Efektivitas Bajakah Perlu Diteliti Lebih Lanjut
Bajakah yang disebut-sebut ampuh sebagai obat kanker belum bisa menjadi gantungan harapan bagi penderita. Tanaman herbal itu masih memerlukan penelitian panjang lewat berbagai tahapan uji klinis.
Akhmad Saikhu, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Senin (19/8/2019), di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, memaparkan, B2P2TOOT pernah melakukan eksplorasi dan mengidentifikasi bajakah serta mengambil contoh daunnya di Kalimantan Tengah. Menurut Akhmad, bajakah bukan nama sebuah pohon, melainkan merujuk pada akar tanaman yang menggantung.
”Hasil riset tanaman obat dan jamu yang kami lakukan tahun 2012 menemukan jenis bajakah lain dengan kegunaan berbeda. Bajakah bahenda dan bajakah kuning untuk penyakit hati serta bajakah karamoi dan bajakah lamai untuk sakit perut (diare),” tuturnya.
Sebelumnya, masyarakat dihebohkan dengan hasil penelitian tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, berjudul ”Bajakah Tunggal: Obat Kanker dari Alam”. Penelitian itu meraih medali emas untuk bidang ilmu hayati pada Olimpiade Penemuan Kreatif Sedunia 2019 di Seoul, Korea Selatan.
Akhmad mengatakan, bajakah dikonsumsi masyarakat di Kalimantan Tengah sebagai obat tradisional. Namun, harus dipastikan bajakah yang dikonsumsi adalah jenis yang dikonsumsi turun-temurun, aman, dan berkhasiat. ”Jangan terburu-buru mengonsumsi tanaman obat tanpa ada bukti dasarnya,” ujarnya.
Menurut dia, untuk memastikan bajakah sebagai obat kanker harus melalui tahapan uji klinis. Hal itu diawali dengan mengidentifikasi bahan kimia aktif yang mampu menghambat sel kanker, mengisolasi bahan aktif tersebut, dan melakukan uji laboratorium terkait pengaruh bahan aktif terhadap sel kanker.
Jika terbukti menghambat sel kanker, dilanjutkan uji pada hewan coba yang dibuat menderita kanker. Jika uji pada hewan model terbukti, baru masuk uji klinis pada manusia. ”Untuk uji pada manusia harus menggandeng industri farmasi supaya bahan uji diproduksi dengan cara pembuatan obat yang baik (CPOB),” ujarnya.
Uji klinis pada manusia ada empat fase. Fase satu, uji farmakokinetik dan farmakodinamik. Jika terbukti mampu menghambat perkembangan kanker, masuk fase dua untuk membuktikan efikasi pada pasien. Fase tiga melihat efektivitas pada pasien dengan jumlah lebih besar. ”Kalau fase tiga lolos, baru obat bisa diproduksi secara ekonomi dan dimintakan izin edar pada Badan Pengawas Obat dan Makanan,” katanya.
Pekan ini, tim B2P2TOOT pergi ke Palangkaraya untuk melihat langsung jenis bajakah yang digunakan. Penelitian para siswa itu, menurut Akhmad, merupakan tahap praklinik, sehingga perlu dilanjutkan ke tahap-tahap berikutnya. Pihaknya akan melakukan penelitian lanjutan tentang bajakah.
Membuktikan mitos
Bajakah (Liana sp) diteliti Yajid Rafli Akbar (16), Anggina Rafitri (17), dan Aysa Aurealya Maharani (17) dengan bimbingan Helita, guru Biologi SMAN 2 Palangkaraya, untuk membuktikan mitos pada suku Dayak. Para pemburu dari suku Dayak menggunakan air dari potongan bajakah yang melilit di pohon-pohon besar sebagai sumber air minum. Bajakah dipercaya bisa mengobati berbagai macam penyakit, salah satunya kanker.
Untuk penelitian itu, bajakah dicari di hutan-hutan sekunder sekitar Kota Palangkaraya, seperti di Taman Nasional Sebangau. ”Tujuan utamanya, kami ingin membuktikan bahwa manfaat bajakah bukan mitos. Upaya ini untuk melawan deforestasi karena kekayaan hutan di Kalteng adalah aset yang harus dijaga,” kata Helita, Jumat (9/8).
Bajakah yang dikumpulkan dipotong-potong dan dijemur. Setelah kering dijadikan bubuk. Bubuk ini kemudian diseduh air panas dan diminum tanpa campuran apa pun. Para siswa memberikan seduhan bajakah pada tikus putih yang dibuat menderita tumor. Setelah tiga bulan, ternyata benjolan tumor hilang. Bubuk dan tanaman bajakah dikirim ke laboratorium Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk diperiksa kandungan zat aktifnya.
Didapati enam zat bioaktif dalam bajakah, yakni saponin, flavonoid, terpenoid, steroid, tanin, dan fenolik. Tiga zat pertama dipercaya bisa memperkuat sistem kekebalan tubuh dan menangkal radikal bebas. Selain tim bajakah, ada lagi satu tim dari SMAN 2 Palangkaraya yang meneliti tanaman ujung atap (Myrtaceae) untuk mengusir nyamuk.
Sebelum diikutkan olimpiade di Korsel, dua penelitian itu disertakan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Provinsi di Kalteng. Kedua penelitian memenangi gelar juara. Kompetisi berlanjut ke Youth National Science Fair 2018 di Bandung, Jawa Barat. Di kompetisi itu, mereka menyabet medali untuk poster terbaik, inovasi terbaik, presentasi terbaik, hingga kostum terbaik.
Dilarang keluar Kalteng
Ketenaran bajakah sebagai ”obat kanker” menyebabkan tanaman itu diburu. Dari pantauan, bajakah dijajakan di pinggir jalan, pasar, hingga dipasarkan secara daring. Mama Ani, penjual obat herbal dan tradisional Dayak di Palangkaraya, menuturkan, permintaan bajakah datang dari sejumlah daerah di Indonesia. Ia menjual bajakah dengan harga Rp 100.000 hingga Rp 1 juta per batang, tergantung besar kecil dan panjang batangnya.
Okta Simon dari World Wide Fund for Nature (WWF) di Taman Nasional Sebangau mengatakan, saat ini orang beramai-ramai masuk ke hutan dan memotong bajakah. ”Masalahnya, bajakah banyak jenisnya. Bahkan ada yang beracun. Karena itu, jangan sampai salah ambil. Selain itu, pengambilan bajakah secara besar-besaran telah merusak hutan taman nasional,” kata Okta.
Menurut dia, perlu ada pembatasan dalam pengambilan bajakah, misalnya larangan mengambil bajakah di hutan lindung. Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri baru-baru ini menerbitkan surat edaran untuk melarang pengiriman bajakah ke luar Kalteng. Alasannya, butuh penelitian lebih lanjut dan hak paten untuk memproteksi produksi kayu endemik Pulau Kalimantan ini.
Pencegahan dilakukan di bandara dan jasa pengiriman barang lain di Kota Palangkaraya. ”Ini sudah berlaku. Jadi, masyarakat harus bersabar sampai semua uji coba dan hak patennya keluar,” kata Fahrizal.
(ERWIN EDHI PRASETYO/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO)