Suraidah Mendidik Anak-anak TKI di Perbatasan Malaysia
Bermula dari sebuah gudang tua pinjaman, Suraidah (65) mengumpulkan anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perbatasan Indonesia-Malaysia untuk belajar. Ia ingin anak-anak itu memiliki waktu bermain, bermimpi sepuasnya, dan belajar tanpa membebani orangtua yang penghasilannya pas-pasan.
Bermula dari sebuah gudang tua pinjaman, Suraidah (65) mengumpulkan anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perbatasan Indonesia-Malaysia untuk belajar. Ia ingin anak-anak itu memiliki waktu bermain, bermimpi sepuasnya, dan belajar tanpa membebani orangtua yang penghasilannya pas-pasan.
Bulan Juli 2012, Suraidah yang sehari-hari bekerja sebagai bidan memutuskan membuka pendidikan anak usia dini di Kecamatan Sebatik Tengah, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang berbatasan darat dan laut dengan Malaysia. Ia menggunakan gudang sembako tak terpakai milik salah satu warga untuk mengumpulkan anak-anak belajar mengaji.
Setelah mengajar, ia berbincang dengan 10 anak didiknya. Ia tercekat saat ia tahu salah satu anak didiknya berasal dari Kampung Bergosong, sebuah kampung yang berada di Pulau Sebatik bagian Malaysia. Akses dari Sebatik Tengah hingga ke Kampung Bergosong berkisar dua hingga tiga jam berjalan kaki, melewati perkebunan sawit.
Rupanya bocah itu anak salah seorang pekerja asal Indonesia di perkebunan sawit Malaysia. Suraidah bertanya kepada bocah itu, ”Apakah di sana banyak juga anak-anak yang tidak sekolah?” Sang bocah menjawab, ”Banyak.”
Dari informasi sederhana itu, Suraidah terdorong untuk mengunjungi kampung itu. Ia pun meminta bantuan Pemerintah Kecamatan Sebatik Tengah agar membantunya mengunjungi kampung bocah itu. Ia ingin melihat sendiri bagaimana kehidupan anak-anak di sana. Ia ingin berbincang langsung dengan para orangtua, apakah hak anak-anak mereka untuk memperoleh pendidikan sudah terpenuhi.
Pulau Sebatik berada di ujung Pulau Kalimantan. Wilayahnya terbagi dua, yakni sisi utara menjadi wilayah milik Malaysia, sisi selatan masuk teritori Indonesia. Pulau Sebatik yang berada di wilayah Malaysia didominasi oleh perkebunan kelapa sawit. Banyak warga Indonesai bekerja di sana sebagai buruh cucuk sawit.
Camat Sebatik Tengah kala itu memberi tahu bahwa urusan lintas negara tak bisa diurusi langsung oleh camat. Ia mesti juga berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
Suraidah tak ingin menunggu lama. Ia kemudian memutuskan menyeberang ke Tawau, Malaysia, untuk bertemu Konsulat Republik Indonesia. Tawau bisa ditempuh dari Sebatik menggunakan perahu bermotor sekitar 15 menit.
Di sana, Suraidah menjelaskan maksud dan tujuannya. Ia juga membawa beberapa dokumentasi kegiatan belajar-mengajar anak-anak yang sudah ia asuh. Dari sana, ia dibekali surat pengantar oleh konsulat sebagai pegangan jika ada polisi Malaysia yang menanyakan maksud dan tujuannya.
Setelah mendapat surat itu, ia bersama tim penggerak pemberdayaan kesejahteraan Desa Sungai Limau dan Camat Sebatik Tengah akhirnya menyusuri perkebunan sawit di Pulau Sebatik bagian Malaysia. Di sana, ia mendapati banyak warga Indonesia yang memiliki anak usia belasan tahun, tetapi putus sekolah. Ada juga anak-anak usia sekolah dasar yang tidak bersekolah.
Anak-anak itu terancam dalam lingkaran sempit dunia buruh sawit di sana jika besar kelak. Suraidah menawarkan diri kepada para orangtua untuk mengasuhkan dan mendidik anak-anak mereka selama hari sekolah. Semuanya tanpa biaya. Ia juga berkoordinasi dengan mandor sawit di sana.
”Sambutan masyarakat cukup baik, tetapi beberapa kurang percaya. Tahun 2014, ada sepuluh anak usia PAUD yang saya asuh bersama dua orang guru,” kata Suraidah saat ditemui di Dusun Berjoko, Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kamis (15/8/2019).
Gudang sembako di bagian bawah rumah panggung ia sulap menjadi tempat bermain dan belajar sederhana. Lantai atas ia jadikan tempat tinggal bersama dua orang guru dan murid-muridnya. Biaya konsumsi dan biaya pendidikan anak-anak dibantu oleh Yayasan Dompet Dhuafa Kalimantan Timur.
Setiap akhir pekan, orangtua anak-anak itu menjemputnya pulang. Setiap Senin, anak-anak itu kembali lagi ke PAUD binaan Suraidah, yang juga dikenal sebagai Sekolah Tapal Batas, sebab posisinya benar-benar di perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Sebatik.
Selain menjadi tempat pendidikan, Sekolah Tapal Batas juga menjadi fasilitator bagi pekerja sawit di Malaysia yang belum memiliki dokumen kependudukan anak-anaknya. Beberapa orangtua juga belum memiliki dokumen-dokumen itu. Di Sekolah Tapal Batas, Suraidah menjadi penghubung bagi orang-orang itu dengan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Nunukan untuk pengurusan dokumen kependudukan.
Kegelisahan Suraidah tak selesai. Ia takut anak didiknya tak melanjutkan sekolah setelah selesai PAUD. Pasalnya, tak ada sekolah khusus anak-anak TKI di sana. Akhirnya, ia mendirikan madrasah ibtidaiyah (MI) atau sekolah Islam setara sekolah dasar. Ia mendapat kemudahan untuk izin operasional dari Kementerian Agama karena kiprahnya sudah ditulis oleh beberapa media dan diketahui pemangku kebijakan provinsi.
Awal 2015, sebanyak 100 siswa PAUD dan MI ia didik. Semuanya anak-anak TKI yang bekerja di perkebunan sawit Malaysia. Para orangtua mulai percaya menitipkan anaknya kepada Suraidah karena beberapa anak PAUD sudah lulus dan mendapat ijazah.
Anak-anak bersekolah tanpa seragam. Saat itu, Suraidah berpikir, yang terpenting anak-anak bisa belajar, bermain, dan mendapat pengawasan. Namun, hal itu membuat anak didiknya diejek oleh beberapa anak di sekolah lain. Anak didiknya menangis karena malu dan mengadu kepada Suraidah, yang akrab dipanggil Ummi oleh anak didiknya. Sambil melanjutkan cerita, air mata Suraidah menetes. Suaranya terisak. Saat itu, Suraidah hanya berdoa, sebab anggaran untuk seragam tak dia miliki.
Para tentara yang menjaga di perbatasan Indonesia dan Malaysia juga membantu pembenahan dan pengecatan sekolah.
Pada 2015, bantuan berdatangan dari berbagai instansi dan perseorangan. Pertamina EP Tarakan Field membantu seragam dan sepatu anak-anak, peralatan penunjang pendidikan, dan akses air. Sekolah Tapal Batas juga mendapat hibah tanah dari salah satu dermawan di Sebatik Tengah. BNI memberikan bantuan berupa bangunan. PT Sago Prima Pratama memberi pembangkit listrik tenaga surya.
”Para tentara yang menjaga di perbatasan Indonesia dan Malaysia juga membantu pembenahan dan pengecatan sekolah. Mereka juga memiliki jadwal mengajar bela negara. Banyak mahasiswa dari beberapa universitas juga mengajar di sini,” kata Suraidah.
Suraidah amat bersyukur hak anak didiknya bersekolah dengan laik semakin terpenuhi. Kini, Sekolah Tapal Batas sudah memiliki asrama siswa, perpustakaan, masjid, ruang kelas, dan kantor pengajar. Beberapa bangunannya masih berupa kayu. Sekolah Tapal Batas juga mendapat bantuan berupa sarang burung walet untuk dikelola agar mandiri secara ekonomi.
Di tanah hibah seluas 1,3 hektar di antara perkebunan sawit, Suraidah setiap hari mengurusi berbagai kebutuhan anak didiknya dibantu enam pengajar. Mereka tidur di asrama bersama para siswa. Mereka melihat perkembangan dan pertumbuhan anak didiknya selama di sekolah, sebelum pulang ke tempat kerja orangtua di akhir pekan.
”Saya hanya berharap rida Allah SWT. Semoga anak didik saya menjadi kebanggaan orangtua mereka, apa pun profesinya. Kalau bisa, mereka berkembang dan mengembangkan diri di Indonesia,” katanya sambil memandang salah satu sudut Sekolah Tapal Batas di Jalan Sinta Kampung Quran RT 014 Dusun Berjoko, Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Suraidah
Lahir: Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 2 Desember 1954
Pendidikan:
- Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (lulus 1990)
- Magister Fakultas Keperawatan Prince of Songkla University Thailand (1998-2000)
Penghargaan:
- 72 Ikon Berprestasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila 2018
- Guru Berprestasi Kalimantan Utara 2017