih. Jadi, kami masih belum tahu benar warna sesungguhnya puta dino,” kata Anita.
Kendati jalan panjang masih harus ditempuh untuk menyingkap sejarah, kini Anita dan Didi boleh bernapas sedikit lega. Pasalnya, ada kelompok anak muda Tidore yang meneruskan tradisi menenun yang hilang. Kelompok itu terdiri dari 12 pemuda dan pemudi berusia 16-28 tahun.
Beberapa di antara mereka baru beberapa bulan belajar menenun. Ada pula yang telah belajar selama sekitar setahun. Walaupun dirasa sulit di awal, mereka menikmati kegiatan baru mereka ini. Menurut mereka, budaya nenek moyang ini jangan sampai hilang lagi.
”Awalnya saya hanya diajak teman. Lama kelamaan, menurut saya, penting untuk melestarikan budaya yang hilang ini,” kata Anang (23), salah satu penenun muda Tidore di Jakarta, Kamis.
Kain tenun lain
Selain Didi, ada empat desainer lain yang juga turut serta di peragaan busana Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) 2019. Keempatnya ialah Eridani, Yogie Pratama, Koko Rudi, dan Enrico Marsall. Hari itu, penyelenggara mengadakan peragaan busana bertajuk ”Jalinan Lungsi Pakan” yang fokus pada kain tenun Nusantara.
Masing-masing desainer membawakan delapan koleksi dengan kain yang berbeda-beda. Eridani membawakan busana dari kain tenun Sulawesi Tenggara, Yogie dengan kain tenun Sambas, Koko dengan kain tenun Bali, dan Enrico dengan kain lurik dari Jawa Tengah.
Pergelaran busana ini merupakan hasil kerja sama penyelenggara JFFF dengan perkumpulan Cita Tenun Indonesia (CTI). Kain-kain yang ditampilkan merupakan hasil pelatihan yang dilaksanakan CTI terhadap masyarakat di sejumlah daerah.
Pergelaran ini diharapkan menjadi media untuk mengenalkan kain tenun Nusantara kepada masyarakat luas. Ketua CTI Okke Hatta Rajasa mengatakan, selama ini masyarakat mengenal kain tenun untuk kegiatan adat saja. Padahal, tenun juga bisa digunakan untuk busana sehari-hari tanpa menyalahi nilai adati.
”Kami pernah melakukan pelatihan antara lain terhadap kain dari Baduy, Garut, Sumba, Manggarai, dan Palembang. Saya ingin sekali agar bisa (melakukan hal yang sama) ke kain Aceh karena kekhasan yang dimiliki. Jika kekhasan itu tidak digali, maka bisa hilang,” kata Okke.