Jurnalisme Damai Redam Konflik dan Tawarkan Solusi
›
Jurnalisme Damai Redam Konflik...
Iklan
Jurnalisme Damai Redam Konflik dan Tawarkan Solusi
Aliansi Jurnalis Independen mengimbau jurnalis dan media menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme damai dalam pemberitaan peristiwa-peristiwa bernuansa konflik. Tujuannya, menurunkan potensi konflik serta mendorong penyelesaian konflik sesegera mungkin.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aliansi Jurnalis Independen mengimbau jurnalis dan media menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme damai dalam pemberitaan peristiwa-peristiwa bernuansa konflik. Jurnalisme damai dijalankan dengan mengedepankan fakta-fakta yang berpotensi menurunkan potensi konflik serta mendorong penyelesaian konflik sesegera mungkin.
Seruan ini disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) setelah media-media menayangkan rentetan pemberitaan peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya, Jawa Timur, oleh organisasi massa, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya, polisi, dan tentara, Jumat (16/8/2019). Dalam peristiwa pengepungan itu terlontar ungkapan-ungkapan rasis yang videonya langsung menjadi viral di dunia maya.
Peristiwa di Surabaya ternyata memicu ketegangan dan insiden di kota lainnya, seperti Malang, Semarang, Manokwari, dan Jayapura. ”Dalam memberitakan peristiwa itu, ada media yang menggunakan istilah yang terkesan memberi stigma negatif, misalnya menulis judul berita yang antara lain menyebut soal mahasiswa Papua ’keras kepala’, ’melakukan aksi anarkis’, dan ’membuat rusuh’ dengan tanpa dukungan data dan informasi yang memadai. Ada juga yang informasinya tak berimbang dengan tak meminta pihak yang dituduh berbuat rusuh tersebut menyampaikan penjelasan menurut versinya,” tutur Ketua Umum AJI Abdul Manan, Selasa (20/8/2019), di Jakarta.
Pemilihan angle dan sudut pandang pemberitaan yang kurang sensitif seringkali justru tidak memberikan kontribusi positif bagi membaiknya kondisi di daerah konflik. Sebaliknya, masyarakat justru berpotensi tersulut emosinya dan memicu dampak susulan setelah membaca pemberitaan-pemberitaan media.
Pemilihan angle dan sudut pandang pemberitaan yang kurang sensitif seringkali justru tidak memberikan kontribusi positif bagi membaiknya kondisi di daerah konflik.
Begitu jurnalisme justru mengamplifikasi konflik, ia otomatis mengingkari kodrat dasarnya untuk mendahulukan kepentingan publik. Prinsip ini tertuang dalam sembilan elemen jurnalistik menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel secara tegas menyebutkan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
Tidak hilangkan fakta
Menurut Manan, jurnalisme damai tidak berpretensi untuk menghilangkan fakta. Akan tetapi, yang diutamakan dari jurnalis atau media adalah angle pemberitaan yang berpotensi meredam konflik dan menawarkan solusi-solusi positif.
”Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik menegaskan jurnalis dan media untuk tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras. Sikap itu ditunjukkan antara lain dengan tidak mudah mempercayai informasi, apalagi sekadar tuduhan dari pihak mana pun. Dalam membuat berita, jurnalis dan media hendaknya jangan mengesankan membenarkan tindakan rasis, baik oleh ormas maupun aparat keamanan,” tutur Ketua Bidang Pendidikan, Etik dan Profesi AJI, Dandy Koswaraputra, menambahkan.
Karena itulah, AJI mengimbau jurnalis dan media agar memberitakan peristiwa di Manokwari dan Jayapura sesuai kaidah Kode Etik Jurnalistik, antara lain dengan melakukan verifikasi sebelum mengunggah atau menayangkan berita, menghindari memuat berita dari sumber yang tidak jelas, dan menuliskannya seakurat mungkin berdasarkan fakta. ”Media hendaknya tidak tergoda untuk memuat berita sensasional meski itu mengundang jumlah pembaca yang tinggi,” ujarnya.
Terkait pernyataan-pernyataan rasis yang terlontar dari sejumlah oknum di Surabaya, AJI meminta pemerintah melakukan proses hukum yang tegas sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Bagaimanapun, aparat keamanan harus tetap menghormati aspirasi yang disampaikan warga Papua secara damai dan memenuhi ketentuan hukum. Sebab, aspirasi tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi.
Sebelumnya, pengajar Etika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, J Haryatmoko SJ, mengatakan, pada era pascakebenaran saat ini, prinsip-prinsip deontologi (ilmu mengenai kewajiban etis) jurnalisme semakin diabaikan. Beberapa prinsip etika jurnalisme yang diabaikan antara lain hormat dan perlindungan atas hak warga negara akan informasi yang tepercaya, tepat, serta jujur berikut sarana-sarana untuk mendapatkannya.
Pada era pascakebenaran saat ini, prinsip-prinsip deontologi (ilmu mengenai kewajiban etis) jurnalisme semakin diabaikan.
Prinsip etika jurnalisme lain yang juga diabaikan adalah hak dan perlindungan atas hak individu warga negara, seperti hak bersuara, hak berekspresi, jaminan atas privasi, dan asas praduga tak bersalah.