Sengketa wilayah maritim di Laut China Selatan yang semakin panas memerlukan intervensi untuk meredamnya. Salah satunya, ASEAN dapat mendorong investasi demi meningkatkan stabilitas di kawasan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sengketa wilayah maritim di Laut China Selatan yang semakin panas memerlukan intervensi untuk meredamnya. Salah satunya, ASEAN dapat mendorong investasi demi meningkatkan stabilitas di kawasan.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono, di Jakarta, Senin (19/8/2019), mengatakan, penanganan sengketa di Laut China Selatan (LCS) tidak hanya membutuhkan intervensi legal dan politik. Negara-negara di kawasan juga perlu melakukan pendekatan bisnis.
”Selain membuat LCS semakin terbuka, semua negara juga akan menjadi saling bergantung, memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan di kawasan tersebut. Negara-negara akan memiliki self-control mechanism dalam bersikap,” ujar Siswo.
Berdasarkan ASEAN Investment Report 2017, ASEAN memiliki lebih dari 1.600 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Mayoritas jenis KEK di ASEAN adalah industrial park. Keberadaan KEK telah membantu pertumbuhan investasi, pengembangan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi di kawasan.
Menurut Siswo, KEK di kawasan LCS tumbuh signifikan selama 10 tahun ini. Di Vietnam, misalnya, 30 kawasan industri telah dibangun sepanjang pantai bagian timur. Investor tersebut berasal dari sejumlah negara, termasuk Singapura dan Jepang.
Siswo melanjutkan, optimisme pelaku usaha muncul mengingat kawasan ASEAN tidak mengalami perang selama 50 tahun. Ditambah lagi, ASEAN telah mengadopsi Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik dan ASEAN-China tengah menyusun Kode Tata Perilaku (COC) di LCS.
Oleh karena itu, Indonesia akan berinisiatif untuk mendorong negara-negara lain berinvestasi di ASEAN, terutama Uni Eropa. ASEAN mencatat, investor terbesar di luar ASEAN pada 2018 adalah Jepang (13,2 miliar dollar AS), China (11,3 miliar dollar AS), Belanda (10,7 miliar dollar AS), Hong Kong (7,8 miliar dollar AS), dan Irlandia (5,8 miliar dollar AS).
Secara terpisah, Global Head, Commercial Banking Standard Chartered Jiten Arora, dalam CEO Connect: Exploring ASEAN Opportunities, mengatakan, industri yang berpotensi besar dikembangkan di ASEAN adalah manufaktur, ritel dan konsumen, serta infrastruktur. ”ASEAN diproyeksikan menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia senilai 4 triliun dollar AS pada 2023,” ujarnya.
Isu LCS merupakan salah satu perhatian utama ASEAN karena empat negara anggotanya, yakni Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, terlibat sengketa dengan China dan Taiwan. China mengklaim sebagian besar LCS sebagai wilayahnya dengan merilis gambar sembilan garis putus-putus (nine dash line) di kawasan.
Dalam berbagai pertemuan, ASEAN telah menyepakati pentingnya sikap menahan diri dalam menghadapi isu LCS. Akan tetapi, insiden di kawasan terus terjadi. Pada awal Agustus, Filipina mengajukan protes diplomatik kepada China atas kehadiran dua kapal riset China di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Filipina.
Hukum internasional
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu Damos Dumoli Agusman menambahkan, pengadopsian Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik akan memuluskan upaya penanganan sengketa di LCS. Dalam panduan ini, ASEAN menyatakan menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982.
”Pandangan itu akan menjadi pelumas bagi negara-negara dalam menyikapi penyusunan COC dan dinamika di LCS. Klarifikasi klaim sesuai UNCLOS akan sesuai prosedur dan memarginalkan negara dengan klaim tanpa landasan,” kata Damos.
Damos melanjutkan, Indonesia tidak bisa mendesak negara lain untuk melakukan klaim berdasarkan UNCLOS 1982. Namun, Indonesia dapat menjadi contoh bahwa klaim berbasis hukum internasional lebih efektif dalam penanganan sengketa perbatasan.
Indonesia pernah terlibat dalam sengketa perbatasan dengan China di perairan Natuna pada 2016. Tetapi, Indonesia bertindak tegas menggunakan UNCLOS 1982 sebagai basis hukum. Sejak itu, insiden antara kedua negara relatif minim.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Evan A Laksmana menambahkan, selain menjadi contoh, Indonesia sebagai pemimpin tradisional ASEAN perlu mampu mendorong negosiasi Kode Tata Perilaku LCS berjalan lebih cepat. ”Kelambatan negosiasi harus diatasi untuk mengatasi kecepatan krisis yang tumbuh di kawasan,” ujarnya.