Paragita Menggali Harta Karun Lagu Indonesia
Di negeri merdeka ini, Paragita bersikap egaliter, dengan memperlakukan semua genre secara sama, setara, tanpa sekat. Sebuah harta karun budaya yang menguatkan bahwa kita bisa berdemokrasi dalam urusan selera.
Kelak, pada suatu masa, lagu-lagu Indonesia sudah tidak dikenal lagi oleh warga Republik ini. Mereka praktis hanya mendengar lagu-lagu “impor”. Untung ada aplikasi Linimasa, dimana orang bisa mengintip dengar lagu-lagu masa “prasejarah” Indonesia. Lagu-lagu menjadi artefak, harta karun yang indah.
Itulah kerangka “dongeng” yang dibangun dalam pergelaran Linimasa yang digelar Paragita, kelompok paduan suara Universitas Indonesia. Konser digelar di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada Minggu, 18 Agustus 2019 sebagai perayaan 35 tahun berdirinya Paragita. Mereka merentang sejarah lagu-lagu yang pernah menemani bangsa ini dari era 1950-an hingga “zaman now”.
Dari “Overture” atau intisari repertoire, terasa betapa "nano-nano-nya" lagu yang akan disuguhkan yang dicuil dari berbagai era. Mulai dari “Wanita” ciptaan Ismail Marzuki, “Lilin-lilin Kecil” karya James F Sundah, “Ayah”-nya Rinto Harahap, “Terajana” dari Rhoma Irama, sampai “Dan” milik Sheila on 7.
Linimasa direntang linear dari era akhir 1950-an dan awal 1960-an ketika lagu-lagu Ismail Marzuki dan Mochtar Embut mengalun di radio.
Ketika itu hanya ada satu corong penyampai lagu yaitu Radio Republik Indonesia (RRI). Dalam pergelaran dipilih karya dua komponis tersebut, yaitu “Layang-Layang” karya Ismail Marzuki dan “Di Wajahmu Kulihat Bulan” ciptaan Mochtar Embut.
Bintang radio
Peran RRI pada era 1950-1960-an memang sangat vital dalam pertumbuhan lagu-lagu dari berbagai jenis. RRI memberi ruang tumbuh bagi pencipta lagu dan penyanyi lewat ajang Bintang Radio.
Forum ini menjadi tolok ukur kemampuan seorang penyanyi. Bintang Radio memberi panggung tiga jenis lagu yaitu seriosa, keroncong, dan hiburan -- istilah untuk jenis yang sekarang dikenal sebagai lagu pop.
Dari ajang ini lahir penyanyi seperti Sam Saimun, Bing Slamet, sampai Titiek Puspa untuk jenis hiburan. Kemudian untuk seriosa muncul nama Pranajaya, Masnun, sampai Pranawengrum Katamsi. Dan untuk keroncong, hadir nama seperti Ismanto dan Waldjinah.
Belakangan, setelah TVRI berdiri, ajang tersebut berubah menjadi Bintang Radio dan Televisi. Pergelaran Linimasa mencatat peran Bintang Radio dengan menempatkannya pada segmen tersendiri. Di sini diturunkan penyanyi-penyanyi berkelas “bintang” seperti Aning Katamsi, Priska Hutabarat, Tetty Manurung, dan Daniel Sinaga.
Koes Plus sampai Rhoma Irama
Dari pergelaran Linimasa, menarik disimak bagaimana musik pop kita berubah seturut perkembangan musik Barat. Ketika rock n’ roll merajalela di seluruh dunia, Indonesia pun terimbas pengaruh. Koes Bersaudara yang berawak empat bersaudara Koeswoyo, mengikuti gaya Everly Brothers yang mengedepankan duet Yon dan Yok.
Kemudian, seturut tren rock ‘n roll, mereka beralih orientasi ke Beatles dan Rolling Stones. Lagu seperti Koes Bersaudara ”Dara Manisku” dan “Kelelawar” dari Koes Plus adalah contoh bagaimana musisi Indonesia mencoba “menerjemahkan” rock n’ roll dengan cara mereka.
Paragita dalam konser Linimasa memilih lagu Koes Plus “Kisah Sedih di Hari Minggu” dan “Jangan Terulang Lagi” yang tidak berbau rock n’ roll.
Kebetulan “Kisah Sedih di Hari Minggu” yang popular pada awal 1970-an itu, belakangan pada era 2000-an populer kembali lewat garapan Erwin Gutawa dalam album Tribute to Koes Plus/Bersaudara.
Dalam narasi yang disuarakan oleh Feni Rose, disebut-sebut juga God Bless sebagai pembawa musik rock di Tanah Air. Di panggung dikutipkan video God Bless dari film Ambisi (1973). Dalam kutipan itu, God Bless membawakan lagu “Free Ride” dari Edgar Winter Group, salah satu band rujukan musik God Bless pada awal berdirinya.
Belakangan mereka juga ada pengaruh Kansas, Genesis, dan Yes. Dalam konser Linimasa ditampilkan lagu “Panggung Sandiwara”. Lagu ciptaan Ian Antono dengan lirik dari Taufiq Ismail itu dipopulerkan oleh Duo Kribo yang berawak Ahmad Albar dan Utjok Harahap pada 1978. Lagu yang oleh Duo Kribo itu dibawakan dengan gaya ballad itu dalam konser dibawakan oleh Untung Siahaan, Daniel Sinaga, dan Agus Yuwono. Penampilan mereka mengingatkan pada gaya-gaya Three Tenors.
Seiring meriahnya band-band pop, era 1970-an juga ditandai dengan lahirnya istilah musik dangdut, yang sebelumnya disebut musik Melayu.
Seiring meriahnya band-band pop, era 1970-an juga ditandai dengan lahirnya istilah musik dangdut, yang sebelumnya disebut musik Melayu. Pada era 1960-an, ketika istilah dangdut belum digunakan, sudah lahir bintang seperti Ellya Khadam yang terkenal dengan lagu “Boneka dari India” (1963). Terkenal pula lagu "Bunga Nirwana" ciptaan Munif Bahasuan yang dibawakan oleh Munif sendiri bersama Orkes Kelana Ria.
Merambat jelang paruh kedua 1970-an hadirlah Oma Irama yang kemudian disebut Rhoma Irama dengan orkes Melayu Soneta-nya. Mereka memopulerkan lagu seperti “Begadang”, “Penasaran”, sampai Terajana”. Pergelaran Linimasa mencatat fenomena musik Melayu atau dangdut itu lewat sejumlah lagu termasuk “Boneka dari India” dan “Terajana.”
Alternatif "Lilin Kecil"
Koes Plus yang produktif membuat album, bisa dikatakan sebagai salah satu motor maraknya musik industri di Indonesia pada awal 1970-an. Ketika itu, puluhan band bermunculan dan hampir semuanya membuat album rekaman, dan masing-masing mempunyai lagu kondang. Sebuah masa yang meriah oleh band seperti Panbers, Bimbo, The Mercy’s, Rollies, Favourites, AKA, D’Lloyd’s, No Koes, Freedom, Gembels, dan puluhan lain.
Di antara germuruh musik Industri ada pilihan-pilihan dengaran yang hadir lewat forum lomba. Salah satunya adalah forum Festival Lagu Populer Tingkat Nasional yang digelar sejak 1973. Ajang ini melahirkaan lagu seperti “Cinta” karya Titiek Puspa (1974), ”Pergi Untuk Kembali” ciptaan Minggus Tahitoe (1975), dan “Renjana”-nya Guruh Soekarno (1976).
Dalam konser Linimasa dipilih lagu dari Festival diantaranya “Aku Melangkah Lagi” karya Santoso Gondowijoyo (1984), dan “Burung Camar” dari Aryono Huboyo Djati (1985). Kedua lagu tersebut dipopulerkan Vina Pandiwinata.
Alternatif dengaran lahir lewat Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) yang diinisiasi Radio Prambors. Dari sanalah muncul "Lilin-Lilin Kecil” karya James F Sundah yang awalnya dipopulerkan Chrisye. Kemudian Lagu “Kidung” karya Chris Manusama yang dipopulerkan kelompok Pahama. Juga lagu “Kharisma Indonesia” karya Budiman dan I Gusti Ngurah Gede yang dilantunkan Louise Hutauruk.
Egaliter
Pergelaran sepanjang 3 jam, termasuk jeda 15 menit, itu memang tidak mungkin merengkuh lagu-lagu yang pernah popular di setiap masa. Akan tetapi, setidaknya repertoire-nya cukup mewakili suara sejarah lagu-lagu di negeri ini. Termasuk lagu karya Rinto Harahap yang menjadi semacam “sub-genre” dalam lagu pop karena lirik-lirik khasnya, terutama tentang cinta.
Rinto yang sebelumnya adalah personel band The Mercy’s , produktif sebagai penulis lagu dan produser lagu-lagu gaya Rinto. Linimasa menampilkan “Gelas-Gelas Kaca”, “Aku Begini Engkau Begitu” dan “Ayah”. Linimasa juga menyuguhkan tren lagu jazz pada era 1980-an, sampai lagu yang lahir dari era 2000-an.
Paragita juga cukup adil dalam meramu 248 penampil yang merupakan anggota paduan suara sejak Paragita berdiri tahun 1983 sampai hari ini. Suara lintas usia itu di telinga terdengar sangat gado-gado, seperti sajian lagu yang juga gado-gado dari beragam genre, gaya, dan masa.
Di negeri merdeka ini, Paragita bersikap egaliter, dengan memperlakukan semua genre secara sama, setara, tanpa sekat. Sebuah harta karun budaya yang menguatkan bahwa kita bisa berdemokrasi dalam urusan memadu suara dan selera.
Frans Sartono, penulis budaya, wartawan Kompas 1990-2019