Penjual Sisik Trenggiling dan Duri Landak Diringkus
›
Penjual Sisik Trenggiling dan ...
Iklan
Penjual Sisik Trenggiling dan Duri Landak Diringkus
Kepolisian Resor Banda Aceh, Aceh, meringkus tiga tersangka penjualan organ satwa lindung, yakni sisik trenggiling (Manis javanica) dan duri landak (Hystrix brachyura). Ketiganya adalah KF, SF, dan FZ yang bertindak sebagai pengepul.
Oleh
Zulkarnaini Masry
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Kepolisian Resor Banda Aceh, Aceh, meringkus tiga tersangka penjualan organ satwa lindung, yakni sisik trenggiling (Manis javanica) dan duri landak (Hystrix brachyura). Ketiganya adalah KF, SF, dan FZ yang bertindak sebagai pengepul. Kasus ini didorong menjadi pintu masuk bagi polisi untuk membongkar tata niaga organ satwa lindung.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Banda Aceh Ajun Komisaris Polisi Muhammad Taufik kepada wartawan, Rabu (21/8/2019), menuturkan, KF dan SF ditangkap pada Senin (19/8/2019) di sebuah hotel di Banda Aceh, sedangkan FZ ditangkap pada Selasa di kawasan Seulimuem, Aceh Besar.
Bersama KF dan SF polisi menemukan barang bukti berupa 6,3 kilogram sisik trenggiling dan 115 batang duri landak. Dua tersangka menyebutkan organ satwa lindung itu diperoleh dari FZ. ”KF dan SF sebagai pengepul, sedangkan FZ sebagai pencari di lapangan,” kata Taufik.
Polisi masih mendalami siapa pemesan atau penampung organ satwa lindung itu. Menurut Taufik, pemesan barang adalah orang lokal, ada kemungkinan barang itu akan dikirimkan ke luar negeri karena kegunaan barang itu penting untuk pembuatan sabu dan kosmetik. ”Kulit trenggiling adalah bahan baku pembuatan sabu dan bahan kosmetik,” kata Taufik.
Kulit trenggiling adalah bahan baku pembuatan sabu dan bahan kosmetik.
Perdagangan organ satwa lindung itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Tersangka diancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan, perdagangan satwa lindung telah memicu perburuan secara masif. Perburuan dilakukan dengan cara memasang jerat, menembak, meracun, dan memasang perangkap. Beberapa satwa lindung yang kerap jadi sasaran perburuan adalah gajah, harimau, trenggiling, rangkong, dan orangutan.
Sapto mengatakan, dalam banyak kasus perdagangan satwa, penyidik kesulitan membongkar siapa dalang utama atau pemesan. Meski penyidik telah mendapatkan informasi keterlibatan seseorang sebagai dalang, minim alat bukti untuk menjeratnya.
Penyidik kesulitan membongkar siapa dalang utama atau pemesan.
Misalnya, dalam kasus penembakan gajah sumatera di Aceh Tengah pada 2017. Pelaku penembakan diproses hukum hingga vonis. ”Sebenarnya siapa pemesan gading gajah itu sudah kami ketahui, tetapi tidak cukup alat bukti untuk menangkapnya. Sampai sekarang gading gajah itu tidak diketahui di mana,” kata Sapto.
Penegakan hukum
Koordinator Wildlife Protection Team-Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) Dediansyah menuturkan, permintaan terhadap organ satwa di pasar gelap tinggi sehingga perburuan juga marak. Namun, dengan penegakan hukum yang kuat para pemburu tidak akan berani membunuh satwa lindung. ”Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa-satwa lindung ini akan punah,” kata Dediansyah.
Forum Konservasi Leuser yang menurunkan tim patroli di kawasan hutan Leuser untuk mencari jerat dan menghalau pemburu menemukan banyak kasus perburuan. Selama 2018 tim menemukan 613 kasus perburuan, sebanyak 843 jerat dan perangkap, dan 176 kemah pemburu. Saat melakukan patroli, tim juga menemukan 38 pemburu yang sedang memasang perangkap dan menemukan sebanyak 96 bangkai satwa yang diduga mati karena diburu.
Patroli dilakukan selama 302 kali (satu kali patroli berdurasi 15 hari) yang dilakukan oleh 26 tim. Selama setahun, tim patroli telah menempuh perjalanan 18.800 kilometer.