Data penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur sejak empat tahun terakhir belum diperbarui. Pihak Badan Pusat Statistik NTT masih menggunakan data terakhir 2015. Ini diduga turut berpengaruh terhadap hak-hak warga miskin yang harus mereka terima. Ribuan kepala keluarga miskin di perbatasan RI-Timor Leste dan NTT secara keseluruhan mengelukan sejumlah bantuan pemerintah yang salah sasaran. BPS harus melakukan pemutahiran data kependudukan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Data penduduk miskin di Nusa Tenggara Timur sejak empat tahun terakhir belum diperbarui. Badan Pusat Statistik NTT masih menggunakan data terakhir 2015.
Hal ini diduga turut berpengaruh terhadap hak-hak warga miskin yang harus mereka terima. Ribuan kepala keluarga miskin di perbatasan Indonesia-Timor Leste dan NTT secara keseluruhan mengeluhkan sejumlah bantuan pemerintah yang salah sasaran. Badan Pusat Statistik (BPS) harus melakukan pemutakhiran data kependudukan.
Kepala Seksi Diseminasi dan Layanan Statistik Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur (NTT) Indra Achmat Sofyan di Kupang, Senin (19/8/2019), mengatakan, pemutakhiran data kependudukan termasuk warga miskin di NTT terakhir dilakukan tahun 2015. Pemutakhiran data dilakukan sesuai amanat Presiden.
”Sudah empat tahun data kependudukan termasuk warga miskin dan sekitarnya belum dilakukan pemutakhiran. Jika tidak ada, kita tetap berpatokan pada data resmi yang dilakukan 2015,” kata Indra.
Tahun 2015 dilakukan proses penjaringan nama-nama rumah tangga miskin dengan melibatkan Forum Konsultasi Publik yang beranggotakan kepala desa, ketua RT, RW, dan kepala dusun. Forum ini menentukan siapa-siapa di dalam desa itu yang masuk kategori miskin, dan diberikan data sementara.
Terhadap data sementara ini, kemudian dilakukan pengecekan langsung di lapangan oleh petugas BPS dan aparat desa setempat. Jangan sampai ada yang mendadak berpindah tempat, meninggal dunia, salah nama, tidak layak masuk kategori miskin.
Sudah empat tahun data kependudukan termasuk warga miskin dan sekitarnya belum dilakukan pemutakhiran. Jika tidak ada, kita tetap berpatokan pada data resmi yang dilakukan 2015.
Meski demikian, data sementara ini juga berpatokan pada data hasil survei kemiskinan 2011-2014. Data itu digunakan sebagai pegangan untuk pengecekan atau pemutahiran data 2015. Hasil pemutahiran itu dikirim ke BPS Pusat kemudian didistribusikan ke setiap kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan.
”Jika ada warga miskin di perbatasan RI-Timor Leste yang tidak mendapatkan beras untuk orang miskin, tidak memiliki kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan dana Perkumpulan Keluarga Harapan, dan jenis bantuan lain, itu di luar kemampuan kami. Memang ada mitra BPS yang melakukan pemantauan di lapangan, tetapi hasil pantauan itu perlu dicek langsung lagi. Pengecekan dan pemutakhiran harus ada semacam amanat dari Presiden,” kata Indra.
Mereka menempatkan rekanan BPS di setiap kecamatan. Hanya laporan dari lapangan, tetapi data terbaru dari lapangan tidak bisa disesuaikan begitu saja karena harus ada kekuatan hukum dari data untuk mengubahnya. Ini terkait kebijakan sejumlah kementerian terhadap warga miskin. Suatu data resmi negara tidak asal mengubah dan dikurangi setiap saat.
Ia mengatakan, sampai Maret 2019, jumlah warga miskin di NTT sebanyak 1.218.562 jiwa. Kemiskinan ini sebagian besar disebabkan gagal panen akibat kekeringan.
Ketua RT 026 RW 001 Dusun Wewanaki, Kampung Jokowi, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, NTT Fransisco Antonio (59) mengatakan, jumlah warga Dusun Wewanahi sebanyak 171 keluarga atau 650 warga dengan mata pencarian sebagai petani lahan kering, nelayan, dan buruh di Pos Lintas Batas Negara Motaain-Batu Gade, dan ojek konvensional.
Jumlah warga miskin di dusun ini 152 keluarga. Namun, yang berhak mendapatkan beras miskin, dana perkumpulan keluarga harapan (PKH), Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar, dan bantuan langsung tunai mencapai 46 keluarga. Sebanyak 106 keluarga tidak mendapatkan bantuan sosial, atau mendapat bantuan sosial tetapi tidak diberikan secara lengkap.
Meski demikian, ada di antara penerima bantuan itu tidak sesuai status sebagai orang miskin, yakni pedagang, PNS, aparat desa, TNI, dan Polri. Sementara warga miskin yang seharusnya berhak mendapatkan bantuan tidak sama sekali. Ini sangat disayangkan. Mengapa dalam era keterbukaan dan teknologi digital begitu kuat masih ada warga miskin yang tidak terpantau BPS.
”Kami dapat data dari Pemkab Belu seperti itu. Kami tidak bisa mengubah data warga penerima bantuan di lapangan. Siapa-siapa yang sudah tertera di dalam kertas kami realisasikan. Soal jumlah warga miskin kami sudah lapor ke Pemkab Belu dalam hal ini Dinas Sosial,” ujar Fransisco.
Hal serupa disampaikan Kepala Desa Manusak, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Arthur Ximenes. Ia mengatakan, jumlah keluarga miskin 219 orang dari total 325 keluarga. Namun, dari 219 keluarga miskin ini, sebanyak 130 keluarga mendapatkan bantuan dan 89 keluarga tidak dapat sama sekali.
Tidak turun ke lapangan
Ia mengatakan, masalah utama mengenai data warga miskin ini ada di BPS NTT. Mereka tidak pernah turun ke lapangan melakukan pendataan, tetapi secara sepihak melakukan analisa data lama, kemudian melaporkan data itu ke pusat.
”Kapan BPS turun ke desa ini melakukan pemutakhiran data warga miskin. Saya jadi kepala desa memasuki periode kedua, atau tahun ke tujuh ini, tetapi belum ada staf BPS datang untuk itu,” katanya.
Kami dapat data dari Pemkab Belu seperti itu. Kami tidak bisa mengubah data warga penerima bantuan di lapangan. Siapa-siapa yang sudah tertera di dalam kertas kami realisasikan. Soal jumlah warga miskin kami sudah lapor ke Pemkab Belu dalam hal ini dinas sosial.
Ketua Komisi III DPRD NTT Hugo Rehi Kalembu mengatakan, meski pemutakhiran data dilakukan BPS sejak 2015, perubahan yang terjadi di lapangan mestinya ketua RT dan kepala desa melaporkan ke camat atau dinas sosial setempat. Ada kepala desa atau ketua RT yang membiarkan masalah itu terjadi di lapangan karena warga miskin yang tidak terdata itu bukan anggota keluarga atau anggota suku mereka.
”Kami menemukan banyak kasus seperti itu di lapangan. Warga miskin mengadu, mereka tidak dapat beras miskin, dana BLT, KIP, KIS, dan dana PKH. Tetapi, ada pemilik kios, guru, dan PNS yang dapat bantuan itu,” kata Kalembu.
Ia mendorong BPS agar segera melakukan pemutahiran data warga miskin di NTT. Jika pemutahiran itu ada ketentuan hukum, BPS harus melaporkan ke pemerintah pusat sehingga segera dikeluarkan aturan pemutahiran itu.