Shenzhen Saingi Hong Kong
Pemerintah China merilis dokumen rencana pengembangan Shenzhen untuk menyaingi Hong Kong seiring dengan tiadanya tanda-tanda unjuk rasa di Hong Kong bakal berhenti.
HONG KONG, KOMPAS -- Pemerintah China merilis dokumen berisi rencana pengembangan kota Shenzhen, yang berbatasan dengan Hong Kong, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan pembangunan berkualitas. Kota itu akan dijadikan tempat yang lebih baik daripada Hong Kong.
Dokumen dirilis, Minggu (18/8/2019), bersamaan dengan unjuk rasa di Hong Kong yang diklaim diikuti 1,7 juta orang. Media China, Senin, memaparkan serangkaian panduan pemerintah negara itu untuk menjadikan Shenzhen sebagai area pilot ”sosialisme berkarakter China”.
Dokumen kebijakan itu juga mencantumkan sejumlah sasaran, termasuk menjadikan Shenzhen sebagai salah satu ”kekuatan ekonomi dan pembangunan berkualitas” terbaik di dunia pada 2025. Hong Kong, tulis media China, Global Times, yang mengutip pakar, terancam bakal tertinggal.
”Jika Hong Kong masih tak siap merebut peluang dalam pembangunan negeri ini..., pembangunan kota itu bakal ’sangat terbatas di masa depan, sedangkan Shenzhen berlari jauh lebih kencang’,” ucap Tian Feilong, profesor di Universitas Beihang, kepada Global Times.
Dari semula kota nelayan yang sepi, Shenzhen kini menjadi pusat raksasa teknologi berkat status Zona Ekonomi Khusus yang ditetapkan Beijing. Dokumen Pemerintah China mengungkap pula rencana integrasi Hong Kong dan Makau dengan Shenzhen.
Baca juga: Perjalanan "Kompas" Menyusuri Kota Shenzhen
Tak ada kerusakan
Bagi pengunjuk rasa di Hong Kong, Shenzhen dalam sepekan terakhir merupakan tempat latihan pasukan paramiliter polisi China yang dikhawatirkan bisa dikerahkan ke Hong Kong. Namun, warga Hong Kong menilai unjuk rasa damai pada Minggu membuat China tak memiliki alasan mengirim pasukan ke Hong Kong.
”Tak ada satu pun kerusakan terjadi. Hampir tidak ada insiden,” kata Brian Tong, salah seorang demonstran, Senin, merujuk unjuk rasa 3,5 kilometer dari lapangan Victoria hingga lapangan Charter.
Front Hak Asasi Manusia Warga (CHRF) Hong Kong, penyelenggara utama unjuk rasa Minggu, mengklaim 1,7 juta orang terlibat. Namun, polisi memperkirakan yang hadir di lapangan Victoria mencapai 180.000 orang.
Kepolisian Hong Kong mengakui unjuk rasa berlangsung damai. Namun, kepolisian mengungkap 180 anggotanya cedera dalam penanganan rangkaian unjuk rasa.
Baca juga: Gelombang Unjuk Rasa Tak Bikin Warga Hong Kong Khawatir
Warga lain, Chris Wong, menegaskan bahwa tuntutan warga amat jelas. Warga ingin penyelidikan independen atas dugaan kekerasan oleh polisi selama penanganan unjuk rasa. "Sampai sekarang, tuntutan itu tidak dipenuhi," kata dia.
Selain penyelidikan independen, warga punya empat tuntutan lain. Tuntutan itu adalah pemerintah Hong Kong secara resmi membatalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Sampai sekarang, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam hanya menyatakan RUU itu sudah mati. Tidak ada pernyataan resmi bahwa RUU itu dicabut dan tidak akan pernah dibahas lagi.
Sampai lima tuntutan itu dipenuhi, kami akan meneruskan unjuk rasa.
Dalam RUU itu, Hong Kong dimungkinkan mengekstradisi seseorang yang dicari negara lain. Ekstradisi tetap akan dilakukan walau tidak ada perjanjian antara Hong Kong dengan negara peminta. Warga khawatir, RUU itu akan menjadi dasar hukum permintaan penangkapan para pengkritik Beijing di Hong Kong.
Adapun tiga tuntutan lain adalah pemerintah dan polisi menarik tudingan perusuh pada pengunjuk rasa dan membatalkan semua dakwaan kepada semua yang terlibat unjuk rasa. Warga juga meminta pembubaran parlemen, lalu digelar pemilu eksekutif dan legislatif.
"Sampai lima tuntutan itu dipenuhi, kami akan meneruskan unjuk rasa," kata Denise, seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Hong Kong.
Bukan urusan Beijing
”Apa yang terjadi beberapa waktu terakhir adalah masalah Hong Kong. Tak ada alasan bagi Beijing untuk terlibat. Dalam undang-undang jelas, urusan Beijing di Hong Kong adalah pengelolaan batalyon tentara yang ditempatkan di sini dan hubungan luar negeri,” tutur Max Chung, warga lainnya di kawasan New Territory, Hong Kong.
Baca juga: Krisis Hong Kong, Perang Dingin Baru
Unjuk rasa di Hong Kong memasuki pekan ke-13, dipicu penolakan terhadap RUU Ekstradisi, yang memungkinkan warga Hong Kong bisa diadili di China. Sebagian unjuk rasa tidak terkait langsung dengan lima tuntutan tersebut. Sejak Senin, sejumlah awak kereta bawah tanah Hong Kong (MTR) mogok kerja. Pemogokan itu untuk memprotes keputusan polisi masuk stasiun-stasiun MTR untuk mengejar pengunjuk rasa. Pengejaran itu diikuti pemukulan terhadap sejumlah orang.
"Kami meminta manajemen menjamin keselamatan penumpang dan pekerja MTR. Kami merasa insiden kemarin sangat menakutkan dan membahayakan keselamatan kami," kata Liang Zhicheng, kondektur senior dan penggiat serikat pekerja MTR.
Kemarin, pemogokan memang hanya melibatkan sedikit awak MTR. Sebab, keputusannya diumumkan Minggu malam. Awak yang terlibat bisa lebih banyak karena pemogokan direncanakan sampai beberapa pekan ke depan.
Unjuk rasa lain juga akan digelar organisasi mahasiswa dan pelajar. Rabu ini, sejumlah pelajar dan mahasiswa berencana menggelar unjuk rasa damai dengan bergandengan tangan di sekitar kawasan pusat pemerintahan Hong Kong.
Unjuk rasa besar direncanakan digelar pada 28 Agustus 2019 dan 31 Agustus 2019. Para penganjur unjuk rasa sudah mengampanyekan rencana itu melalui media sosial. (AFP/REUTERS/SAM)