Selasa siang, awal April 1969, Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin meletakkan batu pertama pembangunan Terminal Bus Grogol, Jakarta. Ini bagian dari persiapan menampung 500 bus baru yang akan datang secara bertahap. Secara perlahan akan ditertibkan operasionalisasi bus-bus yang sudah ada, termasuk pemberlakuan sistem satu rute untuk satu perusahaan bus. Tiap-tiap rute bus akan diberi warna berlainan.
Gubernur juga menganjurkan perusahaan yang hanya punya satu-dua bus untuk bergabung agar kapasitas rute bus terpenuhi. Terminal Grogol akan melayani empat jurusan, yaitu dari Lapangan Banteng, Cawang, Kota, dan Tangerang.
Kapasitas terminal itu untuk 80 bus dan 40 opelet. Selain itu, dilengkapi pula kantor, pertamanan, dan pangkalan becak. Keberadaannya dinilai ”merapikan” kesemrawutan pangkalan liar opelet dan kendaraan sewa lain yang kerap mangkal di sekitar Roxy.
Pada pertengahan Mei 1976, Terminal Grogol diperluas untuk bisa melayani bus antarkota dari arah barat, seperti Tangerang, Serang, dan Banten. Sementara bus dari timur, seperti Bekasi, Karawang, Jabar, Jateng, dan Jatim, yang lewat jalan utara, harus masuk ke Terminal Bus Pulogadung.
Pembangunan terminal bus antarkota di Cililitan, Grogol, dan Pulogadung membawa manfaat kelancaran lalu lintas Jakarta karena bus antarkota dilarang melintasi jalan-jalan di dalam kota. Peresmian Terminal Bus Grogol pada 15 Mei 1976 dimeriahkan hiburan musik.
Pesatnya perkembangan Jakarta memaksa pemindahan Terminal Grogol. Tak cuma karena kepadatan lalu lintas di sekitar terminal dan daya tampung yang tak cukup untuk 500 bus, tetapi juga karena dibangunnya jalan layang Grogol.
Proyek ini dimulai akhir Maret 1981 dengan pembayaran ganti rugi bagi 171 keluarga yang tanah dan bangunannya terkena proyek. Awal April 1985 hingga proyek selesai Februari 1986, pengoperasian Terminal Grogol berpindah ke terminal sementara di Kalideres. Jalan Daan Mogot, yang biasa macet, terlihat lancar pada hari pertama Terminal Grogol tidak beroperasi. Kini kondisi Terminal Grogol tertata baik. (JPE)