Kerja Sunyi Mendur Bersaudara Mengabadikan Perjuangan Kemerdekaan
Catatan sejarah peristiwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak bisa lepas dari gambaran monokrom Soekarno membaca naskah proklamasi di depan sebuah mikrofon. Mohammad Hatta berdiri di sisi kirinya, seorang penjaga di sisi kanannya, dan beberapa orang lainnya di latar belakang.
Adalah Frans Soemarto Mendur (1913-1971) yang mengabadikan momen pada Jumat pagi itu dengan kamera Leica. Ia pemuda asal Talikuran, Kawangkoan Utara, Minahasa, Sulawesi Utara.
Semua bermula dari menyerahnya Jepang kepada Sekutu pasca-Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak dijatuhi bom atom. Kamis, 16 Agustus 1945, malam, Frans, wartawan foto Asia Raya, mendapat kabar dari seorang wartawan Jepang bahwa Bung Karno akan memproklamasikan kemerdekaan RI di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Kabar rencana proklamasi itu juga didengar kakak Frans, Alexius Impurung Mendur (1907-1984), yang menjabat kepala bagian foto kantor berita Domei. ”Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Alex bergegas menuju Pegangsaan Timur 56 bersama Frans. Mereka sembunyi-sembunyi menenteng kamera agar tidak ketahuan tentara Jepang”, tulis Wiwi Kuswiah (1986).
Momen yang ditunggu pun tiba. Pukul 10.00 WIB, Soekarno mengeluarkan secarik kertas, lalu membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Susulan pekik ”Merdeka!” membahana. Dengan kamera masing-masing, Mendur bersaudara mengabadikan momen itu, begitu pula pengibaran Sang Merah Putih oleh mantan tentara Pembela Tanah Air (Peta), Latief Hendraningrat.
Sayangnya, dalam perjalanan pulang, kamera Alex dirampas tentara Jepang, kemudian rol filmnya dimusnahkan. Sebaliknya, Frans yang berhasil lolos ke kantornya segera bersiasat.
”Frans memasukkan rol film ke kotak mentega, lalu menguburnya di tanah selama tiga hari. Setelah diambil, foto proklamasi diproses dan diterbitkan pertama kali oleh Harian Merdeka,” kata Pierre Mendur (53), cucu dari Bernard Mendur, anak ketiga dari 10 Mendur bersaudara, Kamis (15/8/2019). Foto itu baru diterbitkan antara 19 dan 20 Februari 1946 karena sensor Pemerintah Jepang. Sejak itu, hasil jepretan Frans menjadi satu-satunya rujukan untuk mengenang peristiwa proklamasi kemerdekaan RI.
Jasa Mendur bersaudara mengabadikan semangat kemerdekaan pun dikenang dengan pendirian Tugu Pers Mendur di kampung halaman mereka, Talikuran. Pierre-lah yang kini merawat tugu dan museum pers itu. Perjalanan menjadi fotografer dimulai Alex, anak sulung dari 10 bersaudara. Pierre mengisahkan, Alex yang lulusan sekolah rakyat, setara SD, ingin bekerja demi menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya. Kepulangan kerabatnya, Anton Najoan, dari Jawa membukakan pintu gerbang ke dunia fotografi dan jurnalisme.
Anton bekerja di toko kamera sehingga dirinya bisa mengajari Alex. Setelah ikut pergi ke Jakarta dan belajar foto dari Anton, Alex bekerja di beberapa perusahaan fotografi. Ia baru menjadi jurnalis foto waktu usia 25 tahun di harian De Java Bode, lalu diangkat menjadi kepala bagian foto di Domei.
Perjalanan Frans, anak keempat, lebih unik. Pada usia 14 tahun, Frans remaja dipukul orangtuanya karena bandel. Ia lantas minggat dari rumah di Kawangkoan, berjalan kaki sejauh 50 kilometer ke Manado dan Bitung. Dari sana, ia naik kapal ke Makassar, lalu ke Surabaya. Di Pelabuhan Tanjung Perak, dia ditemukan seorang pedagang bernama Soemarto dan diangkat sebagai anak.
Setahun kemudian, Alex baru mendengar keberadaan adiknya di Surabaya. Ia menjemputnya, lalu mengajarinya fotografi pula. Frans dengan baik menerima ilmu dari kakaknya, kemudian mengikuti jejaknya menjadi jurnalis foto dengan bekerja di harian Asia Raya.
Titik balik
Foto pembacaan proklamasi oleh Soekarno menjadi titik balik karier Mendur bersaudara. Alex dan Frans seolah selalu berada di sekitar Soekarno, baik di Jakarta maupun Yogyakarta, pada masa-masa mempertahankan kemerdekaan.
Berbagai foto ikonik juga dihasilkan keduanya. Sebut saja kedatangan Soekarno ke Lapangan Ikada untuk menggelar rapat raksasa, 19 September 1945. Soekarno tampak berpidato di atas sebuah panggung di depan ribuan orang yang mengelilinginya. Foto Kongres Pemuda Pertama, 10 November 1945, di Yogyakarta juga diabadikan ”Duo Mendur”.
Foto ikonik lain yang dilahirkan Mendur bersaudara adalah ketika Soekarno memeluk Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat Jenderal Soedirman di Istana Presiden Yogyakarta, 10 Juli 1949. ”Foto yang ada sekarang itu diambil tiga kali. Saat itu, kemampuan kamera di ruangan masih rendah, sedangkan ruang istana saat itu gelap, jadi Soekarno minta adegannya diulangi,” kata Pierre.
Saat ini, sekitar 120 foto dipajang di museum Tugu Pers Mendur di Talikuran, mulai dari rapat 18-19 Agustus 1945 untuk menentukan tatanan pemimpin negara, perang Agresi Militer Belanda I dan II, hingga perundingan Perjanjian Renville, Linggarjati, dan Konferensi Meja Bundar.
Sayang, tidak jelas siapa saja yang memotret berbagai peristiwa itu. Pierre mengatakan, foto-foto di lingkungan istana, seperti ketika Megawati Soekarnoputri masih bayi, adalah karya Mendur bersaudara. Namun, hak cipta semua foto di museum milik Indonesian Press Photo Service (IPPHOS).
Mendur bersaudara sudah hampir identik dengan IPPHOS yang mereka dirikan bersama Justus dan Frans ”Nyong” Umbas, sesama fotografer dari Minahasa. Saat itu, Mendur bersaudara melihat adanya peluang mendapatkan untung dari foto-foto mereka di masa mempertahankan kemerdekaan.
”Saat itu, Domei diambil alih oleh negara hingga kini menjadi kantor berita Antara. Nah, IPPHOS ini ingin dibuat independen, tidak terikat dengan negara sehingga bisa menjual foto-foto mereka ke media di luar negeri,” kata Pierre.
Pierre sempat bekerja di IPPHOS pada 1992-2002. Sayangnya, IPPHOS tidak bisa bertahan karena kekurangan dana. Saat media lain sudah menggunakan kamera otomatis dan peralatan digital, peralatan IPPHOS ketinggalan zaman.
Hak cipta foto-foto IPPHOS kini dipegang Antara. Sebagian menjadi arsip Galeri Foto Jurnalistik Antara Makassar, Sulawesi Selatan. Menjelang peringatan kemerdekaan ke-74 RI, pameran bertajuk ”Jalan Terjal Kedaulatan” digelar di Benteng Rotterdam, Makassar.
Ketua panitia pameran Adwitya Pramono, yang juga fotografer Antara, mengatakan, mayoritas foto yang dipamerkan karya Mendur dan Umbas bersaudara serta rekan-rekannya. Namun, sulit mengetahui individu yang memotretnya. ”Saat itu, fasilitas IPPHOS sangat minimalis. Pemahaman soal pengarsipan yang baik juga masih rendah sehingga sulit mengetahui mana karya Mendur bersaudara,” katanya ketika dihubungi dari Manado.
Kurang diperhatikan
Saat ini, foto pembacaan proklamasi, pengibaran bendera, serta tulisan tangan Soekarno di teks proklamasi selalu dipajang di mana-mana, termasuk di diorama Monumen Nasional Jakarta. Namun, tidak pernah ditulis bahwa Frans Mendur-lah sang empunya foto-foto itu.
Menurut Pierre, pemerintah kurang memperhatikan jasa Mendur bersaudara. Baru pada 2009 dan 2010 keduanya dianugerahi penghargaan Bintang Jasa Utama dan Bintang Mahaputra Nararya sebagai jurnalis foto di masa revolusi.
Pada 2013, Tugu Mendur Bersaudara dan museum foto diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, tugu dan museum yang didirikan di tanah keluarga Mendur itu kini tak terawat. Kayu-kayu bangunan mulai keropos, foto-foto semakin pudar.
Oleh karena tanah milik pribadi, museum itu pun menjadi tanggung jawab keluarga Mendur. Nasibnya selalu dirapatkan saat rukun keluarga digelar. Sayang, tidak banyak yang mau berkontribusi merawat.
Kini, museum itu sepi, malah menjadi tempat tinggal lima tukang bangunan. Satu pengunjung datang dalam sebulan adalah keajaiban. ”Pemerintah pun tidak ada perhatian, tidak memberikan bantuan,” kata Pierre.