Penelitian dan Perlindungan Keanekaragaman Hayati Harus Seiring
›
Penelitian dan Perlindungan...
Iklan
Penelitian dan Perlindungan Keanekaragaman Hayati Harus Seiring
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan hayati Indonesia seolah tak habis untuk dieksplorasi manfaatnya bagi kehidupan. Mulai dari obat berbagai penyakit hingga pemanfaatan untuk pangan, zat aditif, dan perteknikan. Ini memperkuat akan pentingnya perlindungan bagi ekosistem alami tempat tumbuhan tersebut hidup.
Menurut data LIPI, terdapat 30.000 tanaman di Indonesia sekitar 9.000 jenis diantaranya bisa dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Namun di lapangan, baru 1.000 jenis tanaman yang dimanfaatkan industri menjadi 283 jenis jamu. Selanjutnya, jamu yang telah terstandar herbal berjumlah 60 dan selanjutnya hanya 20 obat herbal telah teruji secara fitofarmaka atau teruji secara klinis.
Menurut data LIPI, terdapat 30.000 tanaman di Indonesia sekitar 9.000 jenis diantaranya bisa dimanfaatkan sebagai tanaman obat.
Jamilah, peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, Selasa (20/8/2019), di Jakarta, mengatakan Indonesia dengan kekayaan sumber daya hayati sangat tinggi tersebut masih menggantungkan obat-obatan kanker maupun malaria dari impor. Kondisi ironi ini bisa diatasi apabila riset dan pemanfaatan hasil riset tersebut dilakukan secara terpadu.
Ia menggunakan tanaman bintangur atau nyamplung (Calophyllum sp) di Indonesia untuk mencari “lawan” baru bagi parasit malaria yang telah resisten dengan berbagai jenis obat-obatan impor. Ia telah menjumpai titik terang penelitian ini, namun masih membutuhkan uji klinis agar dapat diterapkan langsung pada pengobatan.
“Di Indonesia peluang untuk pengembangan senyawa aktif antikanker dan antimalaria untuk dijadikan obat antikanker dan antimalaria pengganti obat impor masih terbuka lebar. Bervariasinya tumbuhan Calophyllum sebagai sumber bahan baku menuntut banyak riset dan pengembangan agar dapat menghasilkan senyawa baru untuk dijadikan obat antimalaria dan antikanker yang lebih efektif, aman, dan ekonomis,” kata Jamilah dalam orasinya saat dikukuhkan menjadi professor riset bersama tiga koleganya di LIPI.
Di Indonesia peluang untuk pengembangan senyawa aktif antikanker dan antimalaria untuk dijadikan obat antikanker dan antimalaria pengganti obat impor masih terbuka lebar.
Karena itu, lanjutnya, perlu dilakukan kerja sama yang terpadu antara institusi penelitian dengan pihak industri bahan baku obat antikanker dan antimalaria yang memanfaatkan bahan baku tumbuhan Calophyllum. Ini agar produk tersebut dapat bersaing dengan harga impor.
Di sisi lain, LIPI juga mulai melengkapi infrastruktur untuk pemanfaatan tanaman sebagai obat. Ini diharapkan dapat mempercepat penelitian dan pemanfaatan tumbuhan obat yang terstandar dan dimanfaatkan secara aman.
“Kita bangun CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) dan lain-lain, tidak hanya dimanfaatkan oleh LIPI, tapi juga komunitas ilmiah di negeri ini. Kita lakukan pembenahan manajemen, anggaran, dan sumberdaya manusia, serta infrastruktur,” kata Laksana Tri Handoko, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Selasa (20/8/2019) di Jakarta usai menyaksikan pengukuhan empat profesor riset LIPI.
Namun sayangnya, pada upaya pemanfaatan sumber-sumber keanekaragaman hayati tersebut juga menghadapi ancaman terhadap tempat hidup tumbuhan tersebut maupun kesehatan ekosistemnya. Ancaman tersebut berupa pembalakan liar, alih fungsi lahan, dan kebakaran hutan.
“Hal ini perlu dicegah dengan menunjukkan potensi nyata dari berbagai keanekaragaman hayati Indonesia. Salah satu potensi tersebut ialah pemanfaatannya sebagai obat,” kata Nina Artanti, peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, dalam orasinya sebagai profesor riset.
Selain itu, pembuktian ilmiah dari bioaktivitas tertentu pun dibutuhkan dalam riset-riset herbal dan bahan aktif untuk obat berbasis keanekaragaman hayati. “Pembuktian ini dibutuhkan untuk pengembangan obat herbal yang sebelumnya hanya memiliki data empiris; untuk screenning (pemilihan) awal tumbuhan dan mikroba yang memiliki bioaktivitas tertentu, dan untuk mendapatkan fraksi dan isolasi lead compound (zat utama) dengan bioaktivitas tertentu yang dapat dikembangkan menjadi bahan aktif obat,” kata dia.
Pemanfaatan tumbuhan yang tak kalah bernilai tinggi melalui ekstraksi minyak atsiri. Anny Sulaswatty, peneliti Pusat Penelitian Kimia professor riset yang juga dikukuhkan pada Selasa kemarin, mengatakan terdapat 40 tumbuhan di Indonesia yang bisa menghasilkan minyak atsiri. Dari jumlah itu telah dimanfaatkan 19 minyak atsiri yang popular diantaranya cengkeh, nilam, kenanga, jahe, serai wangi, kayu manis, pala, kenanga, kayu putih.
Terdapat 40 tumbuhan di Indonesia yang bisa menghasilkan minyak atsiri. Dari jumlah itu telah dimanfaatkan 19 minyak atsiri.
Ia mendorong agar masyarakat memiliki kemampuan mengolah tanaman-tanaman atsiri itu tak sampai hanya pada penyulingan. Metode fraksonasi dan sintesa kimia menurutnya bisa dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah minyak atsiri. Minyak atsiri itu tak hanya untuk bahan parfum tapi juga bisa sebagai bahan pengawet makanan dan perasa.