Saat Langkah Awal Pemindahan Ibu Kota Telah Diambil...
”Pada kesempatan yang bersejarah ini, dengan memohon rida Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh, dan para tokoh bangsa, terutama seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan”.
Kalimat itu menjadi penutup pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam sidang bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019). Di hadapan anggota DPR dan DPD, serta para tokoh bangsa, Presiden meminta izin memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan.
Upaya mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi menjadi salah satu pertimbangan ibu kota negara perlu dipindahkan. ”Ini demi visi Indonesia Maju, Indonesia yang hidup selama-lamanya,” kata Presiden.
Jokowi memang belum menyebut secara rinci lokasi ibu kota negara yang baru. Namun, pernyataan pada 16 Agustus lalu menunjukkan bahwa pemindahan pusat pemerintahan bukan sekadar wacana. Pemerintah sungguh-sungguh menyiapkan ibu kota negara yang baru.
Tak hanya memerintahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan kajian, Presiden juga turun langsung meninjau sejumlah lokasi calon ibu kota negara yang baru. Salah satunya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur, yang dikunjungi pada 7 Mei lalu. Sehari kemudian, giliran Bukit Nyuling di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang ditinjau.
Presiden menilai, jika ibu kota negara dipindah ke Bukit Soeharto, banyak biaya yang bisa dihemat. Pasalnya, fasilitas penunjang, seperti bandar udara dan jalan tol, sudah tersedia. Sementara Kalimantan Tengah dinilai paling siap jika dilihat dari sisi ketersediaan lahan.
Rencana waktu pemindahan ibu kota negara pun sudah dirancang. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menyampaikan, tahun 2020 memasuki tahap persiapan. Selain menetapkan lokasi definitif, pemerintah juga akan menyelesaikan undang- undang sebagai payung hukum pemindahan ibu kota negara. Penyusunan rencana induk serta desain perkotaan juga menjadi fokus pada 2020. Alokasi anggarannya dari anggaran Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
”Tahun 2021, full konstruksi, dan 2024 kami harapkan pemindahan tahap pertama sudah berlangsung,” ujar Bambang.
Oleh karena masih tahap perencanaan, pemerintah belum mengalokasikan anggaran pemindahan ibu kota negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kebutuhan anggaran untuk tahap awal pemindahan tidak besar. Ini membuat anggaran pembangunan awal di daerah calon ibu kota baru dilakukan melalui mekanisme program prioritas nasional.
Menurut Bambang, investasi untuk pemindahan ibu kota negara dari 2020 hingga 2024 sebesar Rp 485 triliun. Direncanakan, APBN hanya akan mendanai sekitar Rp 93 triliun. Sumber pendanaan APBN sendiri berasal dari hasil pemanfaatan aset pemerintah, baik aset yang berada di Jakarta maupun di ibu kota negara baru.
Kajian masih mentah
Izin pemindahan ibu kota negara itu ditanggapi beragam di kompleks parlemen. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, misalnya, menilai pemindahan ibu kota adalah kebutuhan karena kondisi Jakarta sudah tidak kondusif untuk dipertahankan sebagai pusat pemerintahan.
Namun, pemindahan ibu kota tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Pemindahan itu butuh kajian mendalam dari segi kesiapan anggaran, sumber daya manusia, hingga infrastruktur.
Fadli menilai, kajian yang dilakukan pemerintah masih terlalu mentah dan terkesan terburu-buru. Menurut dia, ada banyak aspek yang perlu diperhatikan, khususnya terkait anggaran dan waktu yang akan terpakai untuk merealisasikan rencana besar itu. ”Kalau kami pelajari di negara lain, mereka merancang dengan waktu yang cukup lama, rancangan waktunya jelas, sehingga bukan sekadar statement. Walau gagasan ini bukan baru, harus dilihat juga kondisi ekonomi kita sekarang. Apa yang mau jadi prioritas kita?” tuturnya.
Penilaian senada disampaikan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Menurut dia, belum relevan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Jakarta sebagai ibu kota memiliki nilai sejarah tinggi. ”Jakarta itu dibuat oleh Bung Karno dan didesain sebagai ibu kota. Terlalu bersejarah dan banyak sekali hal yang tidak dapat ditinggalkan dari kota ini,” katanya.
Fahri lebih setuju apabila ekstensi ibu kota yang dulu pernah dirancang Soeharto, yaitu perluasan ke arah Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bisa diteruskan atau dipertimbangkan dengan menggeser ke pesisir Jakarta.
”Sebaiknya dipindahkan saja ke Teluk Jakarta, karena itu merepresentasikan tradisi maritim. Kalau dipindahkan ke pulau besar, nanti tradisi maritimnya hilang,” katanya.
Tak jamin pemerataan
Pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan tidak serta-merta akan menjamin pemerataan pembangunan dan kesejahteraan ke kawasan timur Indonesia. Hal yang mendasar untuk mewujudkan pemerataan adalah adanya instrumen kebijakan di bidang otonomi daerah, desentralisasi ekonomi, dan investasi.
”Saya sangat mendukung pemindahan ibu kota negara ke daerah timur. Tapi, pemindahan ke Kalimantan tidak lalu serta-merta menjamin pemerataan pembangunan untuk kawasan Indonesia timur,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng.
Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan, menurut Endi, akan memberikan dampak ekonomi secara langsung ke daerah di sekitar lokasi ibu kota yang baru. Namun, dampak serupa tidak otomatis didapat untuk Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan pulau-pulau lain di kawasan timur Indonesia.
”Di mana pun ibu kota negaranya, kalau untuk pemerataan pembangunan, sebenarnya yang paling penting adalah instrumen kebijakannya, yaitu kebijakan otonomi daerah, desentralisasi fiskal, dan kebijakan investasi,” kata Endi.
Selama ini, Pulau Jawa menyumbang 58-60 persen dari total produk domestik bruto nasional. Adapun Sumatera menyumbang 21-22 persen. Sementara kawasan tengah dan timur hanya menyumbang sisanya, yaitu 21 persen.
Sebenarnya wacana penetapan ibu kota negara di luar Jakarta muncul sejak lama. Sebelas tahun setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno sempat melirik Palangkaraya, Kalimantan Tengah, untuk jadi ibu kota negara. Saat itu, kebetulan Pemerintah Indonesia belum menetapkan ibu kota negara. DKI Jakarta baru ditetapkan menjadi ibu kota negara melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara RI.
Presiden Soekarno, bahkan, sudah memancangkan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya pada 1957.
Rencana pemindahan ibu kota negara kembali muncul pada 1990-an. Saat itu, Presiden Soeharto memilih Jonggol, Kabupaten Bogor.
Sementara di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada wacana memperluas Jakarta sebagai ibu kota hingga ke Sukabumi dan Purwakarta.
Kini, pemerintahan Presiden Jokowi melirik Kalimantan untuk dijadikan ibu kota negara baru. Izin pemindahan ibu kota negara disampaikan secara luas kepada seluruh rakyat, tepat satu hari sebelum peringatan 74 tahun kemerdekaan Indonesia. Langkah pertama memang sudah berhasil ditempuh. Akan tetapi, masih banyak langkah lagi yang harus ditempuh menuju ibu kota negara baru.