Sinar lampu solar kecil yang dipegangi puluhan anak suku Baduy Luar menerangi rumah salah seorang warga di Kampung Kadujangkung, Desa Kanekes, Kecamatan Leuidamar, Lebak, Banten, Kamis (8/8/2019). Sayup-sayup mulai terdengar tawa tertahan bernada gembira dari anak-anak Baduy Luar.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Sinar lampu solar kecil yang dipegangi puluhan anak suku Baduy Luar menerangi rumah salah seorang warga di Kampung Kadujangkung, Desa Kanekes, Kecamatan Leuidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (8/8/2019). Suasana rumah panggung yang tadinya sunyi dan gelap, sayup-sayup mulai terdengar suara tawa tertahan dengan nada gembira dari anak-anak Baduy Luar.
Sekitar 30 anak laki-laki dan perempuan Baduy Luar berjuang cukup keras untuk merakit lampu solar yang dibawa rombongan Majalah Sains Kuark setelah menempuh jalan kaki yang menanjak naik dan turun sekitar 1,5 jam dari Desa Ciboleger. Pembagian lampu solar berukuran kecil bagi anak-anak Baduy Luar itu merupakan amanah dari anak-anak SD peserta final Olimpiade Sains Kuark (OSK) 2019 yang tahun ini mengambil tema #BerbagiTerang.
Sebanyak 304 finalis OSK 2019 pada Juli 2019 ambil bagian merakit seribu lampu solar. Anak-anak SD kelas I-VI dari sejumlah daerah di Indonesia tersebut diminta untuk menyebutkan daerah yang ingin dibagikan lampu solar. Anak-anak suku Baduy menjadi salah satu tujuan yang populer.
Finalis OSK 2019, Laurencia Sekar A, siswa SD Putra Bangsa, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, salah satu yang memilih Baduy. Dalam suratnya, Laurencia memuji suku Baduy yang punya kearifan lokal untuk menjaga dan melestarikan alam dengan baik sehingga alam terjaga dari kerusakan dan pencemaran yang berdampak pada perubahan iklim.
”Kuharap, teman yang menerima surat dan lampu ini supaya tergerak dan semangat untuk menjaga kearifan lokal untuk melestarikan dan menjaga alam serta terbuka untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang ramah lingkungan untuk kemajuan Indonesia, sekaligus bekerja sama mencegah perubahan iklim di Indonesia,” tulis Laurencia.
Direktur PT Kuark Internasional Sanny Djohan mengatakan, pembagian lampu solar untuk anak-anak suku Baduy lewat program #BerbagiTerang Goes To Baduy merupakan aksi simbolis untuk berbagi cahaya pengetahuan di seluruh Indonesia. Kegiatan ini juga diberikan kepada beberapa sekolah di tujuh daerah di Indonesia yang membutuhkan penerangan, yaitu di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumba Barat Daya, suku Baduy Luar di Banten, Kabupaten Tulang Bawang Barat, dan beberapa lokasi lain.
Program tersebut bertujuan untuk menginspirasi anak-anak Indonesia agar dapat belajar untuk terus menyerap cahaya pengetahuan dari berbagai sumber dan memberikan penerangan bagi masa depan mereka. Selain itu, program ini juga diharapkan bisa mengedukasi dan memberikan contoh energi alternatif terbarukan sehingga bisa mengurangi penggunaan energi fosil dan berkontribusi dalam mengurangi jejak karbon.
”Anak-anak Indonesia merupakan agen perubahan. Kita perlu memupuk semangat mereka untuk terus berkembang. Dengan mengenalkan sains secara menyenangkan, kita membantu anak-anak mengembangkan ilmunya dan menghasilkan inovasi untuk membantu orang-orang di sekitarnya. Dan, tentunya, menjadi inspirasi bagi anak-anak Indonesia,” ujar Sanny.
Motivasi belajar
Saat diajak merakit lampu solar dalam pot kecil berwarna-warni dengan bola lampu seukuran bohlam senter dan daun kecil berwarna hijau untuk panel surya, awalnya anak-anak tampak kesulitan. Belum banyak anak yang lancar membaca instruksi yang ada di kotak pembungkus ataupun di pot sehingga kegiatan untuk menyambungkan kabel sesuai dengan tulisan yang tertera cukup terhambat.
Sedikit anak besar yang bisa membaca tampak malu-malu saat diminta membacakan dengan nyaring instruksi tertulis di pot. ”Ayo, jangan malu. Kalian, kan, sudah bisa membaca,” ujar Narman, pemuda Baduy Luar yang bergiat di Rumah Baca Akar Baduy untuk menumbuhkan minat baca anak-anak Baduy Luar. Rumah baca yang didirikan temannya itu berlokasi di rumah Narman di Kampung Morengo.
Dengan sabar, rombongan dari Kuark mengajari anak-anak untuk memasang sejumlah kabel penghubung guna memfungsikan lampu solar. Satu per satu terdengar suara girang yang tertahan karena lampu berhasil menyala.
Setelah semua anak selesai merakit lampu solar, mereka masuk ke rumah panggung yang gelap. Mereka diminta untuk mengangkat lampu solar yang menyala sebagai simbol terang.
”Nanti adik-adik bisa pakai lampunya untuk belajar ya, membaca buku di rumah,” ujar Ridwan dari Majalah Sains Kuark.
Di kawasan suku Baduy Luar sampai saat ini tidak ada aliran listrik dan sinyal telepon. Namun, penerangan dengan lampu solar sudah mulai dikenal dan digunakan warga di rumah mereka.
Peran keluarga
Narman mengatakan, anak-anak suku Baduy memang tidak diizinkan pergi ke sekolah. ”Tidak ke sekolah, bukan berarti tidak belajar. Masyarakat adat Baduy punya sistem pendidikan yang menjadi tanggung jawab keluarga. Pendidikan berlangsung di keluarga masing-masing,” ujar Narman yang sering menjadi pemandu orang luar yang berkunjung ke suku Baduy Luar.
Keluarga, khususnya orangtua, mengajarkan nilai-nilai dan tradisi turun-temurun, pertanian, hingga baca tulis, kepada anak-anak mereka di rumah. Jika orangtua tak bisa membaca dan menulis, teman sebaya anak-anak saling mengajari saat bertemu.
”Sistem pendidikan Baduy lewat keluarga sebenarnya baik. Saya sendiri belajar membaca menulis bukan di sekolah, tapi dari orangtua, dari paman. Saya jadi senang membaca banyak buku dan belajar banyak hal,” kisah Narman yang meraih penghargaan Semangat Astra Terpadu (SATU) Award Bidang Kewirausahaan Tahun 2018 dari PT Astra International Tbk.
Namun, ujar Narman, peran keluarga untuk mendidik anak belum maksimal, apalagi menghadapi tantangan perubahan zaman. Ia melihat motivasi belajar yang kuat belum tumbuh di dalam diri anak-anak. Hal ini terlihat dari semangat membaca buku di rumah bacanya yang belum baik.
Meskipun tidak secara terang-terangan, Narman dengan sukarela membantu anak-anak yang datang ke rumah baca yang kesulitan membaca. Ia mendampingi anak-anak untuk mengenal huruf dan lancar membaca. Sejumlah anak lain yang sudah lancar membaca membantu anak-anak yang belum lancar membaca.
Membaca bagi sebagian besar anak-anak suku Baduy masih menjadi tantangan. Muna (10), anak perempuan Baduy Luar, hanya mampu mengucap sejumlah huruf, yakni abc. Saat diminta mengeja namanya, ia menggelengkan kepala. Ia pun hanya mampu menghitung angka 1-20.
Sarinah (37), ibu dua anak dan satu cucu, tak bisa membaca dan menulis sehingga kesulitan mengajari anak lelakinya, Bani (9). Di usia ini, Bani belum terlalu lancar membaca. Beruntung, Bani diajari teman bermainnya yang bisa membaca.
”Bani sering dibawa ke ladang untuk menanam padi dan pisang. Nanti hasilnya dijual ke Ciboleger, dipikul dengan bapak,” ujar Sarinah mengisahkan keseharian anaknya.
Bagi Narman, sistem pendidikan suku Baduy yang meletakkan tanggung jawab kepada keluarga diyakininya baik dan pas dengan masyarakat adat. ”Memang perlu dukungan untuk mendorong orangtua supaya lebih bisa memotivasi anak belajar. Selama ini biasanya belajar membaca menulis dengan orangtua di malam hari,” kata Narman.
Seperti yang diungkapkan peserta finalis OSK, #BerbagiTerang semoga bisa membawa anak-anak suku Baduy Luar terang dalam menjaga kearifan lokal. Belajar memang jadi bagian penting untuk menjaga kearifan lokal tersebut dengan cara yang sesuai dengan keyakinan masyarakat suku Baduy Luar.