Surat Kepada Redaksi
Ekonomi Versus Lingkungan
Tulisan Prof Emil Salim dengan judul di atas pernah dimuat di harian Kompas beberapa tahun silam. Ternyata, tulisan itu masih sangat relevan sekarang.
Ketika terjadi degradasi, kerusakan, bahkan bencana lingkungan, harus segera ada proses evaluasi dan analisis faktor-faktor penyebabnya. Selama ini, hasil evaluasi dan analisis berujung pada satu hal: masalah ekonomi.
Motif ekonomi ada pada warga masyarakat biasa hingga korporasi besar, yang dalam berkegiatan sering berbenturan dengan masalah lingkungan. Bentuknya beraneka. Dari pembakaran lahan/hutan, alih fungsi lahan secara masif, pembalakan liar, hingga impor sampah.
Memang, masalah sesungguhnya tidak sederhana, tidak mudah, dan kompleks. Misalnya, perkembangan industri otomotif membuat jumlah kendaraan bermotor meningkat pesat. Dampaknya adalah pencemaran udara di kota-kota besar, termasuk konsumsi energi tidak terbarukan dalam bentuk BBM. Di sisi lain, harus diakui industri otomotif berkontribusi tidak kecil dalam perekonomian nasional.
Jadi, harus bagaimana? Setidaknya pemerintah pusat sampai pemerintah daerah memiliki visi yang sama, dilandasi dengan political will yang kuat untuk membuat pelbagai kebijakan ramah lingkungan, disertai dengan pengawasan khusus terhadap isu-isu lingkungan.
Pihak swasta mutlak harus diajak bersama-sama memahami isu-isu lingkungan dan mencari jalan keluarnya. Dengan demikian, terjadi semacam keseimbangan. Ekonomi tumbuh, tetapi lingkungan terjaga. Bukan lagi masalah ekonomi berhadap-hadapan dengan lingkungan.
BHAROTO
Jl Kelud Timur, Semarang
Pembayaran Denda PLN
Penyewa rumah saya di Jalan Gondangdia Baru, Pondok Gede, Bekasi, April 2019, terkena penertiban pemakaian listrik PLN dengan denda Rp 11,5-an juta. Ia menyewa rumah saya (ID pelanggan 547101289639) sejak Oktober 2014 dengan uang sewa tidak sampai Rp 1 juta/bulan. Jauh dari tujuan komersial karena untuk keluarga sederhana.
Dengan membuat pernyataan berutang kepada PLN, si penyewa mendapat keringanan mencicil Rp 1,3-an juta/bulan terhitung Juni 2019 sampai Januari 2020.
Namun, menjelang pembayaran cicilan I, si penyewa raib tengah malam tanpa pamit. Untuk menghindari pemutusan listrik, karena rumah akan saya sewakan lagi, saya menghubungi PLN Pondok Gede, Jl Jatimakmur. Kalau saya harus menanggung denda, kiranya mendapatkan keringanan sesuai kemampuan saya, pensiunan PNS dengan uang pensiun Rp 3,1 juta/bulan.
Pada 8 Juni, harapan saya sirna. Saya mendapat tagihan beserta denda dua bulan (Juni dan Juli 2019) Rp 3,5-an juta. Bolak-balik saya jelaskan bahwa saya akan melunasi seluruhnya, hanya minta keringanan sesuai kemampuan.
Jumlah tagihan Rp 3,5-an juta itu melebihi uang pensiun saya, tetapi pihak PLN tetap meminta saya melunasi bagian itu sebelum tanggal 20 Juli, kalau tidak listrik diputus.
Di manakah moto PLN, ”Listrik untuk kehidupan yang lebih baik”, apalagi setelah mati lampu Minggu (4/8) lalu?
Nasrul Idris
Jl Gondangdia Baru,
Jaticempaka, Pondok Gede, Bekasi
Dalam rubrik ”Nama & Peristiwa”, Kompas (21/7/2019), ada tulisan tentang tempat-tempat yang menarik untuk berwisata foto, dengan judul ”Spot ’Instagramable’”.
Kalau kata kedua dalam judul itu kita ”untal malang”, mestinya menjadi ”Instagrammable”.
Kita ”untal” artinya kita telan secara utuh; ”malang” artinya melintang atau miring, berarti dicetak miring (italic).
Alternatifnya, kata tersebut bisa kita padankan dengan kata ”laik-instagram” atau bisa juga ”terinstagramkan”.
L Wilardjo
Klaseman, Salam,
Salatiga