Bagai Domba Melawan Serigala
Menyelamatkan pekerja migran ilegal dan korban perdagangan manusia bukanlah perkara sederhana, termasuk di Batam, Kepulauan Riau. Butuh keberanian dan kenekatan untuk berdiri menghadapi jaringan mafia di belakangnya.
Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong (39) sudah sembilan tahun berkecimpung dalam hal itu. Tak terhitung lagi berapa kali ia menolak suap dan menerima ancaman dari para pelaku untuk membungkam suaranya. Namun, ia bergeming. Teguh pada misi untuk mengangkat wajah kemanusiaan yang telah ringsek.
”Mafia ini bekerja dengan luar biasa; terstruktur, masif, dan sistematis. Namun, mereka juga harus tahu usaha kami membendung mereka juga tak kalah seriusnya,” kata Paschalis di Shelter Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau di Batam, Senin (19/8/2019).
Banyak orang menganggap usaha Paschalis seperti menggarami lautan. Sia-sia karena penyelundupan dan perdagangan orang tetap marak. Namun, kerja kemanusiaan bukan melulu soal hasil dan pencapaian. Yang terpenting dari semuanya adalah kesetiaan. ”Kalau ukurannya keberhasilan, kita akan stres karena kejahatan ada terus. Tetapi kalau setia, kita akan bisa melihat hal lain,” ujar pria yang sudah sembilan tahun ditahbiskan menjadi imam Katolik ini.
Penyelundupan dan perdagangan manusia adalah kejahatan luar biasa. Manusia diperlakukan seperti barang yang bisa dijual dan kepemilikannya dialihkan dari satu orang ke orang lain. Tak bisa dimungkiri, keuntungan dari bisnis jahat itu sangat menggiurkan dan menarik banyak orang terlibat.
Sindikat itu punya jaringan mulai dari level desa untuk mencari orang-orang yang akan ”dipekerjakan” di luar negeri. Calon pekerja migran ilegal itu dikirim ke Batam untuk transit sebelum diselundupkan menuju Malaysia atau negara lain. Data Polda Kepulauan Riau, sepanjang 2019, setidaknya ada lima kasus yang diungkap. Sebanyak 14 orang ditangkap dan lebih dari 120 calon pekerja migran ilegal dipulangkan ke daerah asalnya.
Terakhir, Selasa, 6 Agustus, polisi kembali mengungkap kasus pengiriman pekerja migran ilegal melalui jalur laut. Sebanyak 12 calon pekerja asal Nusa Tenggara Timur dan 9 orang asal Nusa Tenggara Barat digagalkan menyeberang ke Malaysia (Kompas, 7/8/2019).
Pengakuan korban Fatmawati (32), mereka dijanjikan menjadi buruh industri dan perkebunan. Perempuan asal Kabupaten Sumbawa, NTB, itu menantang maut karena di daerahnya minim pekerjaan. Menurut Paschalis, setiap bulan ratusan orang diselundupkan ke luar Batam melalui jalur pelabuhan resmi ataupun ilegal. Keberangkatan melalui ”pelabuhan tikus” menggunakan perahu kecil yang biasanya melebihi kapasitas angkut.
Penyelundup biasanya menurunkan pekerja migran ilegal itu beberapa ratus meter dari bibir pantai untuk menghindari aparat. Tak sedikit yang dilaporkan tewas disapu ombak saat berenang menuju daratan.
Tantangan terberat
Paschalis mengalami tantangan terberat pada 2014. Saat itu, ia mendampingi 24 korban perdagangan orang asal NTT untuk menyeret pelaku ke pengadilan. Saat pengadilan berlangsung, mulai banyak preman dan oknum aparat mendatanginya. Setelah ia tolak tawaran suap Rp 250 juta agar berdamai, ancaman kekerasan dan pembunuhan mulai ramai dikirim.
”Kalau orang bisa sesuka hati berbuat jahat, mengapa kita tak bisa suka-suka pula berbuat baik. Pokoknya, saya enggak mau berhenti,” ucapnya. Gagal melunakkan Paschalis, ancaman itu berhasil membuat para korban bimbang melanjutkan proses hukum. Para korban sangat rawan diancam melalui keluarga dan jerat utang yang dirancang sedari awal sindikat merekrut.
Hal itulah yang paling menguji kesabaran dan kesetiaan Paschalis. Pelan-pelan, ia sadar, tidak bisa seorang diri menjamin keamanan korban. Sejak saat itu, ia meminta bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk datang mendampingi mereka.
Hukum tak berwibawa
Lama berkecimpung di gerakan kemanusiaan menyelamatkan pekerja migran ilegal dan korban perdagangan orang membuat Paschalis merasakan tak berwibawanya hukum di Indonesia. Tersangka perdagangan orang tidak pernah dihukum setimpal. Bahkan, beberapa di antaranya tidak ditangkap.
”Penegakan hukum masih lemah sekali. Hukum ada di atas meja, tetapi tidak pernah diterapkan semestinya,” ujarnya. Lewat sambungan telepon, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengapresiasi kesetiaan Paschalis bekerja bagi kemanusiaan di tengah badai suap dan ancaman. ”Aktivis kemanusiaan di Batam menghadapi tantangan berat. Sindikat perdagangan manusia berpengaruh besar. Bahkan, berani mengancam seorang imam Katolik,” katanya.
Atas dedikasinya itu, Paschalis akan menerima penghargaan LPSK pada 28 Agustus 2019 di Jakarta. Ada tiga lembaga dan dua orang lagi. ”Ini bukan pekerjaan yang luar biasa. Semua orang seharusnya melakukan hal ini. Menolong sesama adalah panggilan semua insan sebagai seorang manusia. Persoalannya adalah mau atau tidak,” ujar Paschalis.
Sebagai warga sipil biasa, ia berseru dan membela korban perdagangan manusia. Di tengah sindikat kuat di Batam, ia seperti domba yang mengembik keras mencegah kawanannya dimangsa serigala. Paschalis berharap suaranya menarik kian banyak orang peduli. ”Kalau elemen (aparat) tidak mau bersuara, menjadi tanggung jawab kita sebagai manusia untuk bersuara demi menyelamatkan saudara kita semua,” katanya.