Perang Produk Ekspor ”Berwajah Ganda”
Produk ekspor ”berwajah ganda” meresahkan sejumlah negara. Produk-produk tersebut yang memicu perang dagang beberapa negara, seperti Amerika Serikat dengan China dan Jepang dengan Korea Selatan.
Kemajuan teknologi semakin meningkatkan keragaman produk perdagangan. Produk-produk itu menyangkut pula barang-barang ekspor ”berwajah ganda” atau berfungsi ganda. Di satu sisi, produk-produk komersial itu bermanfaat bagi masyarakat kebanyakan, di sisi lain produk-produk itu dimanfaatkan untuk kepentingan militer dan intelijen.
Produk-produk berfungsi ganda atau dual-use goods itu antara lain berupa perangkat lunak dan keras berteknologi tinggi, semikonduktor, bahan kimia, bakteri, virus, dan toksin. Produk-produk tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan senjata pemusnah massal dan peralatan intelijen.
Produk-produk inilah yang tengah meresahkan sejumlah negara. Produk-produk tersebut telah memicu perang dagang sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dengan China dan Jepang dengan Korea Selatan. Hal itu terutama menyangkut produk-produk berteknologi tinggi, yang merupakan bahan baku dari perangkat elektronik, termasuk telepon pintar.
Dalam perang dagang Amerika Serikat-China, misalnya, produk berfungsi ganda itu digunakan Washington untuk menekan Beijing.
Lewat keputusan Pemerintah AS beberapa bulan lalu, perusahaan-perusahaan AS tidak diperbolehkan menyuplai produk kepada Huawei, korporasi teknologi milik China. Bahkan, AS menuding China memata-matai perusahaan besar AS menggunakan mikrocip dan nanocip yang disusupkan ke dalam produk-produk elektronik.
Perseteruan mengenai produk berfungsi ganda juga terjadi antara Jepang dan Korea Selatan.
Jepang membatasi ekspor hydrogen fluoride, photoresist, dan sejumlah material lain yang dibutuhkan industri teknologi tinggi Korsel untuk membuat perangkat dan komponen elektronik. Tokyo beralasan, Seoul mengekspor ulang hydrogen fluoride ke Korea Utara (Korut). Jepang menyebut material itu bisa dipakai untuk program pengembangan senjata Korut.
Pembatasan itu menyebabkan perusahaan elektronik besar Korsel, seperti Samsung—produsen cip dan ponsel utama di dunia—serta SK Hynix, terdampak.
Menurut Moody’s Investor Service, yang mengutip data dari Asosiasi Perdagangan Korea, pada periode Januari-Mei 2019, 94 persen impor fluorinated polyimide dan 92 persen impor photoresist Korsel berasal dari Jepang (Kompas.id, 12 Juli 2019).
Baca juga: Semikonduktor di Tengah ”Pertarungan” Antarnegara
Menyikapi hal itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mengedepankan liberalisasi perdagangan justru mengingatkan kembali agar perdagangan jenis barang tersebut perlu dikendalikan. Pengendalian itu penting agar tidak menimbulkan permasalahan keamanan global.
Pengendalian itu dilakukan melalui kontrol ekspor atau yang dikenal juga sebagai pengawasan perdagangan strategis (strategic trade control/STC).
STC adalah pengawasan atau tata kelola perdagangan internasional untuk barang dan teknologi yang memiliki fungsi ganda. Pengawasan ekspor bukanlah pembatasan perdagangan, melainkan benar-benar merupakan mekanisme pangawasan.
Hal itu merujuk pada Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) 1947 Artikel XXI. Dalam artikel itu disebutkan, sebuah negara dapat membatasi, mengendalikan, mengawasi, bahkan melarang produk-produk ekspor-impor demi alasan keamanan.
Sebuah negara dapat membatasi, mengendalikan, mengawasi, bahkan melarang produk-produk ekspor-impor demi alasan keamanan.
Aturan itu disebut sebagai pengecualian keamanan (security exception). Pengecualian keamanan ini mencakup lima kategori pertimbangan, yaitu informasi keamanan nasional, bahan nuklir, barang dan jasa militer, perang dan keadaan darurat, serta kewajiban Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Aturan itu terbentuk pasca-Perang Dunia II. Waktu itu terbentuk dua kekuatan besar, Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur yang dimotori Uni Soviet. Perang teknologi intelijen dan pengembangan senjata dua kubu atau kerap disebut sebagai Perang Dingin itu memicu kekhawatiran negara-negara lain. Beberapa negara telah mengelola pengembangan senjata nuklir, kimia, biologis, dan peralatan intelijen.
Mereka bahkan telah memiliki sistem distribusi senjata dan peralatan itu bagi negara-negara lain yang membutuhkan. Pengirimannya melalui rantai perdagangan internasional, baik dalam bentuk barang jadi, komponen-komponen yang dapat dirakit, maupun dalam wujud barang sipil.
Sejumlah negara memandang perdagangan barang-barang itu tidak cukup hanya diatur dalam GATT dan diawasi WTO. Hal itu memunculkan beberapa badan internasional di luar PBB yang bertujuan mengontrol barang berfungsi ganda (sipil dan militer) untuk melawan proliferasi senjata pemusnah massal.
Pada 1950, misalnya, terbentuk Komite Koordinasi Pengendalian Perdagangan Multilateral (COCOM). COCOM dimotori oleh AS, Perancis, Italia, Inggris, Belanda, Belgia, dan Luksemburg.
Baca juga: Eskalasi Ketegangan Iran-AS
COCOM dibentuk untuk membuat tiga daftar barang strategis, yaitu daftar nuklir, daftar militer, dan daftar barang berfungsi ganda. COCOM juga membuat aturan pengendalian dan pengawasan ekspor yang masuk tiga kategori barang itu ke negara-negara blok timur dan China.
Kemudian, pada 1996, muncul Wassenaar Arrangement (WA) menggantikan COCOM. WA dibentuk oleh 40 negara di Wassenaar, Belanda. Mereka sepakat saling mengoordinasikan kebijakan ekspor senjata konvensional dan barang-barang berfungsi ganda, termasuk yang sudah berteknologi tinggi. WA juga membuat daftar, regulasi, dan prosedur ekspor barang-barang tersebut.
Salah satu langkah populer WA adalah menerbitkan beberapa daftar periksa barang berfungsi ganda, termasuk catatan spesifikasi teknologinya dan perangkat lunak. Jika tidak sesuai, negara pembeli harus mengembalikan kepada negara penjual. Jika tidak, akan diberi sanksi berupa embargo ekonomi.
Keterlibatan Indonesia
Seiring berjalannya waktu, negara-negara maju, terutama AS dan negara-negara di Eropa, memiliki sistem kontrol ekspor atau STC. Teknologi yang berkembang pesat semakin memacu negara-negara maju, terutama UE, menggandeng negara-negara yang belum menerapkan STC.
Hal itu menyusul kekhawatiran dan konflik beberapa negara menyangkut produk-produk tersebut yang dapat digunakan sebagai bahan baku senjata pemusnah massal, peralatan militer, dan peralatan intelijen.
Salah satu langkah UE adalah menginisiasi penerapan STC kepada negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pada 14-15 Agustus 2019, sejumlah negara di Asia Tenggara dan UE membahas rencana penerapan sistem kontrol ekspor produk-produk berfungsi ganda dalam ”Kick-off Meeting of Europe Union Partner-to-Partner (EU P2P) Export Control Programme for Dual-Use Goods in South East Asia, 2019–2021”.
Kegiatan yang berlangsung di Hanoi, Vietnam, itu dihadiri perwakilan negara-negara di Asia Tenggara, kecuali Myanmar dan Singapura; delegasi dari AS sebagai pengamat; dan perwakilan negara-negara yang tergabung dalam UE.
Baca juga: UE dan ASEAN Terapkan Sistem Kontrol Ekspor Produk Berfungsi Ganda
Dalam pertemuan awal itu, masing-masing negara saling bertukar pikiran mengenai kebijakan STC. Pertemuan itu juga membahas tentang daftar produk-produk UE yang berfungsi ganda, pembuatan konsep kerangka hukum, perizinan ekspor dan impor, perantara jual beli, serta pengawasan dan pemantauan untuk agensi terkait, termasuk pendekatan kepada industri.
Kontrol semacam itu ditempuh melalui daftar kontrol, lisensi, otorisasi kepada para pemangku kepentingan rantai pasokan, berbagi informasi dan mekanisme kerja sama, laporan, catatan, deklarasi, pemutaran, dan sanksi.
Di ASEAN, negara-negara yang telah menerapkan STC adalah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Singapura dan Malaysia telah menerapkan sistem STC masing-masing pada 2010 dan 2011. Sementara Filipina dan Thailand masih dalam proses menerapkan peraturan terkait STC. Adapun Indonesia berencana untuk menyusun STC.
Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Olvy Andrianita mengatakan, penerapan STC di Indonesia merupakan langkah yang tepat.
Selain sebagai tindakan antisipatif untuk mengamankan dunia dari penyalahgunaan produk-produk tersebut, Indonesia juga dapat meningkatkan kinerja ekspor Indonesia khususnya untuk produk-produk elektronik berteknologi dan bernilai tambah tinggi.
Penerapan STC di Indonesia merupakan langkah yang tepat. Selain sebagai tindakan antisipatif untuk mengamankan dunia dari penyalahgunaan produk-produk tersebut, Indonesia juga dapat meningkatkan kinerja ekspor Indonesia khususnya untuk produk-produk elektronik berteknologi dan bernilai tambah tinggi.
Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kemendag Merry Maryati menyampaikan, ada target jangka pendek yang harus dikejar Indonesia dalam penyusunan STC. Target tersebut adalah memperkuat pengembangan kapasitas, kerangka hukum, dan implementasi daftar produk-produk UE yang berfungsi ganda.
”Penyusunan STC ini harus melibatkan kementerian/lembaga terkait, akademisi, serta industri-industri di Indonesia,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu pula, Political Officer Delegation of the European Union to Vietnam Juan Zarategui menegaskan, UE telah menyiapkan anggaran khusus untuk mengadakan program-program peningkatan pemahaman kontrol ekspor. Tentu saja anggaran itu akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara.