Seusai Forum Indonesia-Afrika, April 2018, Bali kembali jadi tuan rumah temu Indonesia dan 53 mitra Afrika. Kali ini Dialog Infrastruktur Indonesia-Afrika.
Pada Forum Indonesia-Afrika (IAF) 2018 ditandatangani 10 kesepakatan bisnis senilai total 586,86 juta dollar Amerika Serikat. Dalam Dialog Infrastruktur Indonesia-Afrika (IAID) 2019 ditargetkan transaksi sedikitnya Rp 7 triliun dalam bentuk proyek di bidang infrastruktur di Afrika.
Infrastruktur menjadi fokus sebab merupakan sektor prioritas kedua pihak. Sebagai kawasan dengan perekonomian yang tengah menggeliat, Afrika dihadapkan pada kebutuhan masif pembangunan infrastruktur, diprediksi mencapai 6 triliun dollar AS dalam kurun 2016-2040. Bagi Indonesia, ini membuka peluang bagi badan usaha milik negara dan sektor swasta untuk terlibat dalam proyek ini, serta kesempatan memperluas pengalaman bermain di pasar global.
Lima dari 10 kesepakatan yang ditandatangani di IAF 2018 kebetulan juga proyek infrastruktur. Dimulai dari IAF, diplomasi ekonomi Indonesia dan Afrika mengalami progres impresif. Setahun setelah IAF digelar, ditargetkan ditandatangani kesepakatan di bidang perdagangan untuk penurunan tarif dalam kerangka Preferential Trade Agreement secara bilateral dengan sejumlah negara, dimulai dari Mozambik, lalu Tunisia dan Maroko—seluruhnya ditargetkan 2019—dan mungkin menyusul Angola dan Afrika Selatan.
Kita tak bisa memandang sebelah mata lagi terhadap Afrika. Dengan pertumbuhan pesat ekonomi, Afrika diperkirakan Forum Ekonomi Dunia akan menjadi lokomotif pertumbuhan global abad ke-22, menggantikan Asia sekarang ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi dalam kurun 2015-2050 penduduk Afrika meningkat dari 1,2 miliar menjadi 2,5 miliar. Berarti satu dari setiap lima penduduk dunia tinggal di Afrika. Daya belinya terus meningkat. Itu pasar raksasa.
Kita tak bisa lagi terlalu bergantung pada pasar-pasar tradisional yang terbukti jadi sumber kerentanan ekonomi Indonesia.
Perubahan geopolitik dan geoekonomi global yang cepat dan cenderung kurang menguntungkan bagi Indonesia—termasuk perang dagang, kebijakan perdagangan negara maju yang diskriminatif, perlambatan ekonomi global—ikut memberi momentum bagi dipercepatnya peningkatan kerja sama dan diplomasi ekonomi dengan kawasan nontradisional. Kita tak bisa lagi terlalu bergantung pada pasar-pasar tradisional yang terbukti jadi sumber kerentanan ekonomi Indonesia.
Selain ikatan politik kuat yang terbangun sejak Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung, Afrika jelas bukan mitra dagang baru bagi Indonesia. Kendati volume perdagangan terus meningkat dari tahun ke tahun, angkanya tak signifikan dibandingkan potensi yang ada dan total ekspor Indonesia.
IAF/IAID menjadi semacam positioning penting Indonesia menyikapi perubahan cepat geopolitik dan ekonomi global. Kita tak boleh terlambat lagi mengambil manfaat dari perubahan yang terjadi dan peluang yang terbuka. Lebih penting lagi, kita tentu tak berharap forum ini hanya gegap gempita di awal, tetapi kemudian melempem di belakang. Tak sedikit kesepakatan kerja sama ekonomi dan perjanjian dagang yang pernah kita tanda tangani di masa lalu, akhirnya tak banyak membawa manfaat bagi Indonesia, semata karena kita tak siap dan tak mampu memanfaatkan momentum yang ada.