Kemenkes Fokus Tekan Tengkes serta Angka Kematian Ibu dan Bayi
›
Kemenkes Fokus Tekan Tengkes...
Iklan
Kemenkes Fokus Tekan Tengkes serta Angka Kematian Ibu dan Bayi
Kementerian Kesehatan akan fokus menurunkan angka stunting atau tengkes, serta angka kematian ibu dan bayi pada 2020-2024. Khusus tengkes, prevelensinya atau jumlah yang terpapar akan diturunkan secara bertahap per tahun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 19 persen hingga 2024.
Oleh
Fajar ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan akan fokus menurunkan angka stunting atau tengkes, serta angka kematian ibu dan bayi pada 2020-2024. Khusus tengkes, prevelensinya atau jumlah yang terpapar akan diturunkan secara bertahap per tahun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 19 persen hingga 2024.
Hal tersebut selaras dengan visi Indonesia ke depan, yakni membangun sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Untuk itu, alokasi anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2020 di sektor kesehatan akan digunakan untuk merealisakan program-program prioritas atau yang menjadi fokus.
Presiden Joko Widodo dalam pidato Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2020 di Gedung DPR/MPR, Jumat (16/8/2019), menyampaikan, alokasi anggaran kesehatan pada 2020 sebesar Rp 132,2 triliun. Selain pelayanan dan askes kesehatan, upaya preventif dan promotif akan menjadi fokus pemerintah.
Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Farichah Hanum mengatakan, Kemenkes siap mewujudkan masyarakat yang sehat dan berkualitas. Rencana strategis utama akan berfokus pada kualitas SDM tersebut.
”Selain tengkes, fokus lain misalnya menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) atau pencegahan penyakit tidak menular,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Selain tengkes, fokus lain misalnya menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi atau pencegahan penyakit tidak menular.
Tengkes adalah kondisi anak yang pertumbuhannya di bawah standar (sederhananya disebut kerdil) karena menderita kurang gizi kronis. Penyebab utama tengkes adalah kurangnya asupan nutrisi gizi pada anak secara kronis. Bisa kurang kecukupannnya, bisa juga kurang dan sekaligus tak cukup bergizi.
Dengan kata lain, anak yang menderita tengkes hampir bisa dipastikan berasal dari keluarga miskin atau dari keluarga miskin sekaligus lingkungannya juga miskin.
Kementerian Kesehatan mencatat, prevalensi tengkes Indonesia mencapai 30,8 persen, jauh di atas prevalensi tengkes global yang sebesar 21 persen. Angka 30,8 persen berarti hampir sepertiga dari anak-anak Indonesia (anak balita dan remaja) menderita tengkes.
Menurut Hanum, dalam penurunan angka tengkes, misalnya, upayanya tidak sekadar promotif dan preventif, melainkan juga kuratif jika dibutuhkan. Hal tersebut selama ini sudah diintensifkan, misalnya melalui Gerakan Masyarakat (Germas) untuk menjaga gizi masyarakat seimbang.
”Kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan menjadi krusial untuk mendukung upaya tersebut. Baik rumah sakit maupun puskesmas dituntut mempersiapkan sarana dan prasarana serta SDM agar visi Indonesia bisa terpenuhi,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi mengemukakan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, penurunan angka tengkes ditargetkan menjadi 19 persen. Adapun berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka tengkes saat ini berada di angka 30,8 persen.
”Strategi nasional dalam menurunkan tengkes dilakukan dengan strategi gizi spesifik atau langsung menyasar anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK),” katanya.
Sementara itu, untuk strategi gizi sensitif, Kemenkes akan membangun fasilitas pendukung kesehatan dan menggelar program-program kesehatan. Contohnya, penyediaan air bersih atau sanitasi, pendidikan gizi, serta ketahanan pangan dan gizi.
Menurut Oscar, upaya penurunan tengkes membutuhkan kolaborasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Tidak hanya itu, kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menentukan.
Hal itu penting mengingat rencana presiden yang menargetkan perluasan wilayah menjadi 260 kabupaten/kota dalam mempercepat penurunan tengkes. ” Yang paling penting integrasi dan kolaborasi, kita sudah bertekad agar masyarakat bisa sehat, produktif, dan mandiri,” katanya.
Oscar juga menambahkan, anggaran sebesar Rp 132,2 triliun yang direncanakan pemerintah merupakan anggaran keseluruhan fungsi kesehatan yang dikelola juga oleh lembaga lain. Adapun anggaran yang akan dikelola Kemenkes sebesar Rp 57,4 triliun.
Kompetensi pekerja sosial
Pada pidato nota keuangan, Presiden juga menyinggung soal program perlindungan sosial dalam pembangunan SDM. Dalam hal ini, Direktur Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial (Kemensos) Margowiyono menjelaskan, Kemensos akan terus meningkatkan kompetensi pekerja sosial demi kemandirian masyarakat.
”Proses rehabilitasi sosial mengedepankan profesionalisme pekerja sosial. Pekerja sosial bukan orang yang hanya bekerja, melainkan juga mendalami profesinya,” katanya.
Kemensos akan terus meningkatkan kompetensi pekerja sosial demi kemandirian masyarakat.
Saat ini, pelatihan sertifikasi intensif diberikan kepada pada pekerja sosial sesuai dengan gugusnya masing-masing. Para pekerja sosial tersebut masing-masing berada pada gugus penyandang disabilitas, anak, lanjut usia, tunasosial, serta penyalahgunaan narkotika psikotropika dan zat adiktif.
”Diharapkan, yang dilayani dan dikonseling cepat mandiri sehingga bisa digraduasi,” katanya.
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu dalam keterangan tertulisnya mengatakan, SDM yang unggul lahir dari ibu yang sehat secara mental, fisik, dan sosial. Kemen PPPA akan berupaya mewujudkan kesetaraan jender demi kesehatan ibu.
”Diharapkan bayi yang lahir terbebas dari tengkes, dan ketika tumbuh mereka terpenuhi hak-haknya,” katanya.
Berdasarkan survei Pengalaman Hidup Perempuan 2016, sebanyak 33,3 persen perempuan usia 15-64 mengalami kekerasan fisik dan seksual. Angka tersebut setara dengan 33,2 juta perempuan di Indonesia.