JAKARTA, KOMPAS - Kejaksaan Agung perlu mengevaluasi prosedur kerja bagi jaksa yang menjadi anggota Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah atau TP4D. Sebab, pada praktiknya, posisi jaksa sebagai pengawal pemerintahan dan selaku penegak hukum penuh dengan benturan kepentingan. Praktik koruptif menjadi sangat mudah terjadi.
Hal tersebut setidaknya terlihat dari penangkapan jaksa pada Kejaksaan Negeri Yogyakarta, Eka Safitra, Senin (19/8/2019), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eka yang merupakan anggota TP4D diduga menerima imbalan karena membantu memuluskan langkah PT Manira Arta Mandiri memenangi proyek rehabilitasi saluran air hujan di Kota Yogyakarta senilai Rp 10,89 miliar.
Ia bersama jaksa pada Kejaksaan Negeri Surakarta Satriawan Sulaksono ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Hanya saja, KPK masih mencari keberadaan Satriawan.
”KPK sangat kecewa ketika pihak yang seharusnya melaksanakan tugas mencegah penyimpangan pada proyek pembangunan, justru menyalahgunakan posisi dan kewenangannya sebagai anggota TP4D. Bahkan mengondisikan proses lelang untuk memenangkan pihak tertentu,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu (21/8).
TP4D dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015.
”KPK memahami pembentukan TP4D oleh Jaksa Agung adalah respons yang baik atas arahan Presiden yang menyinggung lambannya penyerapan anggaran karena para kepala daerah takut mengambil kebijakan apabila berpotensi pidana. Sangat disayangkan, peran pengawasan ini malah menjadi lahan memperkaya diri sendiri dan pihak lain,” kata Marwata.
Kedua jaksa tersebut diduga menerima suap dari Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri, Gabriella Yuan Ana, senilai Rp 221,74 juta, yang diberikan dalam tiga tahap. Selain Eka dan Satriawan, KPK juga telah menetapkan pihak swasta, yakni Gabriella, sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Sistem kerja
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah, Mada Oce Madril, menyampaikan besarnya potensi benturan kepentingan jaksa yang tergabung di TP4D. Menurut dia, prosedur kerja jaksa di TP4D perlu diperjelas untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan.
Hal serupa dikonfirmasi oleh anggota Komisi Kejaksaan Erna Ratnaningsih. Pengawasan melekat yang berjenjang struktural dan fungsional tidak berjalan dengan baik. Selain itu, prosedur kerja TP4 juga perlu diperjelas untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
“Tapi yang terpenting pengawasan dan komitmen antikorupsi. Jangan sampai membuat program Zona Integritas, Wilayah Bebas Korupsi, dan Wilayah Bebas Melayani hanya sebagai formalitas. Ini menjadi pekerjaan rumah untuk Jaksa Agung mendatang,” ujar Erna.
Secara terpisah, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X mengajak semua pihak untuk introspeksi agar kasus tersebut tidak terulang lagi. Menurut Sultan, TP4D bertugas mengawasi proyek pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran. Namun, dalam kasus ini, TP4D justru menjadi sumber dari penyalahgunaan anggaran. Oleh karena itu, Sultan menyebut kasus korupsi terkait TP4D tersebut seperti dagelan.
”TP4D itu, kan, pengawas agar tidak ada penyalahgunaan. Makanya bagi saya ini, kan, seperti dagelan,” ungkap Sultan.
Sultan berharap, kasus korupsi tersebut ditangani dengan sebaik-baiknya. Selain itu, dia juga meminta Pemerintah Kota Yogyakarta mengawasi aparaturnya agar kasus semacam ini tidak terulang di kemudian hari.