Para penenun di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terus memberikan perhatian serius terhadap penggunaan pewarna alami. Mereka optimistis produk tenun dengan pewarna alami akan terus berkembang seiring makin tingginya minat pasar saat ini.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Para penenun di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terus memberikan perhatian serius terhadap penggunaan pewarna alami. Mereka optimistis produk tenun dengan pewarna alami akan terus berkembang seiring makin tingginya minat pasar saat ini.
Taharah (40), penenun dari Kelompok Pesiraman sekaligus penanggung jawab bagian Quality Control di Galeri Tuturan Inges di Desa Pringgasela, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, mengatakan, mereka menggunakan pewarna alam sejak 2013.
”Pewarna alam sebenarnya telah lama digunakan oleh nenek moyang, tetapi sempat tidak digunakan lagi untuk waktu lama. Sekarang kami bangkitkan lagi,” kata Taharah saat dihubungi dari Mataram, Selasa (20/8/2019).
Menurut Taharah, pewarna alami telah digunakan seluruh penenun di Desa Pringgasela. Saat ini, tercatat ada sekitar 100 penenun di desa yang berada sekitar 50 kilometer timur Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB), itu.
Taharah menjelaskan, bahan dasar pewarna alami yang digunakan antara lain kulit kayu, dedaunan, dan ketapang. ”Itu yang menjadi pertimbangan kami menggunakan pewarna alami dibanding sintetis,” kata Taharah.
Menurut dia, proses pewarnaan benang untuk tenun dilakukan sendiri oleh penenun atau dalam kelompok. Kemudian, benang itu diproses menjadi kain bahan dengan alat tenun bukan mesin. Selain kain bahan, mereka juga membuat produk turunan, seperti baju, selendang, taplak meja, dan tas. Satu helai kain biasanya dikerjakan selama dua minggu sampai satu bulan.
”Penjualannya biasanya lewat galeri yang kami miliki. Pembeli kebanyakan wisatawan yang kebetulan dibawa tour guide ke Pringgasela,” kata Taharah.
Pewarnaan alami belakangan punya pasar sendiri dan menjanjikan.
Menurut Taharah, mereka memang fokus memproduksi kain dengan pewarnaan alami. Sementara penggunaan pewarna buatan atau sintetis hanya jika ada pesanan. Selain karena bahan baku mudah diperoleh, alasan lainnya juga karena pasarnya semakin menjanjikan.
”Pewarnaan alami belakangan punya pasar sendiri dan menjanjikan, terutama kelompok ekonomi menengah ke atas. Wisatawan asing yang sering ke Pringgasela, seperti dari Belanda, Jepang, dan Jerman, sudah tidak mau lagi membeli (pewarna) sintetis. Alasannya, pewarna alam ramah lingkungan,” kata Taharah.
Dalam acara peresmian Rumah Kriya di Mataram minggu lalu, kain tenun produksi Pringgasela termasuk salah satu yang ditampilkan. Motif yang dihasilkan disebut sundawa berupa motif garis-garis. Karena menggunakan pewarna alami, karakter warna pada kain tenun lebih kalem.
Tidak hanya di Desa Pringgasela, para penenun di Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, yang berada sekitar 10 kilometer arah barat Bandara Internasional Lombok, juga sudah mulai menggunakan pewarna alami. Sukarni Putri (28), salah satu penenun di sana, mengatakan, bahan pewarna itu diperoleh dari potensi lokal yang mudah didapatkan, seperti akar nangka, serabut kelapa, dan kangkung.
Sebagai salah satu desa wisata, pengembangan tenun di Desa Setanggor turut mendapat perhatian langsung dari pemerintah pusat. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada 2018 lalu, misalnya, memberikan bantuan berupa rumah tenun, galeri promosi tenun, dan alat tenun bukan mesin.
Selain itu, kementerian juga memberikan pelatihan pewarnaan alami dengan konsep live in designer. Konsep itu yakni para desainer tinggal bersama penenun dan mendampingi mereka dalam teknik menenun dan pewarnaan alami.
Sejauh ini, penggunaan pewarna alami di Desa Setanggor cukup menarik minat wisatawan dan memberikan manfaat bagi para penenun. Menurut Siani (40), tenun memang masih menjadi pekerjaan sampingan karena pekerjaan utama mereka masih bertani di sawah atau ladang.
Meski demikian, hasil penjualan tenun cukup menambah pemasukan. Untuk dua kain yang dibuatnya dalam sebulan, Siani bisa memperoleh pendapatan bersih hingga Rp 600.000.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah NTB Niken Saptarini Widyawati mengatakan, penggunaan pewarna alami memang menjadi salah satu perhatian mereka di samping meningkatkan kualitas tenun. Hal itu dilakukan melalui pelatihan bagi para penenun.
Langkah itu, menurut Niken, sebagai bagian dari upaya pemulihan sektor kerajinan setelah terdampak gempa bumi yang mengguncang Lombok pada 2018 lalu.