Pemerintah Jaga Keseimbangan Penerimaan dan Belanja Pajak
›
Pemerintah Jaga Keseimbangan...
Iklan
Pemerintah Jaga Keseimbangan Penerimaan dan Belanja Pajak
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak melonjak 13 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2020. Meski target itu dinilai terlalu tinggi dan sulit dicapai, pemerintah tetap akan memberikan insentif kepada masyarakat dan dunia usaha lewat belanja pajak.
Dalam sepuluh tahun terakhir, target penerimaan perpajakan dalam RAPBN tidak pernah tercapai. Dalam RAPBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan pajak tinggi, naik 13,3 persen dari proyeksi 2019 menjadi Rp 1.861,7 triliun. Kenaikan itu untuk memacu proyeksi pendapatan negara sebesar Rp 2.221,5 triliun.
“Kita harus terus meningkatkan penerimaan negara untuk menciptakan kemandirian fiskal. Untuk itu kita akan teruskan reformasi di bidang perpajakan yang lebih fokus dan efektif. Meski begitu, kebijakan perpajakan akan dilakukan secara seimbang,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu (21/8/2019), di Jakarta.
Dalam hal penerimaan, Kemenkeu berkomitmen memperbaiki administrasi, khususnya dalam basis data dan teknologi informasi perpajakan. Pemerintah juga akan negosiasi ulang terhadap penghindaran pajak berganda dari sisi instrumen multilateral.
Sementara itu, Kemenkeu tetap akan menyeimbangkan penerimaan dengan belanja pajak. Pemberian insentif melalui belanja pajak itu dilakukan untuk memfasilitasi masyarakat dan dunia usaha.
“Kebijakan perpajakan tidak hanya mengumpulkan tetapi juga belanja pajak. Ini untuk menstimulasi ekonomi di masyarakat dan dunia usaha. Kami sudah lakukan ini sejak tahun lalu,” kata Sri Mulyani.
Pada 2018, pemerintah melakukan belanja pajak sebesar Rp 221 triliun atau mencapai 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya Rp 196 triliun. Potensi penerimaan yang cukup besar itu tidak diterima negara, tetapi bisa berdampak pada terdorongnya ekonomi seperti naiknya belanja rumah tangga atau investasi.
Pada 2018, pemerintah melakukan belanja pajak sebesar Rp 221 triliun atau mencapai 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB)
Sri menambahkan, pemerintah juga akan memberikan insentif pajak pada bidang yang menjadi prioritas pembangunan seperti misalnya sumber daya manusia. “Seperti bidang litbang yang disebutkan kita kurang kompetitif dan pelatihan dari sisi vokasi untuk meningkatkan SDM,” ucapnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, belanja pajak sebesar Rp 221 triliun berasal dari penerimaan pajak yang tidak jadi dikumpulkan. Pemerintah membuat pengecualian atau keringanan pajak terhadap beberapa sektor yang bisa mendorong ekonomi.
“Seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Mereka pasti minta pajaknya jangan sama. Lalu disetujui dalam Peraturan Menteri. Kemudian si pengusaha menikmati insentif. Nilai potensi penerimaan ini yang kita masukkan ke dalam kategori belanja pajak,” sebut Suahasil.
Keseimbangan antara penerimaan dan belanja pajak menjadi strategi prioritas dalam tahun-tahun ke depan. Adapun 85 persen PDB berasal dari dunia usaha dan masyarakat. Sisanya baru berasal dari APBN yang ditopang oleh penerimaan pajak.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Raden Pardede mengucapkan, pelaku usaha sebenarnya tidak hanya terpaku pada besar atau kecilnya pajak. Mereka juga melihat faktor lain seperti birokrasi yang rumit atau logistik yang mahal sebagai pertimbangan berbisnis.
“Tentu dunia usaha mau pajak sekecil mungkin. Tetapi ada hal lain yang lebih penting dari pajak seperti administrasi yang kompleks, pungutan, dan logistik yang cukup mahal. Saya lihat kalau gangguan ini bisa dikurangi, bisa jadi pajak bukan lagi hal utama,” kata Raden.
Untuk itu, menurut Raden, prioritas utama yang harus diperbaiki adalah kemudahan perizinan dan akses dalam berbisnis. Hal itu akan membuat reformasi perpajakan lebih efektif.
Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) Andreas Eddy Susetyo menjelaskan, Kemenkeu perlu berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan untuk membicarakan akuntabilitas dari belanja pajak. Sebab alokasi dari belanja pajak belum bisa diukur manfaatnya.
Sementara itu, Menurut Andreas, Kemenkeu sebaiknya lebih realisitis terhadap penerimaan pajak pada 2020. Sebab, target pajak dalam RAPBN tidak pernah tercapai dalam 10 tahun terakhir.
Apalagi pada semester I-2019, penerimaan pajak hanya bertumbuh 3,75 persen secara tahunan. Pertumbuhan itu jauh lebih rendah daripada kenaikan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 13,9 persen.
“Target penerimaan pajak 2020 terlalu optimistis. Sampai 10 tahun terakhir penerimaan pajak belum terlepas dari tren harga komoditas. Reformasi pajak yang selama ini kita lakukan belum terlihat hasilnya,” pungkas Andreas.