Jokowi: Hati-hati Mengelola Daerah
Hati-hati juga pemimpin-pemimpin daerah, karena sekali lagi, kita ini bangsa besar, yang memiliki 714 suku, agama dan bahasa daerah berbeda-beda, sehingga karakter setiap daerah ini berbeda-beda, budayanya juga berbeda-beda.
Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-74 RI kemarin berlangsung meriah di sejumlah tempat di Indonesia, termasuk di Istana Negara Jakarta. Sejak beberapa tahun lalu, Presiden Joko Widodo memulai tradisi baru dengan busana daerah, yang mewarnai Istana. Namun, kemerdekaan yang dirasakan masih menyimpan pekerjaan rumah. Di tengah gema kemerdekaan, aksi kekerasan terjadi di Manokwari, Papua Barat, yang merembet ke Jayapura, Papua.
Presiden Jokowi yang berkali-kali datang ke kedua ibu kota provinsi di ujung timur Indonesia itu tentu tak menduga terjadinya aksi massa tersebut. Saat aksi demo masih berlangsung di Jayapura, Presiden Jokowi dalam keterangan persnya di Istana merdeka menyatakan adanya ketersinggungan masyarakat.
Boleh jadi, Sabtu (17/8/2019), saat peringatan 17 Agustus di Malang dan Surabaya, Jawa Timur, terjadi insiden kekerasan terhadap warga Papua yang dibesar-besarkan lewat media sosial. Hingga buntutnya, Senin (19/8/2019), pecah aksi massa di kedua wilayah tersebut.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi meminta warga saling memaafkan, saling menghargai, dan saling menghormati. Kedekatan dan eratnya hubungan saudara sebangsa dan setanah air diharapkan semakin membaik. Presiden juga meminta jangan sampai hal-hal terkait ketersinggungan tersebut diteruskan.
Namun, Presiden Jokowi juga mengingatkan para kepala daerah berhati-hati mengelola daerahnya dan mencegah ujaran kebencian di media sosial terulang yang bisa menimbulkan ketersinggungan.
”Hati-hati juga pemimpin-pemimpin daerah karena sekali lagi, kita ini bangsa besar, yang memiliki 714 suku, agama, dan bahasa daerah berbeda-beda sehingga karakter maupun budayanya berbeda-beda. Jadi, kita harus hati-hati betul, terutama pejabat-pejabat publik mengelola daerahnya,” ujar Presiden Jokowi saat diwawancarai Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, sehari setelah kondisi Papua dan Manokwari kondusif, di salah satu ruang tengah Istana Merdeka, Jakarta.
Dalam suasana santai sekitar 40 menit, yang diselingi sejumlah tawa, Presiden Jokowi memberikan penjelasan tak hanya soal Papua, tetapi juga keunggulan sumber daya manusia, susunan kabinet yang sudah final, tetapi terus dimatangkan, amendemen, dan ibu kota negara. Presiden Jokowi juga menyinggung cucunya yang dikenalkan lebih dini tentang keberagaman dan tentang anaknya yang belum menyatakan minatnya menjadi calon wali kota Solo.
Kemerdekaan baru saja dilalui upacaranya, tetapi ada aksi kekerasan di Papua. Apa yang Presiden lihat dari aksi kekerasan tersebut?
Ya, ini masalah ketersinggungan, masyarakat di Papua, dan kemarin sudah saya sampaikan bahwa marilah kita saling memaafkan, karena dengan saling memaafkan, kita saling menghargai dan menghormati. Perlu saya sampaikan, saya ini ke Papua itu gak tahu berapa kali. Paling banyak di antara provinsi-provinsi yang lain, mungkin 11 atau 12 kali. Dan, juga ke kabupaten-kabupaten yang dulu tak pernah tersentuh. Saya ke Nduga dua kali dan saat itu kalau boleh saya informasikan, saya tidak diperbolehkan Panglima TNI dan Kapolri, alasannya keamanan. Tetapi, saya sampaikan, Kabupaten Nduga itu masuk wilayah NKRI sehingga saya perlu tahu seperti apa? Keadaannya seperti apa? Setelah ke sana, baru kita bangun,
Apakah setelah beberapa kali ke Papua, Presiden berniat mengunjungi Papua lagi pasca-aksi kekerasan?
Ya, ini mungkin dalam waktu dekat ini akan segera ke Papua.
Kalau dilihat dari kacamata elektoral, Papua jauh di timur dan jumlah populasinya kecil, kenapa Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus?
Pembangunan yang kita lakukan, sekali lagi, bukan Jawa-sentris, tetapi Indonesia-sentris. Semua provinsi memiliki hak yang sama untuk menikmati pembangunan dari pemerintah, baik di bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Saya lihat Papua memang perlu lebih diperhatikan.
Kalau tadi Presiden mengatakan ada ketersinggungan, apa pelajaran yang bisa dipetik ketika menangani Papua, tetapi tanpa menimbulkan ketersinggungan dan memunculkan aksi kekerasan?
Ya, jangan lagi kita mengulang-ulang terus ujaran kebencian di media sosial. Hati-hati juga pemimpin-pemimpin daerah karena, sekali lagi, kita ini bangsa besar, yang memiliki 714 suku, agama, dan bahasa daerah berbeda-beda sehingga karakter setiap daerah ini berbeda-beda, budayanya juga berbeda-beda. Jadi, kita harus hati-hati betul, terutama pejabat-pejabat publik.
Bagaimana kondisi terakhir situasi di Papua sekarang?
Alhamdulillah, semua sudah kembali normal. Baru saja saya telepon Kapolri dan ini saya ikuti terus.
Apakah pasca-Presiden berpidato soal Papua adakah langkah-langkah hukum atau kemanusian yang akan dilakukan untuk memenangkan hati warga Papua?
Ya, akan dilakukan.
Adakah strategi khusus, tak hanya adanya pembangunan fisik Papua, tetapi bagaimana memenangkan hati orang-orang Papua itu sendiri?
Ya kita rangkul dengan pendekatan-pendekatan kesejahteraan karena itulah yang ingin kita lakukan. Pendekatan kesejahteraan, bukan lain-lainnya.
Bapak Presiden melihat bahwa memang ada orang-orang yang ingin menciptakan kekeruhan dalam isu Papua?
Bisa saja dalam sebuah peristiwa itu ada yang membonceng, ada penumpang gelap, biasalah, menurut saya. Tetapi, yang paling penting, TNI-Polri sudah bisa atasi persoalannya di lapangan.
Presiden mengatakan pada periode kedua kepemimpinan akan fokus pada pembangunan SDM. Persisnya seperti apa, SDM yang Bapak bayangkan dalam SDM-SDM yang unggul termasuk di Papua?
Jadi, dalam bersaing dengan negara-negara lain, sekarang ini kan kita semuanya berebut, berebut talenta-talenta terbaik, investasi, pasar, ekspor sehingga dalam suasana kompetisi ketat seperti ini, yang namanya infrastruktur menjadi sebuah syarat mutlak, yang namanya sumber daya manusia juga menjadi syarat mutlak kita membangun negara. Lima tahun ke depan, kita ingin konsentrasi pada pembangunan sumber daya manusia, yang kita mulai sejak bayi dalam kandungan. Agar sejak lahir, pemberian makanan tambahan, pemberian gizi juga harus mulai diikuti dan diperhatikan. Kemudian menginjak pendidikan dasar, kita harus mulai mengerjakan pembangunan karakter, berkaitan dengan budi pekerti, etika, membangun daya saing lewat budaya team work, budaya kerja keras, gotong royong, dan toleransi. Bukan matematikanya didahulukan.
Kalau sudah di pendidikan menengah, anak-anak juga harus mulai diajarkan daya kritisnya, daya argumentasinya, kemudian kekuatan-kekuatan dalam membangun kerja sama, kekuatan dalam inovasi, mulai dikenalkan. Kita siapkan emerging skill, emerging job, jadi kebutuhan, keterampilan, skill masa kini dan masa mendatang. Perguruan tinggi kita arahkan daya saing ke regional dan global. Artinya, mereka yang masuk ke perguruan tinggi harus siap untuk berkompetisi di ranah regional dan global sehingga perguruan tinggi/universitas harus berpikir untuk merespons era disrupsi ini.
Apakah ketika bicara perguruan tinggi yang lebih adaptif, yang pernah disampaikan Pak Jokowi mengenai mengundang rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia?
Kita memiliki perguruan tinggi, politeknik, dan akademi. Data yang saya miliki, ada 4.700-an. Kalau kita memberikan peluang untuk rektor asing kenapa tidak. Wong hanya satu, dua, tiga aja, kok, dari 4.700. Kalau memang baik, ya, kita copy (cara kerjanya). Kalau tidak baik, kenapa harus kita pakai. Artinya, kita memerlukan sebuah kompetitif juga antara universitas sehingga saling upgrade, berbenah, saling memperbaiki.
Gagasan Presiden kadang disalahmengerti. Kenapa harus rektor asing. Padahal, rektor-rektor Indonesia juga cukup mumpuni dan kapabel untuk memimpin universitas?
Ya, kita harus berbicara apa adanya. Dari ribuan perguruan tinggi kita yang masuk world class university, 100 besar, itu enggak ada. Seingat saya, kalau kita masuk dalam 300 besar. Kalau ranking yang lain, kita masuk 800 besar. Kalau ranking yang lain, kita masuk 1.000 besar. Masih jauh sekali. Kenyataan-kenyataan seperti ini harus kita pikirkan bersama-sama. Akan dilaksanakan kapan? Ya nanti di kabinet baru.
Bicara soal kabinet, Bapak menyampaikan isu SDM menjadi penting. Mulai usia dini sampai universitas. Sosok menteri seperti apa yang bisa mengendalikan dan sevisi dengan Presiden mengembangkan SDM seperti itu?
Dia harus mengerti era disrupsi ini seperti apa. Pentingnya artificial intelligence. Bagaimana melaksanakan kurikulum dengan teknologi. Karena kita sendiri tahu bahwa negara ini tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan level yang berbeda-beda kualitas pendidikannya sehingga bagaimana ini bisa disamakan distandarkan. Ya, itu, pelaksanaan kurikulum menggunakan teknologi.
Bapak Presiden sudah punya bayangan sosok menteri pendidikan untuk menjalankan visi-misi itu?
Nanti, Nanti bisa melihat. Masyarakat bisa melihat setelah diumumkan.
Setelah pelantikan atau sebelum pelantikan pengumumannya?
Bisa sebelum bisa setelah.
Jadi, akan memulai tradisi baru?
Kenapa tidak. Bisa sebelum bisa setelah.
Lalu Bapak juga menyebutkan proporsi menteri 45 persen parpol dan 55 persen profesional. Kenapa?
Pertama, perlu saya sampaikan yang namanya kabinet, menteri itu adalah hak prerogatif Presiden, tetapi kita juga memberikan ruang agar juga partai-partai pendukung ini mengusulkan untuk jabatan menteri-menteri yang ada. Namun, saya sampaikan bahwa menteri yang akan datang memang harus punya kemampuan manajerial yang baik, mengerti manajemen, memiliki pengalaman tata kelola. Yang kedua, memiliki keberanian untuk mengeksekusi program, artinya dia haruslah eksekutor yang kuat.
Apakah Presiden Jokowi punya pandangan bahwa portofolio kementerian dipegang oleh profesional, bukan parpol, ada tidak pembagian-pembagian seperti itu?
Endak-lah. Sekali lagi kita tidak usah membeda-bedakan dari profesional atau dari partai, dan dari partai yang punya kemampuan yang baik juga banyak. Profesional kita yang bagus-bagus stoknya juga banyak. Tetapi ini disesuaikan dengan tantangan ke depan.
Jadi fokusnya bukan profesional atau parpol, tetapi kompetensi?
Iya dong, mesti ke sana.
Ada juga ide atau gagasan dari Presiden Jokowi soal saatnya muncul menteri usia muda untuk pimpin kabinet pada era disrupsi, perubahan yang berat. Menteri muda atau menteri usia muda sebenarnya?
Menteri usia muda, menteri muda, sama saja. Yang paling penting, menurut saya, kan, sering saya sampaikan, umur 25 tahun ada, 30 tahun ada, umur 40-an banyak. Yang paling penting bukan mudanya, tetapi memiliki kemampuan manajemen, pernah memiliki pengalaman manajemen, mampu mengeksekusi program. Rekam jejaknya juga saya lihat. Kalau hanya muda saja, tak punya kompetensi di situ, ya, untuk apa?
Menteri muda kemungkinan punya kemampuan manajerial, kemampuan eksekusi, tetapi juga harus bermitra dengan politisi di DPR yang mungkin juga berkarakter tak mudah. Apakah kematangan berpolitik, bernegosiasi, berunding dengan DPR akan jadi variabel juga yang akan ditekankan?
Ya, itu kemampuan manajerial. Itu artinya, mengelola manajemen, manajemen, kan, banyak sekali, termasuk manajemen pengelolaan waktu berhubungan dengan DPR. Banyak, kok, kita stok-stok yang punya kemampuan seperti itu, hanya kita ini takut memunculkan. Regenerasi kepemimpinan di kementerian juga diperlukan untuk waktu-waktu yang akan datang.
Apakah dalam kabinet mendatang akan ada perwakilan dari daerah?
Keterwakilan daerah juga menjadi bagian dari kalkulasi.
Termasuk ada kepala daerah yang akan jadi menteri?
Hmmm... Bisa. Ha-ha-ha.
Kapan formasi kabinet itu akan dituntaskan dengan partai-partai koalisi?
Sebetulnya sudah final, hanya kita perlu mematangkan, biar lebih detaillah.
Termasuk masuknya koalisi yang selama ini berada di luar, Gerindra akan masuk dalam kabinet?
Kita dengan koalisi belum sampai ke sana, belum berbicara mengenai masuknya partai baru dalam koalisi. Karena kita belum pernah bertemu dan membicarakan itu.
Jadi kalau dalam daftar kabinet itu sudah ada di tangan Presiden dan tinggal tunggu diumumkan?
Sudah, sudah. Iya, betul
Isu lain, ini juga ramai disuarakan soal amendemen konstitusi. Ada yang menginginkan amendemen dilakukan secara terbatas pada substansi tertentu, tetapi juga ada keraguan soal amendemen ini bisa jadi bola liar larinya bisa ke mana-mana. Bagaimana posisi politik presiden?
Kita perlu mengkaji mendalam, perlu berhitung, perlu berkalkulasi betul. Jangan sampai karena amendemen ini nanti justru menimbulkan guncangan politik yang tak perlu. Karena sekarang ini tekanan ekonomi global dan geopolitik global tidak menguntungkan. Jangan sampai menambah masalah gara-gara kita ingin memaksakan amendemen. Untuk itu, sekali lagi, kajian mendalam sangat diperlukan. Perlu saya sampaikan, kalau ada keinginan untuk menjadikan MPR menjadi lembaga tertinggi, artinya nanti pilihan presiden-wapres oleh MPR, saya akan menolak pertama kali.
Menolak dalam arti MPR jadi lembaga tertinggi dan pemilihan presiden dilakukan oleh MPR?
Betul, karena saya adalah produk pilihan langsung oleh rakyat.
Kalau posisi MPR, kan, memproduksi GBHN?
Haluan negara itu perlu. Tetapi sekali lagi, apakah kita bisa menjaga sebatas itu saja (amendemen-nya)? Apakah tidak melebar ke mana-mana? Karena saya sudah bicara dengan partai-partai, tetapi kelihatannya berbeda-beda. Ada yang ingin ini, ada yang ingin ini, ada yang ingin ini. Sekali lagi perlu penghitungan yang mendalam, lebih cermat agar betul-betul yang kita lakukan ini betul-betul bermanfaat bagi rakyat.
Artinya, bisa disimpullkan bahwa sementara amendemen belum bisa dijadikan isu mendesak yang harus diselesaikan MPR?
Menurut saya, iya. Belum.
Tapi dalam praktik riil, keinginan untuk amendemen konstitusi menjadi bagian dari persyaratan penentuan pimpinan MPR?
Saya tidak tahu itu karena yang berbicara itu dari partai-partai.
Tapi kalau posisi Pak Presiden sekarang, amendemen semestinya dikaji lebih dulu sampai matang. Jadi biarkanlah kondisi seperti ini?
Iya. Kajian yang matang, kajian dengan kalkulasi dan penghitungan yang detail sangat-sangat diperlukan.
Kekhawatirannya apa, kalau GBHN dihidupkan lagi, tetapi tanpa harus mengubah presiden dipilih rakyat?
Itu, kan, saling kait-mengait, kalau GBHN dibuat oleh MPR, artinya presiden mandataris MPR. Kalau presiden mandataris MPR, itu artinya presiden dipilih MPR.
Jadi hak rakyat memilih presiden akan dikembalikan ke MPR?
Ya, nalar logikanya seperti itu.
Meski dibungkus dengan amendemen terbatas, tidak menyentuh presiden oleh MPR?
Siapa yang bisa menjamin amendemen itu akan terbatas? Karena partai-partai memiliki keinginan berbeda-beda.
Tidak bisakah dibangun komitmen amendemen sebatas GBHN terlebih dahulu?
Yang saya tangkap berbeda-beda. Daripada melebar ke mana-mana.
Daripada ke mana-mana, sebaiknya tidak perlu sekarang dan GBHN juga bisa diakomodasi dalam format peraturan perundangan yang lain?
Bukan tidak perlu sekarang. Sekali lagi, perlu kajian, hitungan, kalkulasi yang lebih mendalam.
Satu isu yang juga mencuat dari Presiden adalah meminta izin DPR untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Apa rasionalitas di balik pemindahan ibu kota?
Sebetulnya ide ini sudah lama, sejak Presiden pertama RI, Bung Karno, ingin dipindahkan ke Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Memang memisahkan kota bisnis, kota jasa, kota ekonomi dengan kota pemerintahan ini yang kita inginkan. Kita ingin ibu kota pemerintahan, yang berkaitan dengan kebencanaan, pingin-nya tidak ada. Tidak ada banjir, tidak ada gempa. Juga dari sisi daya tampung daya dukung, harus kita lihat. Sekarang di Jawa, 57 persen penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa, di DKI Jakarta sekarang sudah 10 juta plus, kalau Jabodetabek sudah 30-an juta (jiwa). Berat kalau diteruskan. Belum yang berkaitan dengan polusi udara. Belum yang berkaitan dengan kemacetan. Tidak mudah ini.
Tidak mudah artinya banyak yang akan menghambat ide itu?
Ya, cost-nya juga besar. Oleh sebab itu, memindahkan ini juga akan bisa mengurangi kemacetan, mengecilkan, mengurangi juga (beban) daya dukung yang ada di Jakarta, di Pulau Jawa. Saya kira 57 persen populasi di Pulau Jawa, di Sumatera 21 persen, di Kalimantan hanya 6 persen. Saya kira Kalimantan masih memiliki daya dukung untuk kepadatan, lingkungan, air bersih, saya kira masih memiliki kemampuan besar untuk menjadi ibu kota baru.
Pemindahan ibu kota akan jadi prioritas pemerintahan Pak Jokowi- Ma\'ruf Amin?
Pertama, kita masih menunggu. Ini sudah tiga tahun kajiannya dan kita masih menunggu dua kajian terakhir. Kalau semua sudah masuk, segera akan kita putuskan di mana ibu kota baru. Kemudian perencanaan akan kita mulai tahun ini dan kita selesaikan tahun depan karena kajiannya sudah ada dan tahun depan kita akan memulai dengan land clearing (pembersihan lahan) sehingga kita betul-betul sangat serius untuk hal-hal yang berkaitan dengan ibu kota baru ini.
Akan tetapi juga kita tidak ingin membebani APBN sehingga, seperti saya sampaikan, mungkin kurang lebih hanya seperempat dari kebutuhan yang diambil dari APBN, sisanya dari KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha), swasta, masyarakat, dan dunia usaha.
Artinya, saat Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatan di 2024, ibu kota baru sudah pindah?
Perkiraan kami, tahapannya akan panjang. Tahapan lima tahun ini berkaitan dengan istana dan 34 kementerian sudah bisa diselesaikan. Artinya pada 2023-2024 bisa mulai dipindahkan. Untuk yang berkaitan dengan non-kementerian baru juga bisa dimulai. Lembaga-lembaga tinggi yang lain juga baru bisa dimulai. Jadi, pusat pemerintahan yang pindah.
Kalau hal-hal yang kecil, banyak orang tertarik dengan gaya Pak Jokowi saat upacara kemerdekaan. Jan Ethes diajak, itu pembangunan SDM juga, Pak?
He-he-he. Ya, kita ingin menunjukkan warna-warni Indonesia, keberagaman Indonesia. Itu kenapa saya sampaikan untuk memakai baju daerah dari suku-suku yang kita miliki. Warna-warni seperti itu diperlukan dalam perayaan kemerdekaan kita.
Kalau mengajak Jan Ethes itu pesannya apa, Pak? Mengenalkan sejak dini perpolitikan?
He-he-he. Mengenalkan kepada anak-anak kita keberagaman yang ada.
Bisa juga mengenalkan politik sejak dini, tidak apa-apa. Seperti itu?
Ndaklah, anak ini masih tiga tahun (usianya).
Tapi putra bapak juga akan maju ke Wali Kota Solo?
Eh, saya serahkan kepada… (dirinya sendiri). Saya selalu tidak bisa memaksakan kepada anak. Sesuai keinginan mereka saja. Seperti dalam bisnis pun, saya tak bisa mengarahkan anak untuk kerja mebel, kerja kayu. Ndak mau mereka. Mereka mau jadi dirinya sendiri. Pak, saya mau jualan martabak. Pak, saya mau jualan pisang goreng. Ya, terserah.
Kalau mereka tahu-tahu memutuskan. Pak, saya mau jadi anggota dewan. Pak, saya mau jadi wali kota?
Ya, saya hanya bisa menyampaikan, saya mendukung.
Tapi sudah menyampaikan?
Belum.