Keberhasilan pemerintah memberantas praktik perikanan ilegal dinilai masih belum seiring sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perikanan. Di pengujung periode 2015-2019, kinerja produksi dan ekspor perikanan masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah.
Pada Januari-April 2019, produksi perikanan sebanyak 6,55 juta ton, yang meliputi perikanan tangkap 1,9 juta ton dan perikanan budidaya 4,65 juta ton. Pencapaian itu baru 16 persen dari target produksi perikanan dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015-2019.
Renstra KKP 2015-2019 dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63 Tahun 2017 menyebutkan, produksi perikanan nasional ditargetkan meningkat dua kali lipat, yakni dari 20,72 juta ton pada 2014 menjadi 39,97 juta ton pada 2019. Indikator kinerja produksi dalam Renstra yang sudah direvisi dua kali itu lebih rendah dibandingkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 yang dipatok 49 juta ton.
Nilai ekspor hasil perikanan dalam Renstra 2015-2019 ditargetkan 9,54 miliar dollar AS. Namun, proyeksi KKP, nilai ekspor perikanan 2019 sekitar 5,5 miliar dollar AS. Pada triwulan I-2019, realisasi ekspor 1,52 miliar dollar AS. Sementara, investasi di sektor perikanan Rp 700 miliar (2015), Rp 600 miliar (2016), Rp 800 miliar (2017), dan Rp 400 miliar (2018).
Kinerja perikanan yang belum optimal berujung pada pertumbuhan ekonomi sektor perikanan pada 2015-2019 yang cenderung melambat. Ekonomi perikanan pada 2014 tumbuh 7,35 persen dan 2015 tumbuh 7,89 persen. Namun, pada 2016-2018, pertumbuhan ekonomi perikanan kurang dari 6 persen. Sementara, pada semester I-2019, ekonomi perikanan hanya tumbuh 6,25 persen.
Tak dapat dipungkiri, pelambatan pertumbuhan ekonomi perikanan dipengaruhi kondisi pelambatan pertumbuhan perekonomian global. Namun, peluang selalu terbuka jika Indonesia jeli melihat potensi pasar di luar negeri dan dalam negeri. Tren peningkatan konsumsi ikan dalam negeri merupakan peluang untuk memperkuat pasar domestik.
Langkah memperluas pasar domestik telah digarap pelaku usaha udang. Saat ini ada 5 perusahaan di Surabaya, Banyuwangi, Sidoarjo, dan Gresik (Jawa Timur) yang memasarkan udang beku kualitas ekspor ke pasar lokal.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) 2018, mencatat, kendati Indonesia merupakan produsen perikanan budidaya nomor tiga dunia dan produsen perikanan tangkap laut nomor dua dunia. Namun, Indonesia tidak masuk sebagai 10 besar eksportir produk perikanan dunia. Ekspor Indonesia masih jauh tertinggal dari Vietnam dan Thailand , yang ada di peringkat 3 dan 4 eksportir dunia.
Tantangan pasar akan semakin besar seiring persaingan global yang kian ketat. FAO dan Organisasi Internasional di bidang Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan pada 2024, China menjadi pemain utama pasar perikanan dunia dengan menguasai 21 persen ekspor global, diikuti Vietnam (8 persen) dan Norwegia (8 persen).
Momentum 2020-2024 merupakan ajang pembuktian komitmen untuk memperkuat hulu-hilir industri perikanan. Kemudahan iklim investasi dan percepatan industrialisasi perikanan adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Di perikanan tangkap, percepatan industrialisasi hulu-hilir tak hanya memerlukan penguatan modal, namun juga industri pengolahan yang berdaya saing. Sementara, di perikanan budidaya, optimalisasi lahan serta perbaikan sarana dan prasarana produksi, mesti diutamakan.
Target RPJMN 2020-2024 perlu disikapi dengan menyusun strategi pencapaian, bukan dengan mengoreksi dan memangkas target. Saatnya berbenah! (BM Lukita Grahadyarini)